Krishnamurti Subtitles home


BR76D1 - Bagaimana Anda mengamati rasa takut Anda?
Diskusi Publik #1
Brockwood Park, UK
31 Agustus 1976



0:22 This is a kind of dialogue – dialogue being a conversation between two friends about something which they are deeply concerned with, and not a mere discussion of ideas, arguments, and so on. But this is a dialogue, so that we can converse together over something which we are deeply concerned with. Ini adalah sejenis dialog - dialog yang adalah sebuah percakapan antara dua teman tentang sesuatu yg secara mendalam mereka prihatinkan, dan bukan semata diskusi tentang gagasan, argumen, dsb. Tapi ini sebuah dialog, sehingga kita bisa sama-sama berbicara tentang sesuatu yg kita prihatinkan secara mendalam.
0:59 So, what would you like to have a dialogue about? And, I would suggest, if I may, that we confine ourselves – this is just a suggestion but you can do what you like – that we concern ourselves with the actual transformation of our own consciousness, how to do it, how is it possible, to go into it very, very deeply, in detail. Could we do that, this morning? Take one thing, like transformation of a human consciousness, which is the consciousness of the world. I hope you understand that, it’s the consciousness of the world. Each human being is, in essence, the totality of human experience, knowledge, misery, confusion, all that he is, of which we are, each one of us. So, if we can be deeply involved and committed, seriously, to this question: is it possible to bring about a deep, fundamental change in the psyche? Could we stick to that? Would you approve of that, or do you want to talk or have a dialogue about something else? You’re perfectly welcome to talk about anything you want. Jadi, apa yg ingin Anda perbincangkan? Dan, saya sarankan, kalau boleh, kita membatasi diri - ini hanya saran tapi Anda bisa lakukan yg Anda ingin - bahwa kita prihatin pada transformasi aktual dari kesadaran kita sendiri, bagaimana melakukannya, seberapa mungkinkah itu, untuk mempelajarinya sangat, amat dalam, secara rinci. Bisakah kita lakukan itu, pagi ini? Ambil satu hal, seperti transformasi kesadaran manusia, yg adalah kesadaran dunia ini. Saya harap Anda mengerti itu, itu adalah kesadaran dunia ini. Setiap manusia adalah, secara esensial, totalitas pengalaman manusia, pengetahuan, kesengsaraan, kebingungan, semua yg ada padanya, yang adalah kita, setiap dari kita. Jadi, jika kita bisa terlibat dgn mendalam dan berkomitmen, secara serius, pada pertanyaan ini: mungkinkah menghasilkan perubahan mendalam yg fundamental dalam psike? Bisakah kita berpegang pada itu? Maukah Anda menyetujuinya, atau Anda ingin membicarakan atau berdialog tentang hal lain? Anda sepenuhnya dipersilahkan membicarakan apapun yg Anda ingin.
2:53 Questioner: Sir, could we discuss the question of laughter in relation to transformation of human consciousness? Penanya: Pak, bisakah kita diskusikan pertanyaan tentang tawa sehubungan dengan transformasi kesadaran manusia?
3:02 K: Discuss laughter. What place...? K: Mendiskusikan tawa. Apa hubungannya...?
3:07 Q: In laughter, the mind is overcome and I’ve often observed that people who are said to be extremely spiritual seem to have great difficulty in experiencing the fullness of laughter. They only seem capable of intellectual laughter. Can we go into this? P: Dalam tertawa, batin teratasi dan saya sering mengamati orang yg dikatakan sangat spiritual nampaknya sangat sulit mengalami tertawa sepenuhnya. Mereka kelihatannya hanya bisa tertawa secara intelektual. Bisa kita selidiki ini?
3:24 K: Yes. Do you want to discuss or go into this question of laughter? To laugh. Serious people seem to lose the capacity to laugh. That’s one question. Would you like any other question? K: Ya. Anda ingin mendiskusikan atau menyelidiki pertanyaan tentang tawa? Tertawa. Orang serius seolah kehilangan kapasitas untuk tertawa. Itu adalah satu pertanyaan. Adakah pertanyaan lain?
3:44 Q: Sir, I think in the question of transforming man’s consciousness there’s a lot of delusions and one of them, I think, a crucial one, is not being able to distinguish between true and false morality. For instance, not being able to distinguish, say, between what it is to want and what it is to demand. P: Pak, saya pikir dalam pertanyaan tentang transformasi kesadaran manusia ada banyak delusi dan salah satunya, saya pikir, yg genting, adalah tidak mampu membedakan antara moralitas benar dan salah. Misalnya, tidak mampu membedakan, katakanlah, antara apa itu keinginan dan apa itu kebutuhan.
4:09 K: Between morality and truth. Is that it? K: Antara moralitas dan kebenaran. Begitukah?
4:15 Q: Between true and false morality or is there true morality, at all? P: Antara moralitas benar dan salah adakah moralitas yg sepenuhnya benar?
4:18 K: What is the place of morality – if I may put it…? I hope I’II put it correctly, if not, please correct me. What is the place of morality in investigating into what is truth? K: Di mana tempat moralitas - kalau boleh saya katakan...? Saya harap saya benar mengatakannya, jika tidak, tolong koreksi saya. Di mana tempat moralitas dalam menyelidiki apa itu kebenaran?
4:41 Q: Does morality exist? P: Eksiskah moralitas tersebut?
4:44 Q: There’s certain things that stand in the way because... P: Ada hal-hal tertentu yg menghalangi karena...
4:48 K: I understand. Yes. There is a lot of false morality, false assumptions, what it is to be moral; and when we wipe away all the false morality and there is true morality, what is its relationship to truth? Is that right? Right, sir? K: Saya paham. Ya. Ada banyak moralitas yg salah, asumsi yg salah, tentang apakah itu bermoral; dan ketika kita hapus semua moralitas salah dan di situ ada moralitas benar, apa hubungannya dengan kebenaran? Benar demikian? Benar, Pak?
5:15 Q: Or perhaps... P: Atau barangkali...
5:17 K: Yes, put it any way you like. Anything else? K: Ya, katakanlah sebagaimana Anda ingin. Ada yg lain?
5:21 Q: Sir, can we go into the structure of thought, please? P: Pak, bisakah kita selidiki struktur pikiran?
5:25 K: Thought. Structure of thought. Just a minute, sir. There’s somebody else. K: Pikiran. Struktur pikiran. Sebentar, Pak. Ada orang lain lagi.
5:41 Q: To be optimist or to be pessimist is it not also a movement of thinking? P: Bukankah menjadi optimis atau pesimis itu juga gerak berpikir?
5:48 K: To be an optimist and a pessimist... To be an optimist or a pessimist, are they not both a process of thinking? Could we say, ‘Are they not both the two sides of the same coin?’ K: Menjadi seorang optimis dan seorang pesimis... Menjadi seorang optimis atau pesimis, bukankah keduanya suatu proses berpikir? Bisakah kita bilang, "Bukankah keduanya dua sisi dari koin yg sama?"
6:17 Q: You have explained how the thinker and the thought are not separate and said that when we accept this a different creative process comes into being without a sense of ‘I.’ Can we know more of this process and what happens? P: Anda telah menjelaskan bahwa pemikir dan pikiran tidaklah terpisah dan mengatakan ketika kita terima ini suatu proses kreatif yg berbeda muncul tanpa sensasi "aku". Bisakah kita tahu proses ini lebih banyak dan apa yg terjadi?
6:33 K: Yes. Now, can we stop there? Could we take these three or four things? That is, laughter – we seem to lose the capacity to laugh when we become so-called very spiritual, whatever that word may mean. Then there is the question of the structure of thought, the nature and the structure of thought, then there is that question of morality and what is its place or what is its relationship to truth and – what other question? – optimistic and pessimistic. So, shall we take one of these questions because all these questions are concerned with the actual transformation of consciousness, and your question too, which is, when the observer, the thinker is the thought, the analyser is the analysed, then, we said, all conflict comes to an end and, thereby, there is a totally different dimension of observation, or existence, or whatever you like to call it. Now, which of these would you like to take as one question, go into it, completely, to its very end, deeply, which of these questions do you want to take up? K: Ya. Sekarang, bisa kita berhenti? Bisa kita ambil tiga atau empat hal ini? Yaitu, tertawa - kita kehilangan kapasitas untuk tertawa ketika kita menjadi yg-disebut sangat spiritual, apapun maksudnya kata itu. Lalu ada pertanyaan tentang struktur pikiran, sifat dan struktur pikiran, lalu ada pertanyaan tentang moralitas dan di mana tempat atau apa hubungannya dengan kebenaran dan - pertanyaan lainnya? - optimistik dan pesimistik. Jadi, bisakah kita ambil salah satu dari pertanyaan ini karena semua pertanyaan ini prihatin terhadap transformasi aktual dari kesadaran, dan pertanyaan Anda juga, yaitu, ketika si pengamat, si pemikir adalah pikiran, si penganalisa adalah yg dianalisis, sehingga, kita katakan, semua konflik pun berakhir dan, dgn demikian, ada dimensi observasi yg sepenuhnya berbeda, atau eksistensi, apapun Anda menyebutnya. Nah, yg mana di antara hal-hal ini yg ingin Anda tanyakan, pelajari, secara lengkap, sampai tuntas, mendalam, yg mana dari pertanyaan ini yg ingin Anda ambil?
8:24 Q: The last question. P: Pertanyaan terakhir.
8:28 K: Laughter? Is that really a very serious question? K: Tentang tertawa? Apakah itu betul-betul suatu pertanyaan yg serius?
8:40 Q: The last question.

K: To laugh? Oh, the last question, which is, the observer – I think it’s a good question, may we take that up?
P: Pertanyaan terakhir.

K: Tertawa? Oh, pertanyaan terakhir, yaitu, si pengamat - Saya pikir itu pertanyaan bagus, boleh kita ambil itu?
8:55 Q: Yes. P: Ya.
9:00 K: The questioner asks, ‘When we realise, not verbally, actually, that the observer is the observed, the thinker is the thought, and the analyser is the analysed, when that actual fact takes place, then there is a different dimension because that ends conflict. Would you please go into that much more? Is that your question, sir? And you want to discuss that? K: Penanya menanyakan, "Ketika kita menyadari, bukan secara verbal tapi aktual, bahwa si pengamat adalah yg diamati, si pemikir adalah pikiran, dan penganalisa adalah yg dianalisis, ketika fakta aktual itu berlangsung, maka di situ ada dimensi yg berbeda karena itu mengakhiri konflik. Maukah Anda mempelajarinya lebih jauh? Itukah pertanyaan Anda, Pak? Dan Anda ingin mendiskusikannya?
9:39 Q: And what happens.

K: Yes, and what happens.
P: Dan apa yg terjadi.

K: Ya, dan apa yg terjadi.
9:48 Q: Is this going to be discussed on a personal level, or an intellectual level? I don’t understand. P: Apa ini didiskusikan di level personal, atau level intelektual? Saya belum paham.
10:10 K: That’s what we are going into, sir. K: Itulah yg akan kita pelajari, Pak.
10:12 Q: Are we going to tell each other of experiences when we’ve been in this? P: Apa kita akan menceritakan satu sama lain pengalaman ketika kita mengalami ini?
10:16 K: No, this is not a confessional. This is not a group therapy. This is not exposing our personal experience to each other, because personally, if you want to do that you’re perfectly welcome but I won’t be here, because to me this is an absurd exhibitionism and all the things involved in it. I’ve been to some of them and I know what the game is. K: Tidak, ini bukan suatu pengakuan. Ini bukan sebuah kelompok terapi. Ini bukan pembeberan pengalaman personal satu kepada yg lain, karena secara personal, jika Anda mau melakukannya silahkan saja tapi saya tidak di sini, karena bagi saya ini adalah eksibisionisme yg absurd dengan semua hal yg tercakup di dalamnya. Saya kenal beberapa dari mereka dan saya tahu apa permainannya.
10:46 So, if we may, may we discuss this question? Jadi, kalau boleh, bisakah kita diskusikan pertanyaan ini?
10:51 Q: I think the question is important but it’s a bit of a joke to work at that level when the personal foundation isn’t laid. I feel we’re taking something and examining it in a limited way... P: Saya pikir pertanyaannya penting tapi agak menggelikan untuk bekerja pada level di mana fondasi personal tidak diletakkan. Saya rasa kita sedang mengambil sesuatu dan menyelidikinya dengan cara terbatas...
11:17 K: We are going to go into all that, madam, just, please, that question will answer, I think, most of our problems if we can go into this really with attention, deeply. Please, this is worthwhile. So, let’s go into it. K: Kita akan menyelidiki semua itu, Bu, hanya saja, pertanyaan itu akan menjawab sebagian besar persoalan kita jika kita bisa mempelajari ini betul-betul dengan perhatian, secara mendalam. Tolong, ini bermanfaat. Jadi, mari kita selidiki.
11:34 First of all, we are clear about the question, aren’t we? That is, the observer is the observed, and the thinker is the thought, and so on, when that actually takes place, not as a theory, not as a verbal assertion, but as an actual fact, then what comes into being, and what happens when there is no conflict, whatsoever? Now, we are going to discuss this, go into it. Pertama, pertanyaannya jelas bagi kita, bukan? Yaitu, si pengamat adalah yg diamati, dan si pemikir adalah pikiran, dan seterusnya, ketika itu secara aktual berlangsung, bukan sebagai teori, bukan penegasan verbal tapi suatu fakta aktual, lantas apa yg muncul, dan apa yg terjadi ketika di situ tidak ada konflik apapun? Sekarang, kita akan mendiskusikannya, mempelajarinya.
12:17 First of all, let’s forget the observer is the observed – put that aside, but take the fact, which is, we know we are in conflict, most of us are in conflict, most of us are in confusion, most of us have this constant inward struggle. Right? That’s a fact, isn’t it? Could we start from there? This contradiction, this conflict, this sense of constant inward battle that’s going on in each human being has its outward expression in violence, in hate, in this lack of a sense of fulfilment and, therefore, deeper antagonism, all that follows. Right? So, where there is division in oneself, there must be deep-rooted conflict, as between nations, as between classes, as between the dark people and the light people, the black people and the purple people, and so on. So, wherever there is division, there must be conflict. That’s a law. It can’t be helped. Isn’t that so? Do we see that, first? Realise it, not, the speaker may describe it and you might translate what is the described, into an idea and accept the idea. You see the difference? Please, this is important. Give a little attention, please. Pertama sekali, lupakan dulu bahwa pengamat adalah yg diamati - kesampingkan itu, tapi ingat faktanya bahwa, kita tahu kita ada dalam konflik, kebanyakan dari kita ada dalam konflik, kebanyakan dari kita ada dalam kebingungan, kebanyakan dari kita mempunyai pergulatan batin yg konstan. Benar? Itu faktanya, bukan? Bisakah kita awali dari situ? Kontradiksi ini, konflik ini, perasaan pertempuran batin yg konstan yg berlangsung pada tiap manusia mempunyai ekspresinya di luar dalam kekerasan, dalam kebencian, dalam kurangnya rasa pemenuhan dan, oleh karena itu, antagonisme yg lebih dalam, semua yg mengikutinya. Benar? Jadi, di mana ada pembagi-bagian dalam diri seseorang, di situ pasti ada konflik berakar-dalam, seperti antara bangsa-bangsa, antara kelas, antara warga berkulit gelap dengan warga berkulit terang, warga berkulit hitam dan warga berkulit ungu, dan sebagainya. Jadi, di mana ada pembagi-bagian, di situ pasti ada konflik. Itu suatu hukum. Tidak bisa ditawar. Bukankah demikian? Apa kita melihat itu, lebih dulu? Sadarilah itu, bukan, pembicara bisa menjelaskan itu dan Anda bisa menerjemahkan apa yg dijelaskan, ke dalam ide dan menerima ide tsb. Anda lihat perbedaannya? Tolong, ini penting. Beri sedikit perhatian, tolong.
14:20 We realise there is inward conflict and that inward conflict must, invariably, express outwardly – outwardly in relationship with each other, outwardly in violence, in wanting to hurt people, in wanting to defend oneself against somebody, we and they, and all the rest of it. Now, when you hear that, is it an idea, or is it a fact? You understand my question? Do you translate what you hear into an idea and then accept the idea, or do you actually see your own conflict and the result of that conflict? You understand? Kita menyadari di situ ada konflik batin dan konflik batin itu pastilah, tanpa kecuali, tercermin ke luar - di luar dalam hubungan dengan orang lain, di luar dalam kekerasan, dalam keinginan melukai orang, dalam keinginan mempertahankan diri dari orang lain, kita dan mereka, dan semua itu. Sekarang, ketika Anda mendengar itu, apakah itu ide, atau itu adalah fakta? Anda mengerti pertanyaan saya? Apakah Anda menerjemahkan apa yg Anda dengar ke dalam suatu ide dan kemudian menerima ide itu, atau apakah Anda secara aktual melihat konflik Anda dan akibat dari konflik tsb? Anda mengerti?
15:17 Q: Sir, the problem is that if I look at the conflict it seems to disappear P: Pak, masalahnya jika saya melihat pada konflik itu tampaknya menghilang.
15:23 K: Wait, I’m coming to that. First, do we realise it? K: Tunggu, saya akan sampai ke situ. Pertama, apakah kita sadari itu?
15:28 Q: But, for me, I can only realise it, intellectually. P: Tapi, bagi saya, saya hanya bisa menyadari itu secara intelektual.
15:32 K: That is ideationally. That’s what I’m trying to point out. Our conditioning is, or our tradition is to translate what we hear into an idea, into a concept, into a formula, and live or accept that formula, which prevents us from actually seeing ‘what is.’ You understand? This is simple. Isn’t it? Say, for example, one is hurt from childhood – right? – hurt in so many ways. Does one realise, become aware of this hurt? Or you say, ‘Yes, it is pointed out that I’m hurt, therefore, I’m hurt.’ You understand? I wonder if you get this. This is very important because throughout the world, we translate the fact into an idea and escape through the idea and not face the fact. Right? So, what is it you are doing now when you hear that you are in conflict and being in conflict, the outward result is violence, brutality and all the rest of it – is that a fact, or is it a conclusion which you will accept? That’s clear, isn’t it, from what I am saying? Now, which is it for you? This is very important because if it is an idea, then we are lost – your idea and my idea. But if we can face the fact, then it is something entirely different. Then each one of us has a communication, then. We are dealing with facts, not with ideas. K: Itu secara ideasional. Itu yg saya coba tunjukkan. Keterkondisian kita adalah, atau tradisi kita adalah menerjemahkan apa yg kita dengar ke dalam ide, ke dalam konsep, ke dalam formula, dan hidup atau menerima formula tsb, yg mencegah kita dari melihat secara aktual "apa adanya". Anda mengerti? Ini sederhana. Iya, bukan? Katakanlah, misalnya, seseorang terluka sejak kanak-kanak -benar?- terluka dalam banyak cara. Apakah seseorang menyadari, menjadi sadar pada luka ini? Atau Anda bilang, "Ya, sudah ditunjukkan bahwa saya terluka, oleh karena itu, saya terluka." Anda mengerti? Saya bertanya-tanya kalau Anda menangkap ini. Ini sangat penting karena di seluruh dunia, kita menerjemahkan fakta ke dalam ide dan meloloskan diri melalui ide dan bukan menghadapi faktanya. Benar? Jadi, apa yg akan Anda lakukan sekarang ketika Anda mendengar bahwa Anda ada dalam konflik dan ada dalam konflik, akibatnya di luar adalah kekerasan, brutalitas dan semua selebihnya itu -apakah itu suatu fakta, atau sebuah konklusikah yg akan Anda terima? Itu jelas, bukankah begitu, dari apa yg saya katakan? Nah, yg mana yg adalah Anda? Ini amat penting karena jika itu sebuah ide, maka kita tersesat -ide Anda dan ide saya. Tapi jika kita bisa menghadapi fakta, maka itu adalah sesuatu yg sepenuhnya berbeda. Kemudian masing-masing kita akan mempunyai suatu komunikasi. Kita berurusan dengan fakta-fakta, bukan ide-ide.
17:48 Now, if that is so, if you really see, for yourself, that being in conflict, in oneself, you’re bound to create conflict, outwardly – bound to. Right? Now, when you realise that, what has brought about this conflict, inwardly? You understand? There’re several factors involved in this. There is a whole group of people who say, ‘Change the environment, change the social structure, through revolution, through blood, through any way, change it, and that will change man.’ You understand this? This is a Communist theory, this is the materialistic theory: change the environment – the Socialist theory – change the environment, the social structure, through legislation, through Parliament, through careful analysis and so on, or through revolution, physical revolution, change the environment, the structure of society, then that will change man. Then he will be loving, he will be kind, he will not have conflict, he’ll be a beautiful human being. And they have tried this umpteen times in different ways: the Communists have done it, they have not succeeded in making man different. The whole Christian world has postponed the change of man into something else, as the Hindus and so on. So, the fact is we are in conflict, human beings. And the fact is, out of that inward conflict, psychological conflict, he must produce outward conflict. It can’t be helped. Nah, jika demikian, jika Anda betul-betul melihat, bagi diri Anda, bahwa berada dalam konflik, di dalam diri, Anda terikat untuk menciptakan konflik, secara lahiriah -terikat. Benar? Nah, ketika Anda sadar itu, apa yg telah membawa konflik ini, ke dalam batin? Anda mengerti? Ada beberapa faktor yg tercakup di dalam ini. Ada sekelompok orang yg mengatakan, "Ubahlah lingkungan, ubahlah struktur sosial, dengan revolusi, dengan darah, dengan cara apapun, ubahlah, dan itu pasti mengubah manusia." Anda mengerti ini? Inilah teori Komunis, inilah teori materialistik: ubahlah lingkungan -ini teori Sosialis- ubahlah lingkungan, struktur sosial, dengan perundang-undangan, lewat Parlemen, dengan analisis yg teliti dsb, atau lewat revolusi, revolusi fisik, ubahlah lingkungan, struktur suatu masyarakat, maka itu akan mengubah manusia. Kemudian dia akan mencintai, dia akan baik, dia tidak akan memiliki konflik, dia akan menjadi manusia yg indah. Dan mereka sudah mencoba ini sekian waktu dalam cara-cara berbeda: Komunis telah melakukannya, mereka tidak berhasil dalam membuat manusia berbeda. Seluruh dunia Kristiani telah menunda perubahan manusia ke dalam sesuatu yg lain, seperti halnya kaum Hindu dsb. Jadi, faktanya kita ada dalam konflik, umat manusia. Dan faktanya adalah, dari konflik batin itu, konflik psikologis, dia harus menghasilkan konflik lahiriah. Itu tidak dapat membantu.
20:01 Q: Sir, if it’s a law of nature then there’s nothing to worry about. It seems as though this is a violent gathering, we’re violent, that’s the law, that’s the facts, we might as well go home. P: Pak, jika itu hukum alam maka tak ada yg perlu dicemaskan. Tampaknya seolah ini pertemuan bengis, kita bengis, itu hukum, itu fakta, lebih baik kita pulang ke rumah.
20:11 K: I haven’t said... Sir, I’m just pointing out, sir. Go slow. Have a little patience, sir. I’m showing, pointing out something. That is, if there is conflict, inwardly, there must be conflict, outwardly. Now, if a man is concerned seriously with the ending of conflict both outwardly and inwardly, we must find out why this conflict exists. You understand? This is simple. Why does it exist? Why is there this contradiction in human beings: say one thing, do another, think one thing and act another – you follow? – why do human beings have this division in themselves? You understand my question? Why? K: Saya tidak mengatakan... Pak, saya hanya menunjukkan Perlahan. Sabar sedikit, Pak. Saya memperlihatkan, menunjukkan sesuatu. Bahwa, jika ada konflik, dalam batin, di situ pastilah ada konflik, lahiriah. Sekarang, jika seseorang sungguh prihatin dengan pengakhiran konflik baik lahiriah maupun batiniah, harus kita temukan mengapa konflik ini eksis. Anda paham? Ini sederhana. Mengapa itu eksis? Mengapa ada kontradiksi dalam manusia: berkata begini, bersikap begitu, berpikir begini dan bertindak lain -Anda ikuti?- Mengapa manusia terpecah seperti ini dalam diri mereka? Anda mengerti pertanyaan saya? Mengapa?
21:19 One of the reasons is having ideals. That is, the idea which is opposite of ‘what is,’ what actually is, project through thought an idea, an ideal, so there is a contradiction between ‘what is’ and ‘what should be.’ That’s one of the factors of this conflict. Then the other factor is, we do not know what to do with ‘what is,’ how to deal with it, therefore, we use conclusions hoping thereby to alter ‘what is.’ That’s the other reason. And inwardly, also, there are contradictory desires – right? – I want one thing and I don’t want another thing. I want to be peaceful and yet there is violence in me. Salah satu alasannya adalah memiliki cita-cita. Yaitu, gagasan yg berlawanan dengan "apa adanya", apa yg secara aktual, diproyeksikan lewat pikiran sebuah ide, yg ideal, jadi ada kontradiksi antara "apa adanya" dengan "apa seharusnya." Itu salah satu faktor dari konflik. Kemudian faktor lain, kita tidak tahu apa yg harus dilakukan terhadap "apa adanya", bagaimana berurusan dengan itu, karena itu, kita memakai kesimpulan dengan harapan untuk mengubah "apa adanya". Itu alasan lainnya. Dan secara batiniah, juga, di situ ada hasrat yg kontradiktoris -benar?- Saya ingin sesuatu dan saya tidak ingin sesuatu yg lain. Saya ingin penuh damai namun ada kekerasan di dalam saya.
22:25 Q: Sir, these seem to be products of the separateness of the soul rather than the cause of why we’re in conflict. P: Pak, ini tampaknya adalah hasil dari keterpisahan jiwa ketimbang suatu penyebab dari mengapa kita ada dalam konflik.
22:39 K: But you must find out the cause of conflict, mustn’t you, too? K: Tapi Anda harus temukan penyebab konflik, harus juga, bukan?
22:43 Q: Yes, but these things seem to be more the products. P: Ya, tapi hal-hal ini tampaknya lebih merupakan produk.
22:50 K: All right. If you say, these are the results, the symptoms, not the cause, what then is the cause? I’m coming... You people! Look, sir, either you want to go into this, very deeply or superficially. I would like to go into it very deeply, so please, have a little patience. K: Baiklah. Jika Anda katakan, ini adalah hasil dari, simptom-simptom, bukan penyebab, lantas apa yg menjadi penyebabnya? Saya datang... Anda orang-orang! Lihat, Pak, entah Anda ingin mempelajari ini sangat mendalam atau dangkal saja. Saya hendak mempelajarinya sangat mendalam, jadi tolong, bersabar sedikit.
23:23 Q: Judging by outward appearances. One of the causes of conflict is judging by outward appearances. P: Dilihat dari penampilan luar. Salah satu sebab konflik adalah menilai dari penampilan luar.
23:38 K: We’re asking, what is the fundamental cause of this conflict – fundamental cause, not the symptoms, we can explain a dozen symptoms, the cause of this enormous human struggle, inwardly. Wherever you go in the world – the East, Middle East, America, here, anywhere, there’s this constant battle going on and on and on. Right? Why? What’s the cause of it? K: Pertanyaan kita, apakah penyebab fundamental dari konflik ini -penyebab fundamental, bukan simptom-simptom, kita bisa menjelaskan selusin simptom, penyebab dari perjuangan manusia yg amat besar, secara batin. Ke manapun Anda pergi di dunia ini -timur, timur tengah, Amerika, sini, ke manapun, di situ ada pertempuran konstan yg terus berlangsung dan terus. Benar? Mengapa? Apa penyebabnya itu?
24:10 Q: ‘Me,’ which is trying to boost itself. P: "Si Aku" yang mencoba mendorong dirinya
24:14 Q: Social conditions. P: Kondisi sosial.
24:18 Q: Lack of security. P: Kurangnya rasa aman.
24:22 Q: Partly, an inability to respond adequately in a situation... P: Sebagian, suatu ketidakmampuan merespon secara cukup dalam sebuah situasi...
24:32 K: One of the suggestions is the lack of security. Look at it, please. Just look at it. Lack of security, physical as well as psychological. Right? The lack of security. K: Salah satu saran adalah kurangnya rasa aman. Tolong, pandanglah itu. Sekadar memandang. Kurangnya rasa aman, fisik maupun psikologis. Benar? Kurangnya rasa aman.
24:53 Q: The fear of the non-existence of one’s being. P: Ketakutan akan tidak-eksis dari seseorang.
25:05 K: Please, if you examine one thing at a time, not a dozen! I give up. We say one of the reasons of this conflict is that there is no security for us, deeply. That may be one of the basic reasons of conflict, the lack of security, both psychologically, as well as biologically, physically, as well as inwardly. You understand? Now, what do you mean by security? Food, clothes and shelter. Right? If that is not given to us, then there’s conflict because you have it and I haven’t got it. That’s one reason. The other is, psychologically, I want to be secure, inwardly. Right? In my relationship, in my belief, in my faith, in all my action – you follow? – I want to be completely secure. Now, is that possible? Or we’re asking a question which is totally wrong? Please, follow this. K: Tolong, jika memeriksa satu persatu dulu, jangan selusinan! Saya menyerah. Kita mengatakan salah satu alasan dari adanya konflik ini adalah bahwa di situ tidak ada rasa aman bagi kita, secara mendalam. Bisa jadi itulah salah satu alasan mendasar adanya konflik, kurangnya rasa aman, baik secara psikologis, maupun secara biologis, secara fisik, maupun batin. Anda mengerti? Sekarang, apa yg Anda maksudkan dengan rasa aman? Makanan, pakaian dan hunian. Benar? Jika itu tidak diberikan pada kita, maka terjadilah konflik karena Anda memilikinya dan saya tidak. Itulah salah satu alasan. Lainnya, secara psikologis, saya ingin merasa aman, dalam batin. Benar? Dalam hubungan saya, kepercayaan saya, keimanan saya, dalam seluruh tindakan saya -Anda ikuti?- saya ingin aman secara menyeluruh. Nah, mungkinkah itu? Atau kita mengajukan pertanyaan yg sama sekali salah? Tolong, ikuti ini.
26:37 Psychologically, we want to be secure, having a relationship that’ll be completely secure, with my wife, with my husband, with my girl, or boy, we desire to be completely secure. Is that possible? Wait. Careful, now. Think about it a little bit. We say it is possible and we have made it possible, haven’t we? I am quite secure with my wife, and she’s quite secure with me, with the man. But inwardly, there is struggle going on. Now, this security we seek psychologically, is what? What is it we are seeking? Psychologically, to be secure with a person. You understand my question? I want to be secure with my wife, or with my girl. Why? Secara psikologis, kita ingin aman, mempunyai hubungan yg sepenuhnya aman, dengan istri, suami, pacar, kita menghasratkan yg aman sepenuhnya. Mungkinkah itu? Tunggu. Hati-hati, sekarang. Pikirkan dulu sebentar. Kita katakan itu mungkin dan kitalah yg membuatnya mungkin, kita, bukan? Saya cukup aman dengan istri saya, dan dia cukup aman dengan saya, dengan pria. Tapi dalam batin, ada pergulatan yg berlangsung. Nah, rasa aman yg kita cari secara psikologis ini, adalah apa? Apakah itu yg kita cari? Secara psikologis, merasa aman dengan orang. Mengertikah Anda pertanyaan saya? Saya ingin merasa aman dengan istri saya, atau dengan pacar saya. Mengapa?
28:13 Q: Because without her, I’m lost.

K: Wait. So, what does that mean? Without her, I’m lost. What does that mean?
P: Karena tanpa dia, saya hilang.

K: Tunggu. Apakah artinya yg tadi itu? Tanpa dia, saya hilang. Apa artinya itu?
28:21 Q: I’m alone.

K: Which means what? Go on.
P: Saya sendirian.

K: Yang berarti apa? Lanjutkan.
28:23 Q: Which means fear. P: Yang artinya rasa takut.
28:27 K: Don’t conclude immediately, go into it, sir. You say, ‘I’m lost.’ Why are you lost? Because you’re afraid to be alone. Isn’t it? Now, why? Do listen. Why are you frightened to be alone? K: Jangan buru-buru menyimpulkan, selidiki, Pak. Anda mengatakan, "Saya hilang." Mengapa Anda hilang? Karena Anda takut menjadi sendirian. Begitu, bukan? Nah, mengapa? Dengarkan. Mengapa Anda merasa takut menjadi sendirian?
28:56 Q: I would say that man is frightened to be alone because he cannot orientate himself in existence. P: Yang saya katakan pria itu takut untuk sendirian karena dia tidak bisa mengorientasikan dirinya dalam eksistensi.
29:06 K: You haven’t answered my question, sir. Look... K: Anda belum menjawab pertanyaan saya, Pak. Pandang...
29:10 Q: Because I cannot face myself. P: Karena saya tidak bisa menghadapi diri saya sendiri.
29:13 K: We’ll come to that, presently. I’m asking you, why are you frightened to be alone? K: Nanti kita akan sampai ke situ. Saya bertanya pada Anda, mengapa Anda takut sendirian?
29:20 Q: Because you’re afraid you can’t cope with the world. P: Karena Anda takut Anda tidak bisa menanggulangi dunia ini.
29:23 K: Look into yourself before you answer it, sir, please. This is a serious thing we are talking about, not throwing off words. We’re asking each other, I want permanent relationship with another, and I hope to find it, and I’m saying, why do I ask for permanent relationship with another? You say, ‘I am frightened to be alone, to be insecure.’ So I’m using the other, the woman or the man, as a means to find my anchorage in that. Right? My anchorage in another, and I’m frightened if that anchorage is loosened. Right? Why? Penetrate a bit more deeply. K: Pandanglah dirimu sebelum Anda menjawab, Pak, tolong. Ini suatu hal yg serius yg kita bicarakan, jangan asal melemparkan kata. Kita bertanya satu sama lain, saya menginginkan hubungan yg permanen dengan yang lain, dan saya berharap menemukannya, dan saya berkata, mengapa saya meminta hubungan yg permanen dengan orang lain? Anda mengatakan, "Saya takut sendirian, menjadi tidak aman." Jadi saya memakai orang lain, perempuan atau laki-laki, sebagai sarana untuk menemukan jangkar saya di dalamnya. Benar? Jangkar saya di dalam yg lain, dan saya takut jika jangkar itu lepas. Benar? Mengapa? Menembus sedikit lebih dalam.
30:34 Q: Isn’t that just a drive? Isn’t it something which is simply built into me, like hunger? P: Bukankah itu semata dorongan? Bukankah itu sesuatu yg sekadar ditanamkan ke dalam saya, seperti lapar?
30:44 K: Is it like hunger? The moment you give a simile like that, you get confused and then you go off to hunger. Find out why you want a relationship to be permanent, a relationship to be secure. Someone suggested because you’re frightened to be alone. Why are you frightened, what is involved in this fear? Please look into yourself before you answer it. K: Apakah itu seperti rasa lapar? Saat Anda memberikan kiasan seperti itu, Anda menjadi bingung dan kemudian Anda meletupkan rasa lapar. Selidiki mengapa Anda ingin hubungan yg permanen, sebuah hubungan yg aman. Seseorang mengusulkan karena Anda takut untuk sendirian. Mengapa Anda takut, apa yg terlibat dalam ketakutan ini? Tolong pandang ke dalam diri Anda sebelum Anda menjawabnya.
31:28 Q: You’re always leaving yourself open to pain. If you control your life, you can control the amount of pleasure or at least try to avoid some pain. P: Anda selalu membiarkan diri terbuka pada rasa nyeri. Jika Anda mengontrol hidup Anda, Anda bisa mengontrol sejumlah kesenangan atau cobalah mengelakkan rasa nyeri.
31:38 K: Sir, look, sir, we’re asking something very simple: why is a human being frightened to be alone? Why are you frightened to be alone? K: Pak, lihat, Pak, kita menanyakan hal yg sangat sederhana: mengapa seorang manusia takut sendirian? Mengapa Anda takut sendirian?
32:00 Q: We’re habituated to company, in many ways. P: Kita terbiasa berteman, dalam banyak cara.
32:04 Q: When I’m with somebody, I feel I am something. and when I’m without this person, it could be a wife or friend, I feel nothing. And I do not like to feel nothing because it frightens me. P: Ketika saya bersama seseorang, saya merasa saya sesuatu dan ketika saya tanpa orang ini, entah istri atau teman, saya merasa hampa. Dan saya tidak suka merasa hampa karena itu menakutkan saya.
32:23 K: Which means what, sir? K: Yang artinya apa, Pak?
32:26 Q: Insecurity.

K: Go slowly. Insecurity. You say, ‘I’m frightened of being insecure,’ so you exploit another to be secure, which you call ‘love.’ Please, remain with this fact, put your teeth into it to find out. If you can find this out, you will find a great many things.
P: Tidak aman.

K: Perlahan. Rasa tidak aman. Anda mengatakan, "Saya takut pada rasa tidak aman," jadi Anda mengeksploit orang lain supaya aman yg Anda sebut "cinta". Tolong, tetaplah pada fakta ini, tempatkan gigi Anda ke dalamnya untuk menyelidiki. Jika Anda bisa menyelidiki ini, Anda akan menemukan banyak hal besar.
33:14 I want to be secure because without being secure – please listen – without being secure my brain can’t function properly. You understand? Efficiently. So, the brain demands security. So, I want security out of you, and so I depend on you. Right? I’m attached to you because I need to be secure, the brain demands it. And if anything happens in my relationship to you I get uncertain, I get frightened, I get jealous, I hate. Right? Doesn’t this happen to all of you? Saya ingin merasa aman karena tanpa rasa aman -tolong dengar- tanpa rasa aman otak saya tidak bisa berfungsi secara tepat. Anda paham? Secara efisien. Jadi, otak membutuhkan rasa aman. Jadi, saya ingin rasa aman dari Anda, dan maka saya tergantung pada Anda. Benar? Saya melekat pada Anda karena saya membutuhkan rasa aman, otak yang menuntut itu. Dan jika sesuatu terjadi dalam relasi saya dengan Anda saya merasa tak menentu, saya takut, saya cemburu, saya membenci. Benar? Tidakkah ini terjadi pada Anda semua?
34:16 Q: If the person you love is static, then when they change, there’s fear. If you accept the change in them, if you accept the process in life, your love or your attachment can change with their changing. P: Jika orang yg Anda cintai statis, maka ketika mereka berubah, di situ ada takut. Jika Anda menerima perubahan dalam mereka, jika Anda menerima proses dalam hidup, cinta Anda atau kemelekatan Anda bisa berubah bersama perubahan mereka.
34:32 K: Sir, you have not understood what I’ve said. K: Pak, Anda tidak mengerti yg saya katakan.
34:34 Q: How do you know? P: Bagaimana Anda tahu?
34:36 K: Because by what you’re saying, sir.

Q: Superficial.
K: Karena apa yg Anda katakan, Pak.

P: Dangkal.
34:39 K: Oh, well, I won’t discuss, sir – it becomes impossible. So, I’m frightened to be alone, frightened of losing my security, and I say, ‘Why, what is behind that fear?’ Is it I’m frightened to be lonely, to be alone, not to have something on which to depend because I cannot depend on myself, I am frightened of myself, I’m frightened to face myself. Right? I don’t know what I am, therefore I think I know what you are, therefore, I depend on you because I don’t know what I am, myself. K: Oh, saya tidak mau berdiskusi, Pak -itu menjadi mustahil. Jadi, saya merasa takut untuk sendirian, takut kehilangan rasa aman saya, dan saya mengatakan, "Mengapa, apa di belakang ketakutan itu?" Apakah saya ketakutan akan kesepian, sendirian, tidak mempunyai sesuatu untuk digantungi karena tidak bisa bergantung pada diri sendiri, saya takut pada diri sendiri, saya takut menghadapi diri sendiri. Benar? Saya tidak tahu apakah saya ini, karenanya saya berpikir saya tahu apakah Anda, karenanya, saya bergantung pada Anda karena saya tidak tahu apakah saya, diri sendiri.
35:50 Q: That’s incorrect. P: Itu salah.
36:03 K: Incorrect. Right, sir. K: Salah. Baik, Pak.
36:05 Q: When I’m alone and I’m drifting around and I feel this insufficiency, this emptiness and I see people around, I’m walking around I see families and I’m not related to any of them, my perception is superficial, things are flitting in and out of my head I stay with this for some time and I want to break away from this. It’s then that I want someone to go to, to be stimulated. It just depends how long you go with it. P: Ketika saya sendirian dan berkeluyuran dan merasakan ketidakcukupan ini, kekosongan ini dan saya melihat orang di sekitar, saya berjalan berkeliling saya melihat keluarga dan saya tidak berhubungan dengan mereka, persepsi saya dangkal, hal-hal melayang masuk dan keluar dari kepala saya saya tinggal dengan ini beberapa waktu dan saya ingin melepaskan diri dari ini. Maka itulah saya ingin seseorang untuk didatangi, untuk distimulasi. Tergantung berapa lama Anda bersama.
36:42 K: Yes, sir, that is what we’re saying. I don’t see where we are disagreeing in this. My God! K: Ya, Pak, itulah yg kita katakan. Saya tidak melihat di mana kita tidak setuju dalam hal ini. Masyaallah!
36:58 Q: Sir, is it really possible to understand completely why we are in conflict, because we are ourselves in conflict. I see that somehow I’ve separated myself from myself but apart from that I can’t see why we are in conflict. P: Pak, benar-benar mungkinkah untuk memahami secara komplit kenapa kita ada dalam konflik, karena kita sendiri ada dalam konflik. Saya melihat bahwa entah bagaimana saya memisahkan diri saya dari diri saya tapi selain itu saya tidak bisa melihat mengapa kita ada dalam konflik.
37:17 K: We are seeing, sir, we are examining why we are in conflict. Look, I don’t know myself, about myself – all my structure, all my nature, my hurts, my ambitions, my greeds, my arrogance, and violence, all that. All that is ‘me.’ Right? And I have not examined all that. I’ve not gone into myself very, very deeply. So, I want security in spite of all that, in something – in furniture, in a house, in a belief, in a faith, in a wife or a husband. I want security. God! This seems so simple. Don’t you all want security? K: Kita melihat, Pak, kita memeriksa mengapa kita ada dalam konflik. Lihat, saya tidak tahu diri saya, tentang diri saya -seluruh struktur, seluruh sifat saya, luka-luka, ambisi saya, keserakahan, keangkuhan saya, dan kekejaman, semua itu. Semua itu adalah "si aku". Benar? Dan saya tidak menyelidiki semua itu. Saya tidak mempelajari diri saya secara sangat, sangat mendalam. Terlepas dari semua itu, saya menginginkan rasa aman di dalam sesuatu -dalam perabotan, dalam sebuah rumah, dalam kepercayaan, dalam suatu iman, dalam seorang istri atau seorang suami. Saya menginginkan rasa aman. Tuhan! Ini sangat sederhana. Bukankah Anda sekalian menginginkan rasa aman?
38:11 Q: Is there any evidence that such a thing as security exists? If one examines life, there is no such thing as security, in anything. P: Apakah ada bukti bahwa keamanan itu ada? Jika orang memeriksa kehidupan, tidak ada keamanan, dalam segala hal.
38:21 K: I haven’t understood, sir. K: Saya belum mengerti, Pak.
38:24 Q: Is there any evidence that security exists? P: Adakah bukti bahwa keamanan ada?
38:27 K: I’m going to show you. It doesn’t exist. You don’t allow me, let me finish, go into this! See, you want to jump to conclusions. You don’t want to see the... That gentleman asked, please describe the nature and the structure of thought. He asked that question. The structure of thought. This is the structure of thought: that we want security because we know very well there is no security. You understand? An earthquake can take place tomorrow, we’ll all be wiped out or anything can happen. There is no such thing as security, psychologically. If we realise that once, very deeply, that there is no such thing as psychological security then we will not be in conflict. But we don’t realise it, we want security in somebody else – we want security physically: having a house, money, position, prestige. I may not have money, a house, but I want prestige, that’s my security. I want to be great, and I work to be great, I may be poor but I want to be a great man, a famous man. That’s my security, and the other says, ‘My security is in faith. I believe’ – and it may be neurotic – and all beliefs are neurotic. And there is security in neuroticism. K: Saya akan tunjukkan. Itu tidak ada. Anda tidak mengijinkan saya, biar saya selesaikan, mempelajari ini! Lihat, Anda ingin melompat ke kesimpulan. Anda tak ingin lihat... Pria itu bertanya, tolong gambarkan sifat dan struktur pikiran. Dia menanyakan itu. Struktur pikiran. Inilah struktur pikiran: bahwasanya kita menginginkan keamanan karena kita tahu betul tak ada keamanan. Anda mengerti? Gempa bumi bisa berlangsung besok, kita semua pasti tersapu atau apapun bisa terjadi. Tidak ada keamanan, secara psikologis. Jika sekali kita menyadari itu, sangat mendalam, bahwa tidak ada keamanan psikologis maka pastilah kita tidak akan berkonflik. Tapi kita tidak menyadari itu, kita menginginkan keamanan dalam seseorang -kita ingin keamanan fisik: punya sebuah rumah, uang, posisi, prestise. Mungkin saya tidak punya uang, rumah, tapi saya ingin prestise, itulah keamanan saya. Saya ingin besar, dan saya bekerja untuk jadi besar, saya mungkin miskin tapi saya ingin jadi orang besar, terkenal. Itu keamanan saya, dan yg lain mengatakan, "Keamanan saya dalam iman. Saya percaya" -dan itu mungkin neurotik- dan semua kepercayaan adalah neurotik. Dan ada keamanan dalam neurotisisme.
40:20 So, man is seeking, all the time, security, and we never realise there is no such thing. Right? Because my wife may run away from me, but if she runs away I hate, I’m jealous, but I’m going to find another woman, or man, and I cling to that. So, this goes on all the time. So, I’m asking, why do human beings demand security knowing very well, deeply, inwardly, there is no such thing? Why has the world divided itself geographically, nationally, as Hindus, Buddhists, all the rest of it, why? Because they want security. It feels very secure if you’re an Englishman. Jadi, manusia mencari sepanjang waktu, keamanan, dan kita tidak pernah sadar itu tidak ada. Benar? Karena istri saya bisa lari dari saya, dan jika dia lari saya benci, saya cemburu, dan saya akan mencari perempuan lain, atau laki-laki, dan saya melekat kepada itu. Nah, ini berlangsung sepanjang waktu. Jadi, saya bertanya, mengapa manusia meminta keamanan mengetahui betul, mendalam, secara batin, hal itu tidak ada? Mengapa dunia membagi dirinya secara geografis, kebangsaan, sebagai Hindu, Buddhis, semua itu, mengapa? Karena mereka menginginkan keamanan. Rasanya sangat aman jika Anda berkebangsaan Inggris.
41:30 Q: They don’t really see. People here don’t really see. P: Mereka tidak betul2 melihatnya. Orang2 di sini tidak betul2 melihatnya.
41:34 K: That’s what I am saying, sir. K: Itulah yg saya katakan, Pak.
41:35 Q: It seems to me it’s this quality of seeing that we ought to talk about. P: Menurut saya kualitas melihat inilah yg harus kita bicarakan.
41:42 K: First, therefore, can we see, observe, that there is no security at all, psychologically, therefore, no attachment? It doesn’t mean promiscuity. It is impossible to be attached to a human being. What are you attached to when you’re attached to a human being? You’re attached to the image that you have created about that human being, not to the person but to the image that you have about her or him. Please, this is so obvious. K: Pertama, oleh sebab itu, bisakah kita lihat, amati, bahwa tidak ada keamanan sama sekali, secara psikologis, oleh sebab itu, tidak ada kemelekatan? Bukan berarti persetubuhan. Tidak mungkin melekat pada manusia. Apa yg Anda lekati ketika Anda melekat pada manusia? Anda melekat pada gambaran yg Anda ciptakan tentang manusia itu, bukan pada orangnya tapi pada gambaran yg Anda punyai tentang dia. Tolong, ini sangat jelas.
42:35 Q: Sir, isn’t that seeking security a shift from the biologically inbuilt seeking? P: Pak, tidakkah pencarian keamanan suatu pergeseran dari pencarian biologis?
42:43 K: Biologically, I need security. Right? I need food, I need clothes, I need shelter, but that is made impossible by my desire to be secure, inwardly. Which is, I am a nationalist, I believe I’m a great Englishman, cut out every other… You follow? So, we divide the world and thereby destroy our own security. You don’t see all this. K: Secara biologis, saya butuh keamanan. Benar? Saya butuh makanan, butuh pakaian, butuh permukiman, tapi itu tidak mungkin dilakukan oleh keinginan saya untuk aman, secara batin. Yg mana, saya adalah seorang nasionalis, saya percaya saya orang Inggris yg besar, memotong yg lainnya... Anda ikuti? Nah, kita membagi dunia dan dgn demikian menghancurkan keamanan kita. Anda tidak melihat semua ini.
43:19 Q: It seems to be the contrary for me. I need to be insecure. P: Sepertinya yg sebaliknyalah pada saya. Saya butuh tidak aman.
43:23 K: No, sir. Look, sir, we say, physically you must have security. Right? K: Tidak, Pak. Lihat, Pak, kita katakan, secara fisik Anda harus aman. Benar?
43:29 Q: No, I don’t think so. When I feel insecure, I feel very happy. P: Tidak, saya tidak berpikir demikian. Ketika saya merasa tidak aman, saya merasa amat bahagia.
43:36 K: Mustn’t you have food and clothes and shelter? You have clothes, you have food. Millions of people haven’t got food, clothes. Why is it? K: Tidakkah Anda harus mempunyai makanan dan pakaian dan tempat tinggal? Anda mempunyai pakaian, makanan. Jutaan orang tidak punya makanan, pakaian. Mengapa demikian?
43:53 Q: When we’ve got nothing, we change our minds. P: Ketika kita tidak punya apapun, kita ubah pikiran kita.
43:57 K: That’s just what I’m saying, sir. Because psychologically we have established security in nationalities, in division, the biological, physical security is being denied. K: Itulah yg saya katakan, Pak. Karena secara psikologis kita telah memapankan keamanan dalam nasionalitas, pembagi-bagian, yg biologis, yg bersifat fisik keamanan ditolak.
44:14 This is… isn’t it? So, let’s proceed. Do we see, not as an idea, but as an actuality, that there is no psychological security? Or are you frightened of it? Frightened of this enormous fact? Ini... tidakkan demikian? Maka, mari kita memproses. Apakah kita lihat, tidak sebagai ide, tapi secara aktualitas, bahwa tidak ada keamanan psikologis? Atau Anda takut akan hal itu? Takut akan fakta yg dahsyat ini?
44:41 Q: Couldn’t I get security out of myself, somehow? For instance, by knowing whatever happens... P: Tidak bisakah saya mendapat keamanan di luar diri saya, entah bagaimana? Misalnya, dengan mengetahui apa saya yg terjadi...
44:49 K: I’m showing it to you, sir, now. Please, we said there is no such thing as security, do you see that? Not as an idea, not as a conclusion, but an actuality, like the microphone. Do you see it? K: Saya sedang menunjukkan pada Anda, Pak. Tolong, kita mengatakan tidak ada itu keamanan, Anda lihat itu? Tidak sebagai ide, tidak sebagai konklusi, tapi suatu aktualitas, seperti mikrofon ini. Anda lihat itu?
45:08 Q: No, we don’t.

K: That’s just it. Why don’t you?
P: Tidak, kami tidak.

K: Itulah. Mengapa Anda tidak?
45:14 Q: (Inaudible) P: (tidak terdengar)
45:52 K: We’re coming to that, sir, please. Would you please…? I’m asking, when we come to the point that there is no psychological security, you know, that’s a tremendous thing to observe and realise because then our whole activity changes. Do we realise it or is it an idea with which you’re going to be convinced? You understand my question? Why don’t you see it as a reality? It is a reality you are sitting there, and it’s a reality I’m sitting here. Why don’t we see it as actually as that? Is it part of our conditioning, part of fear – fear being, ‘My God, I’II lose my wife, I’II lose my friend,’ because in that person I have invested all my hope, my cravings, my demands, sexually and other things, and I suddenly realise there is no such thing as security. You know what it means? That’s freedom. And we don’t want freedom. We’d rather know the state of slavery than the state of freedom. K: Kita akan sampai ke situ, Pak, tolong. Maukah Anda...? Saya bertanya, ketika kita sampai pada intinya bahwa tidak ada keamanan psikologis, Anda tahu, itu hal yg luar biasa mengamati dan menyadari karena kemudian seluruh aktivitas kita berubah. Sadarkah kita atau itu suatu ide yg dengannya Anda akan diyakinkan? Anda mengerti pertanyaan saya? Mengapa Anda tidak melihatnya sebagai suatu realitas? Adalah realitas Anda duduk di sini, dan adalah realitas saya duduk di sini. Mengapa kita tidak melihatnya secara aktual? Apa itu bagian dari keterkondisian kita, bagian dari ketakutan -ketakutan, "Tuhan, aku akan kehilangan istriku, aku akan kehilangan teman," karena pada orang itu aku telah menginvestasikan seluruh harapanku, dambaanku, tuntutanku, secara seksual dan hal-hal lain, dan aku mendadak tersadar tidak ada suatu hal seperti keamanan. Anda paham maksudnya itu? Itu adalah kebebasan. Dan kita tak ingin kebebasan. Kita lebih suka mengetahui keadaan perbudakan dibanding kebebasan.
47:48 Right. So, let’s proceed. There it is. I do not see that there is no security. I want security, I depend on security in another because it gives me comfort, it gives me a sense of being together, I’m then not lost, I’m not afraid to be alone, then I am not lonely. For all these reasons I cling to you. And I call this whole process of relationship, ‘love.’ I’m not being cynical, please. And that’s our conflict: knowing deeply, inwardly, this fact and holding on to non-fact. Right? That’s our problem. Seeing something as being truth and holding on to something which is not truth. Now, how do you bring about the cessation of this division between this and that? You understand, now? That is, I observe very clearly that I need security because I’m so deeply uncertain in myself, I’m so lonely, I’m so lost, confused, and I cling to you. That’s one fact. That’s a fact, also. The other fact is you have heard somebody say, ‘There is no such thing as security, my friend,’ and also, you say, ‘By Jove, that is so,’ deeply, inwardly, you know it is so. So, there are these two facts. So, what will you do? How will you bridge these two? Benar. Mari kita teruskan. Itu dia. Saya tidak lihat bahwa tak ada perlindungan. Saya ingin keamanan, saya bergantung pada perlindungan dari orang lain karena itu memberi saya kenyamanan, itu memberi saya rasa kebersamaan, jadi saya tidak tersesat, saya tidak takut sendirian, saya tidak kesepian. Dengan semua alasan itu saya melekat pada Anda. Dan saya sebut seluruh proses hubungan ini sebagai 'cinta'. Saya bukan sinis, tolong. Dan itulah konflik kita: tahu secara mendalam, dalam batin, fakta ini dan berpegang pada yang bukan fakta. Benar? Itulah masalah kita. Melihat suatu hal sebagai kebenaran dan berpegang pada yang bukan kebenaran. Nah, bagaimana Anda menyebabkan penghentian dari pemisahan antara ini dan itu? Anda paham, sekarang? Itulah, saya mengamati sangat jelas bahwa saya butuh perlindungan karena saya sangat tak yakin terhadap diri saya, saya kesepian, saya tersesat, bingung, dan saya melekat pada Anda. Itu salah satu fakta. Itu adalah fakta juga. Fakta lainnya adalah Anda dengar seseorang berkata, 'Tak ada hal bernama perlindungan, temanku,' dan juga, kau katakan, 'Astaga, jadi demikian,' secara mendalam, pada batin, Anda tahu itu demikian. Jadi, ada dua fakta. Jadi, apa yang akan kau lakukan? Bagaimana kau akan menjembatani dua hal ini?
50:15 Q: I must look at my fear. Saya harus melihat ketakutan saya.
50:19 K: That’s right. You must look at your fear. How do you look at your fear? We have come to that point, now. You see? That is, human beings are frightened. How do you observe that fact? Itu benar. Kau harus melihat ketakutanmu. Bagaimana cara melihat ketakutanmu? Kita telah sampai ke situ, sekarang. Anda paham? Yaitu, manusia merasa takut. Bagaimana Anda mengamati fakta itu?
50:48 Q: They laugh at it. They laugh to hide their fear. Mereka menertawainya. Mereka tertawa untuk menyembunyikan ketakutan mereka.
50:56 K: Of course, that’s laughter. We laugh to hide our fear. Please, I’m asking you, without escaping, if you can, how do you observe your fear? Tentu, itulah tawa. Kita tertawa untuk menyembunyikan ketakutan kita. Tolong, saya menanyai Anda, tanpa melarikan diri, jika Anda bisa, bagaimana Anda mengamati ketakutan?
51:12 Q: Through relationship.

K: Through relationship. We have discovered, through relationship, that I’m frightened of losing, frightened. So, how do you look or observe, or are aware of that fear?
Melalui hubungan. Melalui hubungan. Kita telah menemukan, melalui hubungan, bahwa saya takut kehilangan, takut. Jadi, bagaimana Anda melihat atau mengamati atau sadar akan ketakutan itu?
51:34 Q: Can I observe the fear when I am the fear? Bisakah saya mengamati ketakutan ketika sayalah ketakutan itu?
51:37 K: Are you sure of that? Or it’s just an idea? Anda yakin akan hal itu? Atau itu hanya gagasan?
51:42 Q: I’m sure of that. Saya yakin akan hal itu.
51:46 K: Which is so. You’re sure of it. That means you are sure of something, it is not a fact. Memang demikian. Anda yakin akan hal itu. Itu artinya Anda yakin pada suatu hal, itu bukan fakta.
51:56 Q: Sir, if I try and observe fear, I cannot observe it. Pak, jika saya mencoba dan mengamati ketakutan, saya tak bisa mengamatinya.
52:01 K: I’m going... sir, just follow it. I’m going to go into that, sir. How do you observe...? Sir, how do you observe your wife? Have you ever observed your wife, or your husband, boy or girl, have you? What do you say, have you? Observed. How do you observe them? There is visual perception, the face, the colour of the hair, colour of the eyes, the eyebrows and so on, so on, and that’s a physical observation. You see that. Then how do you observe her, non-physically? Saya akan... Pak, ikuti saja. Saya akan sampai pada hal itu, Pak. Bagaimana Anda mengamati? Pak, bagaimana Anda mengamati istri Anda? Pernahkah Anda mengamati istri Anda, atau suami Anda, perempuan atau laki-laki, pernahkah? Apa yang Anda katakan, pernahkah? Mengamati. Bagaimana Anda mengamati mereka? Ada persepsi visual, wajah, warna rambut, warna mata, bulu mata, dan sebagainya, dan itulah pengamatan visual. Anda paham itu. Lalu bagaimana Anda mengamatinya, secara non-fisik?
52:58 Q: Through your image of them?

K: Don’t ask me. Are you sure of that? My God! Just theories, you indulge in. Haven’t you got an image about your wife?
Melalui gambaran Anda tentang mereka? Jangan tanyakan pada saya. Anda yakin tentang itu? Astaga! Hanya teori-teori yang Anda nikmati. Apakah Anda tak punya gambaran tentang istri Anda?
53:17 Q: You do it through experience of the person. Anda melakukannya melalui pengalaman dari orang itu.
53:26 K: Yes, we said that, through interaction, through habit, through nagging, through domination, possession, hurts, you have created, through interaction, between man and woman, an image about her and she has built an image about you. That’s a simple fact, isn’t it? Would you see that? Ya, kita mengatakan, melalui interaksi, melalui kebiasaan, melalui omelan, melalui dominasi, kepemilikan, sakit hati, Anda telah menciptakan, melalui interaksi, antara laki-laki dan perempuan, suatu gambaran tentang ia dan ia telah ciptakan gambaran tentang Anda. Itu adalah fakta sederhana, bukan? Akankah Anda melihatnya?
53:52 Q: Surely there are benign forms of interaction, as well? Tentunya ada bentuk interaksi yang ramah juga, kan?
54:05 K: Interaction is very complicated, we know that. So, each person creates an image about him or her, and you look at each other through those images, don’t you? You have hurt me, I have a picture of that, I have been hurt by you. You have hurt my image about myself. Right? And that picture I hold. So, through images we are related. How terrible all this is! Interaksi sangatlah rumit, kita tahu itu. Jadi, tiap orang membuat gambaran tentang dirinya, perempuan atau laki-laki, dan kaliam melihat satu sama lain melalui gambaran itu, bukan begitu? Anda telah menyakiti saya, saya punya gambaran itu, saya telah disakiti oleh Anda. Anda telah menyakiti gambaran tentang diri saya. Benar? Dan saya mempertahankan gambaran itu. Jadi, kita terhubung melalui gambaran. Betapa buruknya semua ini!
54:52 Now, we’re asking, how do you observe all this? Do you observe it as something outside of you, or part of you? You understand the difference? If it is outside of you then you have to do something about it. Right? Conquer it, suppress it, run away from it, explain it, analyse it and so on, which is all conflict, isn’t it? But if there is no division, you are that, aren’t you? That’s a fact, isn’t it? You don’t do it, that’s why you just... Sekarang, kita bertanya, bagaimana Anda mengamati semua ini? Apakah Anda mengamatinya sebagai sesuatu di luar Anda, atau bagian dari Anda? Apakah Anda memahami perbedaannya? Jika itu ada di luar Anda maka Anda harus lakukan sesuatu tentang itu. Benar? Menaklukkannya, menekannya, berlari darinya, menjelaskannya, menganalisisnya dan sebagainya, yang semuanya adalah konflik, bukan begitu? Tapi jika tidak ada pembagian, Anda adalah itu, bukan? Itu adalah fakta, tidakkah demikian? Anda tidak melakukannya, itu sebabnya Anda hanya...
55:45 Q: You feel the pain inside you but you look outside you for the cause. Anda menderita di dalam namun mencari penyebabnya di luar.
55:49 K: Somewhere else. That’s right, sir. I’m asking you, how do you look at yourself? We have described what you are – anger, hate, jealousy, neuroticism, peculiar habits, idiosyncrasies, vanity, arrogance, a bundle of God knows what. And you say, ‘Well, how do you look at this bundle?’ Di tempat lain. Benar. Saya bertanya, bagaimana Anda memandang diri Anda? Kita sudah mendeskripsikan bahwa diri kita adalah kemarahan, kebencian, kecemburuan, neurotisme, perilaku ganjil, keanehan, kesombongan, keangkuhan, kumpulan hal yang hanya Tuhan yang tahu. Dan Anda berkata, 'Nah, bagaimana Anda melihat kumpulan hal ini?'
56:23 Q: You feel it, sir.

K: You feel it. Now, you are that bundle, aren’t you? You’re not different from that bundle, are you? This is our conditioning, this is our training, this is our education, which says, ‘I am different from that,’ and that’s one of our greatest difficulties. We don’t see that is ‘me,’ anger is ‘me,’ isn’t it, sir? Arrogance is ‘me,’ vanity is ‘me,’ but I like to think it is something outside of me.
Anda merasakannya, Pak. Anda merasakannya. Nah, Anda adalah kumpulan itu, bukan? Anda tidak berbeda dari kumpulan itu, bukan? Inilah pengkondisian kita, inilah latihan kita, inilah pendidikan kita, yang mengatakan, 'Saya berbeda dari itu,' dan itulah salah satu kesulitan terbesar kita. Kita tidak lihat bahwa itu adalah 'saya,' kemarahan adalah 'saya,' bukan begitu? Keangkuhan adalah 'saya,' kesombongan adalah 'saya,' tapi saya suka berpikir itu adalah sesuatu di luar saya.
57:10 Now, the question was, which that gentleman raised, when you see that all that bundle is you, actually, not as an idea, reality, that you are that. That is, the observer is the observed, the thinker is the thought, what we have analysed is the analyser. Right? So, the question was, what happens when this actuality takes place? You understand, sir? Sekarang, pertanyaannya adalah, yang diajukan pria itu, ketika Anda melihat bahwa seluruh kumpulan itu sebenarnya adalah Anda , bukan sebagai gagasan kenyataan, bahwa Anda adalah itu. Itu adalah, pengamat adalah yang diamati, pemikir adalah yang dipikirkan, apa yang kita telah analisis adalah analis. Benar? Jadi, pertanyaannya adalah, apa yang terjadi ketika aktualitas ini berlangsung? Anda mengerti, Pak?
57:55 Q: You have a good laugh.

K: Have a good laugh? Well, you have laughed, right, and then what? Oh, sir, do let’s be serious, this is not a joke.
Anda menghibur. Menghibur? Nah, Anda tertawa, bukan, lalu apa? Oh, Pak, ayolah kita serius, ini bukan lelucon.
58:07 Q: I don’t feel any more tension.

K: No. Is this a fact to you, that there is no division between yourself and the various qualities or things that you have accumulated, you are all that – is that a fact? Then the questioner says, assume it is a fact, then what is the state, right? What happens? Look at his question. Suppose this is so, then what happens? You want a description of what happens, so you’re caught, again, in a description. You don’t say, ‘Now I’m going to find out, I’II put my teeth into it, I’m going to find out why this division exists in me, this self-contradiction, why I cannot see that as I see anger is ‘me,’ why cannot I see that the whole characteristics, the idiosyncrasies, the vanities, the hurt, is part of ‘me,’ is ‘me’? Why don’t you see that? If you see that, then what is the action? There is no action, there’s no action. You understand? We are used to action, to do something about ourselves, therefore, we say, the thing we observe, we separate ourselves from that observed because we think we can do something about it – right? – suppress it, conquer it, analyse it, dissect it, a dozen things. That’s part of our education, part of our tradition, part of our culture, but the reality is, that which you observe in yourself is you. Right? When that really takes place all action stops, with regard to yourself, which we can’t accept because it’s quite contrary to our conditioning. So, what happens when you don’t waste your energy in conquering, in disciplining, in suppressing, what happens, with all that energy? It’s all there, now, isn’t it? Instead of wasting it, you’ve got it.
Saya tidak merasakan tekanan apapun lagi. Tidak. Ini adalah fakta untuk Anda, bahwa tidak ada pemisah-misahan antara diri Anda dan berbagai kualitas atau hal yang telah Anda kumpulkan, Anda adalah semua itu - apakah itu fakta? Kemudian si penanya berkata, asumsikanlah bahwa itu fakta, lalu apa keadaannya, benar? Apa yang terjadi? Pikirkan pertanyaannya. Anggaplah ini demikian, lalu apa yang terjadi? Anda menginginkan deskripsi dari apa yang terjadi, sehingga Anda terjebak, lagi-lagi, dalam deskripsi. Anda tidak berkata, 'Sekarang saya akan mencari tahu, Saya akan mengerjakannya, saya akan mencari tahu mengapa pemisah-misahan ini ada dalam diri saya, kontradiksi ini, mengapa saya tak bisa lihat itu seperti saya lihat kemarahan adalah 'saya,' kenapa saya tak bisa lihat bahwa keseluruhan sifat itu, keanehan itu, keangkuhan, rasa sakit, apakah bagian dari 'saya', adalah saya? Mengapa Anda tak melihatnya? Jika Anda melihatnya, lalu apakah tindakannya? Tidak ada tindakan, tidak ada tindakan. Anda paham? Kita terbiasa bertindak, melakukan sesuatu tentang diri kita, karenanya, kita berkata, hal yang kita amati, kita memisahkan diri kita dari apa yang kita amati karena kita kira bisa melakukan sesuatu tentang itu - benar? - menekannya, menaklukkannya, menganalisisnya, membedahnya, lusinan hal. Itu bagian dari pendidikan kita, tradisi kita, budaya kita, tapi kenyataannya yaitu apa yang Anda amati dalam diri Anda adalah Anda. Benar? Ketika hal itu sungguh terjadi, tindakan berhenti, sehubungan dengan diri Anda, yang tak bisa kita terima karena itu berlawanan dengan pengkondisian kita. Jadi, apa yang terjad ketika Anda tak menghabiskan energi untuk menaklukkan, mendisiplinkan, menekan, apa yang terjadi, dengan semua energi itu? Semua ada di situ, sekarang, bukan? Bukan menghabiskan, Anda justru mendapatkan.
1:01:17 Q: Please, may I suggest that we come back to your definition of activity and action? Tolong, bolehkah saya sarankan agar kita kembali ke definisi Anda tentang aktivitas dan tindakan?
1:01:22 K: Yes, sir, wait. Don’t go into my definition. Just look at what is taking place. I started out by realising that the inward conflict expresses itself, outwardly. That’s a fact. I started out with that. I realised that. It’s not an idea, it’s an actuality, it’s a burning reality to me, that this fact that as long as there’s conflict in me, I’II have conflict with my wife, with my friends, with everything in life. I realise it, it is a fact. You can’t take it away from me. Then I say, why does this conflict exist? Because there is contradiction, the contradiction is wanting security and finding no security. That’s one factor. And another factor is that I am frightened to be alone, frightened to be lonely, therefore, I escape through you, through words, through pictures, through worship, through every form of entertainment, whether religious or otherwise. I escape. So, I don’t escape, I want to find this out, I will not escape, so I look. Ya, Pak, tunggu. Jangan membahas definisi saya. Lihat saja apa yang terjadi. Saya mulai dengan menyadari bahwa konflik yang ada di dalam mengekspresikan dirinya, di luar. Itu fakta. Saya mulai dengan itu. Saya menyadari hal itu. Itu bukan gagasan, itu adalah kenyataan, itu kenyataan yang hangat bagi saya. fakta bahwa selama ada konflik di dalam diri saya. saya akan punya konflik dengan istri saya, teman-teman saya, dengan apapun dalam kehidupan. Saya menyadarinya, itu fakta. Anda tak bisa mengambilnya dari saya. Lalu saya berkata, kenapa konflik ini ada? Karena ada kontradiksi, kontradiksi itu menginginkan keamanan dan tak menemukannya. Itu adalah salah satu faktor. Dan faktor yang lain adalah bahwa saya takut sendiri, takut kesepian, sehingga, saya melarikan diri melalui Anda, melalui kata-kata, melalui gambar-gambar, melalui pemujaan, melalui setiap bentuk hiburan, baik religius maupun sebaliknya. Saya melarikan diri. Jadi, saya tidak melarikan diri, saya ingin menyelidiki ini, saya tak akan melarikan diri, jadi saya melihat.
1:02:51 So, I see why this division exists – fear. Fear of being completely alone. What is fear? And how do I observe that fear? Is that fear out there and I am looking at it, or the fear is ‘me’? If it is out there, I can cut it like a tree, I can operate on it. But if it’s here, if it’s part of me, part of my thinking, what can I do? You understand my question? So, our conditioning is to act on something which we see outwardly, which is fear. When that activity ceases, I’m lost. So, I’m frightened. So, I say, ‘Now, I’II look at that fear.’ How do I look at it? I look at it as part of me, it is me that’s afraid – ‘me,’ the psyche, inwardly. Can I look at it? Can I observe it? I can only observe it if I have a mirror. You understand? As I can observe my face in the mirror, so I can observe myself in my relationship – you understand? The relationship with another is the mirror in which I see my fear. You understand this? Jadi, saya melihat mengapa pembagian ini ada - ketakutan. Ketakutan menjadi sepenuhnya sendiri. Apa itu ketakutan? Dan bagaimana saya mengamati ketakutan itu? Apakah ketakutan itu ada di luar sana dan saya sedang melihatnya, atau ketakutan itu adalah 'saya'? Jika itu ada di luar, bisa saya tebang seperti pohon, saya bisa mengoperasinya. Tapi jika itu ada di sini, jika itu bagian dari saya, bagian dari pemikiran saya, apa yang bisa saya lakukan? Anda memahami pertanyaan saya? Jadi, pengkondisian kita adalah untuk bertindak pada hal yang kita lihat di luar, yaitu ketakutan. Ketika aktivitas itu berhenti, saya tersesat. Maka, saya takut. Maka, saya berkata, 'Sekarang, saya akan lihat ketakutan itu.' Bagaimana saya melihatnya? Saya melihatnya sebagai bagian dari saya, itu adalah saya yang merasa takut - 'saya,' jiwa, menuju ke dalam. Bisakah saya melihatnya? Bisakah saya mengamatinya? Saya hanya bisa mengamatinya jika saya punya cermin. Anda paham? Karena saya dapat mengamati wajah saya di cermin, jadi saya dapat mengamati diri saya dalam hubungan saya - Anda paham? Hubungan dengan orang lain adalah cermin di mana saya melihat ketakutan saya. Anda paham ini?
1:04:47 So, in that relationship, I see my fear. Then, I say to myself, ‘I am part of that fear therefore, I’m going to just observe it, not act upon it.’ You understand? Observe it. Therefore, there is only one factor which is really important, which is the clarity of observation. That clarity is prevented when the past, which is ‘me,’ my knowledge, all the past, prevents me from looking. You understand? The observer is the past – his memories, his hopes, his fears. So, as long as the observer is observing fear he will not go beyond fear, but when the observer is the observed then you have collected all that energy which you have wasted in struggle, in suppression, in anxiety and all that, you have got now tremendous energy which has not been wasted. When there is that tremendous energy, is there fear? It’s only when there is the dissipation of energy, there is fear. Then out of that, what comes next? You’re eager to find out what comes next because you don’t do it, first. Jadi, dalam hubungan itu saya melihat ketakutan saya. Lalu, saya berkata pada diri saya, 'Saya bagian dari ketakutan itu maka saya akan mengamatinya, tidak bertindak terhadapnya.' Anda paham? Amati itu. Dengan demikian, hanya ada satu faktor yang sungguh penting, yaitu kejelasan pengamatan. Kejelasan itu dicegah ketika masa lalu, yaitu 'saya', pengetahuan saya, semua masa lalu, mencegah saya dari melihat. Anda mengerti? Si pengamat adalah masa lalu - ingatan, harapan, ketakutannya. Jadi, selama si pengamat mengamati ketakutannya, ia tak akan melampaui ketakutan, tapi ketika si pengamat adalah yang diamati maka Anda telah mengumpulkan seluruh energi yang Anda habiskan dalam perjuangan, tekanan, kegelisahan dan semua itu, Anda saat ini punya energi luar biasa yang belum dihabiskan. Ketika ada energi luar biasa itu, adakah ketakutan? Hanya ketika ada pemborosan energi, ada ketakutan. Lalu dari situ, apa yang muncul setelahnya? Anda sangat ingin tahu yang berikutnya karena Anda tak melakukannya, pertama.
1:06:45 There’s lots more because then there is the total freedom to observe, and silence. Observation means silence, doesn’t it? If my mind is chattering, I can’t observe you. Right? If my mind says, ‘I don’t like that colour, I don’t like that face, I prefer black or brown, or purple,’ I can’t observe you. So, I must first be aware of my prejudices, put them away and then be free of them and look. But you don’t want to do all that, you want to reach instant heaven! Which is transcendental meditation. Ada lebih banyak lagi karena kemudian ada kebebasan sepenuhnya untuk mengamati, dan keheningan. Pengamatan berarti keheningan, bukan? Jika pikiran saya berceloteh, saya tak bisa mengamati kalian. Benar? Jika batin saya berkata, 'Saya tak suka warna itu, saya tak suka wajah itu, saya lebih suka hitam atau cokelat, atau ungu,' saya tak bisa mengamati kalian. Jadi, pertama-tama saya harus sadar akan prasangka saya, mengesampingkannya dan kemudian bebas darinya dan melihat. Tapi kalian tak mau melakukan semua itu, kalian ingin mencapai surga secara instan! Yaitu meditasi transendental.
1:07:54 Q: I find a problem that when I try and look at an emotion like anger I can’t see the thought of it, I can’t see the anger. Q: Saya menemukan masalah ketika saya coba dan melihat emosi seperti kemarahan, saya tak bisa melihat pikiran tentang itu, saya tak bisa lihat kemarahan.
1:08:05 K: No, wait, sir. Wait, look. When you feel angry, at the moment you’re not aware that you’re angry. Just watch it, sir. At the moment of anger your whole adrenaline, everything is in operation, and you’re angry, at that moment you’re not aware that you’re angry. Then later on comes the thought, ‘I have been angry.’ Right? K: Tidak, sebentar, Pak. Sebentar, dengar. Ketika Anda marah, pada saat itu Anda tak sadar bahwa Anda marah. Perhatikan saja itu, Pak. Pada saat marah, seluruh adrenalin Anda, semuanya bekerja, dan Anda merasa marah, pada saat Anda tak sadar bahwa Anda marah. Kemudian datang pikiran, 'Saya marah.' Benar?
1:08:38 Q: You were still angry before that sensation. Q: Anda masih marah sebelum sensasi itu.
1:08:43 K: Wait, give me two minutes. I’m going to go into it. I will show you, sir, please. You know anger, don’t you? Or most of you, unfortunately. So, at the moment of that feeling, that sensation, there is no recognition of it as anger. Right? Then comes the recognition that I am angry, I have been angry. Now, how does that recognition take place? Because you have been angry before. So, when you say, ‘I have been angry,’ you have recognised it because you have been angry before. So, the past is dictating what you should do. Right? Careful. Listen. Watch it in yourself. When you’re angry, at the actual moment, there is no feeling of anger, then thought comes along and says, ‘I have been angry.’ Thought is essentially the movement of the past. Right? Now, can you stop that movement of that past and not name it? You know what jealousy is, and when you have been jealous, at the moment there is this feeling. Why does thought take it over? You understand my question? Why does thought come in and say, ‘Well, I’ve been jealous,’ or, ‘I am jealous,’ why? K: Sebentar, beri saya dua menit. Saya akan membahas itu. Saya akan tunjukkan pada Anda, Pak, tolong. Anda tahu kemarahan, bukan? Atau sebagian besar dari kalian, sayangnya. Jadi, pada saat muncul perasaan itu, sensasi itu, tidak ada pengakuan tentang itu sebagai kemarahan. Benar? Lalu datang pengakuan bahwa saya marah, saya sudah marah. Nah, bagaimana pengakuan itu terjadi? Karena sebelumnya kalian sudah marah. Jadi, saat kalian berkata, 'Saya sudah marah,' kalian mengakuinya karena kalian sudah marah sebelumnya. Jadi, waktu lampau mendikte apa yang harus kalian lakukan. Benar? Hati-hati. Dengarkan. Amati itu dalam diri kalian. Saat kalian marah, tepat pada saat itu, tak ada perasaan marah, lalu pikiran ikut datang dan berkata, 'Saya sudah marah.' Pikiran pada intinya adalah pergerakan masa lampau. Benar? Sekarang, bisakah Anda menghentikan pergerakan masa lalu dan tidak memberinya nama? Anda tahu apa itu kecemburuan, dan ketika Anda sudah merasa cemburu, pada saat itu ada perasaan ini. Kenapa pikiran mengambil alih? Anda mengerti pertanyaan saya? Kenapa pikiran datang dan berkata, 'Nah, saya telah cemburu.' atau, 'Saya cemburu,' kenapa?
1:11:09 Q: You’re not there when you’re jealous. When you say, ‘I am jealous,’ then you come into being. Anda tidak ada di sana ketika Anda cemburu. Ketika Anda bilang, 'Saya cemburu,' lalu Anda menjadi ada.
1:11:17 K: Yes, why does it happen? Why don’t you say, ‘Yes, there is that feeling,’ and leave it alone? Why do you say, ‘I’ve been jealous’? And act from that jealousy, hate and all the rest of it, anger. Ya, kenapa itu terjadi? Kenapa Anda tidak katakan, 'Ya, ada perasaan itu,' dan meninggalkannya? Kenapa Anda bilang, 'Saya sudah cemburu'? Dan berperilaku berdasarkan kecemburuan, kebencian, dan semua sisanya, kemarahan.
1:11:34 Q: Because you need to identify with it. Karena Anda perlu mengidentifikasikan diri dengan itu.
1:11:40 K: Why do you identify?

Q: You have the feeling.
Kenapa mengidentifikasikan diri? Anda punya perasaan itu.
1:11:48 K: Why does this identification with a feeling take place? Kenapa identifikasi ini terjadi dengan adanya perasaan?
1:11:53 Q: Because you want to do something about it. It makes you feel insecure. Karena ingin lakukan sesuatu pada itu. Itu membuat rasa tak aman.
1:11:56 K: Yes. And also it’s my house, my wife, my name, my form, my country, my God, my faith – you follow? – it’s part of your tradition, culture, which says, ‘me,’ mine. So, all the past comes over and takes charge. Now, we’re asking, are you aware of this movement of the past taking charge of things? Are you aware of it, actually, not as a theory, as an actuality? Which means that you live in the past. Therefore, you are dead. Ya. Dan juga itu adalah rumah saya, istri saya, nama saya, bentuk saya, negara saya, Tuhan saya, iman saya - Anda paham? - itu bagian dari tradisi Anda, budaya, yang berkata, 'saya,' milik saya. Jadi, semua masa lalu datang dan mengambil alih. Sekarang, kita bertanya, apakah Anda sadar akan gerakan dari masa lalu ini yang mengambil alih hal-hal? Apakah Anda menyadarinya, sebenarnya, bukan sebagai teori, sebagai kenyataan? Yang berarti Anda hidup di masa lalu. Dengan demikian, Anda mati.
1:12:47 Q: One can’t be aware until... because that wouldn’t happen. It wouldn’t arise in the first place. Seseorang tak akan sadar sampai... karena itu takkan terjadi. Itu tak akan muncul pertama kali.
1:12:52 K: That’s just it, sir. That’s just what I’m saying. Begitulah, Pak. Itu yang saya maksud.
1:12:55 Q: But then, when you’ve had the sensation and you’ve realised then that you’re angry, and then you try and observe the structure of that anger, there seems to be nothing to observe. Tapi kemudian, saat Anda merasakan sensasi itu dan menyadari kemudian bahwa Anda marah, lalu Anda mencoba dan mengamati struktur kemarahan itu, seperti tak ada hal untuk diamati.
1:13:11 K: That’s all. It’s gone. Don’t be anxious about it, it’s gone! Itu saja. Itu sudah pergi. Jangan cemas tentang itu, sudah pergi!
1:13:21 Q: But you say one should see the totality. Tapi Anda mengatakan seseorang harus melihat keseluruhannya.
1:13:27 K: That’s what I said. The totality – say for instance, sir, the totality of hurt. You understand? Human beings are hurt from childhood, school, college, you know, the whole business of existence. You’re hurt, which is, you have an image about yourself which is hurt. Do you see that as an actuality? If you see that as an actuality, that the very essence of you is hurt, then what will you do about it? There are the past hurts, and you want to prevent future hurts. Can the past hurts be wiped away so that you can never be hurt, which doesn’t mean that you become like a stone. Never to be hurt. You see, you never ask these questions. Ask them! Itulah yang saya katakan. Keseluruhannya - katakanlah contohnya, Pak, keseluruhan dari rasa sakit. Anda paham? Manusia merasakan sakit sejak kecil, sekolah, kuliah, Anda tahu, seluruh perkara kehidupan. Anda disakiti, yaitu, Anda adalah citra diri Anda yang disakiti. Apakah Anda melihat itu sebagai kenyataan? Jika Anda lihat itu sebagai kenyataan, bahwa inti dari Anda disakiti, lalu apa yang akan Anda lakukan terhadap itu? Ada rasa sakit masa lalu, dan Anda ingin mencegah rasa sakit masa depan. Bisakah rasa sakit di masa lalu dihapus sehingga Anda tak bisa lagi disakiti, yang bukan berarti bahwa Anda menjadi seperti batu. Tidak pernah disakiti. Anda lihat, Anda tak pernah menanyakan pertanyaan ini. Bertanyalah!
1:14:58 Q: If you lose security, then you are hurt. Jika Anda kehilangan rasa aman, jadi Anda disakiti.
1:15:02 K: Sir, why are you hurt? You, who are hurt, what is the ‘you’? The image you have about yourself, no? I’m a Christian, I’m a Buddhist, I’m a Hindu, I am proud, I am vain – you follow? – all that is ‘you.’ Or, you think you are God, or a superior spiritual something inside you, which is above all this, which is, again, a process of thought. Right? So, the process of thought is hurt. And how do you prevent future hurts? Not by resistance, not by withdrawal, not by becoming more and more hard. Do you want to wipe out your hurts, or do you love your hurts? No, do please. Do you want to keep your hurts? There is great pleasure in keeping them because that gives you vitality, energy to hurt somebody else. If you want to be free of all hurts, what will you do? So that you are never, under any circumstances, in your relationship with the world, or with your friends, never to be hurt. Do you know what it means? To have a mind that is incapable of being hurt. Hurt – also, the other side is flattery. Both are the same. So, is it possible to end this being hurt? Do you want to find out? I’d better stop.

Q: Please, go on.
Pak, kenapa Anda disakiti? Anda, yang disakiti, apakah 'Anda' itu? Citra yang Anda miliki tentang diri Anda, bukan? Saya umat Kristen, Buddha, Hindu, saya bangga, saya sombong - Anda paham? - semua tentang 'Anda.' Atau, Anda pikir Anda adalah Tuhan, atau sesuatu yang spritual dan superior dalam diri Anda, yang di atas semua ini, yaitu, lagi-lagi, proses berpikir. Benar? Jadi, proses pemikiran adalah rasa sakit. Dan bagaimana Anda mencegah rasa sakit di masa depan? Bukan dengan resistensi, bukan dengan penarikan diri, bukan dengan menjadi lebih dan lebih keras. Apa Anda mau menghapus rasa sakit Anda, atau mencintai rasa sakit Anda? Tidak, tolong lakukan. Apa Anda mau menyimpan rasa sakit Anda? Ada kesenangan luar biasa dari menyimpannya karena itu memberi Anda vitalitas, energi untuk menyakiti orang lain. Jika Anda mau bebas dari seluruh rasa sakit, apa yang Anda lakukan? Agar Anda tak pernah, dalam keadaan apa pun, dalam hubungan Anda dengan dunia ini, atau dengan teman-teman, tak pernah disakiti. Anda tahu apa artinya itu? Untuk memiliki pikiran yang tak bisa disakiti. Rasa sakit - juga, di sisi lain adalah sanjungan, Keduanya sama. Jadi, apakah mungkin untuk mengakhiri rasa sakit? Apakah Anda ingin mencari tahu? Sebaiknya saya berhenti. Tolong, lanjutkan.
1:17:44 K: All right, all right. Do you really want to go into this?

Q: Yes.
Baiklah, baiklah. Apakah Anda sungguh ingin membahas ini? Ya.
1:17:49 K: All right, sir, I’II do it for you. But, do it. You understand? Not just live with words and ideas, but do it, because then you are free. Then you blossom in goodness, you flower in goodness, then. Baiklah Pak, akan saya lakukan untuk Anda. Tapi, lakukanlah. Anda mengerti? Tak hanya hidup dengan kata-kata dan ide-ide, tapi lakukanlah, karena dengan demikian Anda akan bebas. Lalu Anda mekar dalam kebaikan, lalu Anda berkembang dalam kebaikan.
1:18:11 What is hurt? I’m going to go into it. Don’t go verbally but, actually, look at yourself and go into yourself. You are hurt. Your parents hurt you when you’re a child, your friends, when you’re a child or a boy, hurt you, psychologically, then in the school, they hurt you, by saying you must be as clever as your brother, or your uncle, or your headmaster, or whatever it is, and then college, you pass exams and if you fail, you’re hurt. And if you don’t get a job, you’re hurt. Everything in the world is put together so that it hurts you. Our education which is so rotten, hurts you. So, you are hurt. Do you actually realise that you’re hurt? And see the results of being hurt – you want to hurt others. From that, arises anger, resistance, you withdraw, become more and more inwardly separate. And the more you are inwardly separate, withdrawing, the more you’re hurt. So, you build a wall around yourself and pretend that you’re very... you know, but always within the wall. These are all the symptoms. So, you’re hurt. And if you really, deeply realise that you’re hurt, not only at the conscious level but deep down, then, what will you do? Apa itu rasa sakit? Saya akan membahasnya. Jangan dibahas secara verbal tapi, sebenarnya, lihat dan selidiki diri Anda. Anda adalah rasa sakit. Ketika orang tua menyakiti Anda saat Anda masih anak-anak, teman-teman Anda, ketika masih anak-anak, menyakiti Anda secara psikologis, lalu di sekolah, mereka menyakiti Anda, dengan berkata Anda pasti sepintar saudara laki-laki Anda, atau paman, atau kepala sekolah, atau apa pun itu, dan kemudian universitas, Anda lulus ujian dan jika gagal, Anda tersakiti. Dan jika Anda tak mendapat pekerjaan, Anda tersakiti. Semua yang ada di dunia menjadi satu sehingga menyakiti Anda. Pendidikan kita yang sangat buruk, menyakiti Anda. Sehingga, Anda tersakiti. Apakah Anda sebenarnya sadar bahwa Anda tersakiti? Dan lihatlah hasil dari tersakiti itu - Anda ingin menyakiti orang lain. Dari situ, muncul kemarahan, resistensi, Anda menarik diri, menjadi lebih dan lebih terpisah di dalam. Dan semakin Anda terpisah di dalam, menarik diri, semakin Anda tersakiti. Jadi, Anda membangun tembok di sekitar diri Anda dan berpura-pura Anda sangat... Anda tahu, tapi selalu di balik tembok. Ini semua adalah gejalanya. Jadi, Anda tersakiti. Dan jika Anda sungguh, menyadari secara mendalam bahwa Anda tersakiti, tak hanya di tingkat sadar, tapi jauh di dalam, lalu, apa yang akan Anda lakukan?
1:20:15 Now, how does this hurt take place? Because you have an image about yourself. Suppose if I have an image about myself that I’m always sitting on a platform talking to an audience – thank God, I don’t – and if the audience disapproves or doesn’t come, I’m hurt because I have an image about myself. So, the fact is, as long as I have an image about myself that image is going to be hurt. Right? That’s clear, isn’t it? Now, is it possible to live without a single image? Which means no conclusions, which is a form of image, no prejudice. You follow? All these are images. And at the moment when you insult me, which is, at the moment you say something contrary to the image which I have about myself, then you hurt me. Now, at that moment, when you are saying something that is harmful, hurtful, if I am aware of what you’re saying, give my total attention to what you’re saying. You understand? At the second when you want to hurt me by saying something I give my attention to it, then there is no registration taking place. You understand this? It is only when there is inattention the registration of hurt takes place, or flattery. Sekarang, bagaimana rasa sakit terjadi? Karena Anda punya citra mengenai diri Anda. Katakanlah saya punya citra mengenai diri saya bahwa saya selalu duduk di panggung dan bicara pada pemirsa - terima kasih Tuhan, saya tidak - dan jika pemirsa tak setuju atau tak hadir, saya tersakiti karena saya punya citra tentang diri saya. Jadi, faktanya adalah, selama saya mempunyai citra tentang diri saya citra itu akan tersakiti. Benar? Itu jelas, bukan? Nah, apakah mungkin untuk hidup tanpa citra apapun? Yang berarti tidak ada kesimpulan, yang adalah bentuk pencitraan, tanpa prasangka. Anda paham? Semua ini adalah citra. Dan pada saat Anda menghina saya, yaitu, saat Anda berkata suatu hal yang berlawanan dengan citra yang saya buat tentang diri saya, maka Anda menyakiti saya. Nah, pada saat itu, saat Anda mengatakan sesuatu yang berbahaya, menyakitkan, jika saya sadar akan apa yang Anda bilang, memberi perhatian penuh pada apa yang Anda bilang. Anda paham? Pada saat ketika Anda ingin menyakiti saya dengan mengatakan sesuatu saya memperhatikannya, lalu tak ada pencatatan terjadi. Anda mengerti ini? Hanya ketika tidak ada perhatianlah terjadi pencatatan rasa sakit, atau sanjungan.
1:22:13 Now, can you give, when somebody says you’re a fool, can you, at that moment, give your total attention? If you do, then there is no hurt. The past hurts have gone in that attention. Attention is like a flame that burns out the past and the present hurt. Have you got this? That’s enough for today. Sekarang, bisakah Anda memberikan, saat seseorang berkata Anda bodoh, bisakah Anda, ketika itu, memberi perhatian penuh Anda? Jika Anda bisa maka tak ada rasa sakit. Rasa sakit masa lalu telah pergi dalam perhatian itu. Perhatian itu seperti nyala api yang membakar rasa sakit masa lalu dan kini. Sudahkah Anda paham ini? Itu sudah cukup untuk hari ini.