Krishnamurti Subtitles home


BR76T3 - Apakah waktu psikologis merupakah penemuan pikiran?
Ceramah Umum #3
Brockwood Park, UK
4 September 1976



0:23 Shall we go on with what we were talking about the other day, when we last met here. We talked about relationship, which is so important, because probably that’s the basis of all society. When that relationship is in constant conflict, as it is now, our whole social and moral structure must, inevitably, be corrupt. And we said – if we remember, rightly – that relationship, being of extraordinary importance, breeds conflict because our relationship is based on the movement of thought – the movement of thought being memory, measure, knowledge. And when knowledge interferes with relationship then, there must be conflict – knowledge being, all that one has accumulated during the past incidents, nagging, and all the rest of human relationship – what goes on. Bisakah kita melanjutkan apa yg kita bicarakan di waktu yg lalu, ketika kita terakhir kali bertemu di sini. Kita bicara tentang hubungan, yg sangat penting, karena mungkin itulah dasar dari seluruh masyarakat. Ketika hubungan itu ada dalam konflik yg konstan, seperti sekarang, seluruh struktur moral dan sosial kita harus, mau tidak mau, menjadi korup. Dan kita mengatakan - kalau kita mengingat, dengan benar - bahwa hubungan, yang merupakan hal yg luar biasa penting membiakkan konflik karena hubungan kita didasarkan pada gerak pikiran - gerak pikiran yg adalah kenangan, ukuran, pengetahuan. Dan ketika pengetahuan tercampur dengan hubungan maka, di situ pasti ada konflik - pengetahuan adalah semua yg seseorang telah akumulasikan selama kejadian lampau, omelan, dan semua lainnya dari hubungan manusia - apa yg terjadi.
2:10 And this morning, if we may continue, we ought to talk about time, sorrow, love and that extraordinarily important thing also in our life, which is death. We have rather a crowded morning with so many things to talk about, together – and I hope that we are sharing this thing together, not merely listening to a series of ideas, words, and through wrong listening, make what is said into a conclusion and agree or disagree with those conclusions. But what we are trying to do is talk things over as two friends, concerned with human problems and the importance of bringing about a radical transformation in our consciousness. That’s what we have been talking about, and we shall go on with that, today and tomorrow. Dan pagi ini, kalau kita bisa lanjutkan, kita harus bicara tentang waktu, dukacita, cinta dan hal yg luar biasa penting dalam hidup kita, yaitu kematian. Kita mempunyai pagi yg agak ramai dengan begitu banyak hal yg hendak dibicarakan, bersama - dan saya harap kita berbagi hal ini bersama, tidak semata-mata mendengarkan serangkaian gagasan, kata-kata, dan melalui mendengarkan yg salah, membuat apa yg dikatakan menjadi kesimpulan dan setuju atau tidak setuju dengan kesimpulan-kesimpulan tersebut. Tapi apa yg kita coba lakukan adalah membicarakan hal-hal sebagai dua teman, yg prihatin pada persoalan-persoalan kemanusiaan dan pentingnya menghasilkan transformasi radikal di dalam kesadaran kita. Itulah yg sudah kita perbincangkan, dan kita akan lanjutkan itu hari ini dan besok.
3:51 What is time? I think this is important to understand because that may be one of the factors of our fear about death. So, we must understand the nature of time: not the scientific fiction of time or timelessness but the actual, psychological time that thought has built. So, there are two kinds of time: the chronological, the daily events – yesterday, today and tomorrow – and there is the psychological time – the hope, what will be, and the achievement of what should be. All that involves time. Time is a movement. Please, follow all this, in yourself, not as an idea. Time is a movement, as thought is movement. So, thought and time are very closely related. There is chronological time – yesterday, today and tomorrow – catching the bus, train, going to the office and all the rest of that – time according to a watch, daylight, night. And, there is the whole nature of time, as thought has built in the psyche, in ourselves, that is, ‘what is’ and ‘what should be,’ a movement from here to there. Is there psychological time at all, or it is, actually, an invention of thought? That is, what is jealousy, anger, cruelty, violence – that is ‘what is.’ And to overcome that, we need time. That is the traditional, educated, conditioned thinking that to change ‘what is’ to ‘what should be’ from here to there – you need to cover that distance, time which is effort. Right? We’re meeting each other? Effort, to go from here, psychologically, towards an end – that end projected by thought, a purpose, a goal, an achievement, enlightenment and all the rest of it. That is, to move from here, ‘what is,’ to ‘what should be,’ the ideal. That’s what we have accepted, that is our normal thinking, or rather, educated thinking. It may be, perhaps, a neurotic thinking. Because we do not know how to deal with ‘what is,’ immediately, so we think we need time to achieve that which should be. Because we don’t know, or we are not capable, we don’t understand how to deal with ‘what is’ – anger, jealousy, hatred, sorrow and all the immense confusion which thought, man has created in himself, and so outwardly. Apa itu waktu? Saya kira ini penting dipahami karena mungkin itu salah satu dari faktor ketakutan kita akan kematian. Jadi, kita harus mengerti sifat waktu: bukan fiksi ilmiah tentang waktu atau keabadian, melainkan waktu psikologis yg aktual yg telah dibangun oleh pikiran. Jadi, ada dua jenis waktu: kronologis, kejadian sehari-hari - kemarin, hari ini dan besok - dan waktu psikologis - harapan, apa yg akan terjadi, dan pencapaian apa yg seharusnya terjadi. Semua itu melibatkan waktu. Waktu adalah suatu gerak. Tolong, ikuti semua ini, dalam diri Anda, bukan sebagai gagasan. Waktu adalah gerak, seperti pikiran adalah gerak. Jadi, pikiran dan waktu sangat dekat hubungannya. Ada waktu kronologis - kemarin, hari ini dan besok - menunggu bis, kereta api, berangkat ke kantor dan semua itu - waktu menurut jam, siang hari, malam. Dan, ada sifat keseluruhan waktu, yg telah dipasang pikiran di dalam batin, di dalam diri kita, yaitu 'apa adanya' dan 'apa yg seharusnya,' suatu gerak dari sini ke sana. Apakah waktu psikologis benar-benar ada, atau sebenarnya itu penemuan pikiran? Itu adalah, apa itu kecembururan, kemarahan, kekejaman, kekerasan - itulah 'apa adanya.' Dan untuk mengatasinya, kita butuh waktu. Itu adalah pemikiran yg dikondisikan secara tradisional, terdidik, bahwa untuk mengubah 'apa adanya' menjadi 'apa yg seharusnya' dari sini ke sana - Anda perlu menempuh jarak, waktu, yg adalah daya upaya. Benar? Kita bertemu satu sama lain? Daya upaya, untuk pergi dari sini, secara psikologis, hingga akhir - akhir itu diproyeksikan oleh pikiran, tujuan, sasaran, pencapaian, pencerahan dan seluruhnya itu. Yg artinya, pindah dari sini, 'apa adanya' ke 'apa yg seharusnya,' suatu ideal. Itulah yg sudah kita terima, itulah pemikiran normal, atau lebih baik, pemikiran terdidik. Itu bisa jadi, mungkin, suatu pemikiran yg neurotik. Karena kita tidak tahu bagaimana berurusan dengan 'apa adanya,' dengan segera, jadi kita kira kita butuh waktu untuk mencapai apa yg seharusnya tersebut. Karena kita tidak tahu, atau kita tidak mampu, kita tidak paham bagaimana berurusan dengan 'apa adanya' - kemarahan, kecemburuan, kebencian, dukacita dan semua kebingungan yg besar sekali yg pikiran, manusia telah ciptakan di dalam dirinya, demikian juga di luar dirinya.
8:26 So, we need time. At least, we think so. That is, if all hope is removed – hope is time. Right? Please, follow all this. One is desperate, anxious, frightened, all the things that human beings go through, to transform all that into something which is, perhaps, totally different, we think we need a process of time. Right? Please understand this, clearly. That is, the psychological time – the chronological time and the psychological time. We are talking about the psychological time. Time, we said, is a movement as thought is a movement, in time. So, is there an ideal, the ‘what should be,’ something different from ‘what is’? You understand my question? I’m envious, one is envious. We know all the implications of that envy, with the results of it in society, in our relationship with each other, and to overcome or to go beyond that envy, I need some days, weeks, months, years. Is that so, or is it total illusion? Can ‘what is’ be changed, immediately, instantly? If it can, then the ideal, that which should be, is non-existent. Jadi, kita butuh waktu. Setidaknya, kita kira demikian. Yang artinya, jika semua harapan dihapus - harapan adalah waktu. Benar? Tolong ikuti semua ini. Seseorang putus asa, cemas, takut, semua hal yg dialami manusia, untuk mentransformasi semua itu ke dalam sesuatu yg mungkin, sepenuhnya berbeda, kita kira kita butuh suatu proses waktu. Benar? Tolong pahami ini, dengan jernih. Yaitu, waktu psikologis - waktu kronologis dan waktu psikologis. Kita membicarakan waktu psikologis. Waktu, kita katakan, adalah suatu gerak seperti pikiran adalah gerak, dalam waktu. Jadi, adakah suatu ideal, 'apa yg seharusnya,' sesuatu yg berbeda dari 'apa adanya'? Anda mengerti pertanyaan saya? Saya iri, seseorang iri. Kita tahu seluruh implikasi iri, dengan seluruh akibatnya di masyarakat, dalam hubungan kita satu sama lain, dan untuk menanggulangi atau melampaui iri tsb., saya membutuhkan beberapa hari, minggu, bulan, tahun. Apakah demikian, ataukah itu ilusi total? Bisakah 'apa adanya' diubah serta-merta, segera? Jika bisa, maka yg ideal, yg seharusnya, tidak ada.
11:04 We are understanding each other? Please, perhaps, some of you are here for the first time and not have listened to all the other talks and, therefore, this may all sound rather strange, extravagant and quite loony. But actually, when you go into it, very deeply, into oneself, which is important because as we said, you are the world and the world is you, and wherever you go, every human being, whatever colour, whatever nationality, whatever religion he may be, he has these human problems of great sorrow, tears, laughter, anxiety, pain, that’s the common factor of human beings. And so, the world, wherever you are, that human beings are, they go through the same psychological phenomena as yourself, so you are, actually, the world and the world is you. If you can realise that, feel that profoundly, then it becomes extraordinarily important that one should transform oneself completely, psychologically, because then you affect the total consciousness of the world. That gives you enormous vitality, energy, strength when you see that you are like the rest of humanity and, therefore, there is no separate, individualistic struggle to overcome one’s own particular sorrow. Mengertikah kita satu sama lain? Tolong, barangkali, beberapa di antara Anda baru pertama kali di sini dan tidak mendengar percakapan lainnya dan, karenanya, semua ini kedengaran agak asing, berlebihan dan cukup gila. Tapi sebenarnya, ketika Anda masuk ke dalamnya sangat jauh, ke dalam diri, yg adalah penting karena seperti kita katakan, Anda adalah dunia dan dunia adalah Anda, dan ke manapun Anda pergi, setiap manusia, apapun warnanya, apapun nasionalitasnya, apapun agamanya, ia mempunyai persoalan-persoalan kemanusiaan seperti dukacita, air mata, tawa, kecemasan, rasa sakit, yg adalah faktor umum manusia. Dan, dunia ini, di manapun Anda berada, di mana manusia berada, mereka melalui fenomena psikologis yg sama seperti Anda, jadi Anda, sebenarnya, adalah dunia dan dunia adalah Anda. Jika Anda bisa menyadari itu, merasakannya secara mendalam, maka menjadi teramat sangat penting bahwa seseorang harus merubah dirinya secara keseluruhan, secara psikologis, karena kemudian Anda mempengaruhi kesadaran total dunia ini. Itu memberi Anda vitalitas yg besar sekali, energi, kekuatan ketika Anda melihat bahwa Anda sama seperti seluruh humanitas dan, karenanya, tidak ada pergulatan individualistis yg terpisah untuk menanggulangi dukacita tertentu yg dialami seseorang.
13:10 So, we’re saying, it’s very important to understand time. Time is part of our consciousness. Time is the division between ‘what is’ and ‘what should be’ and the effort made to change ‘what is,’ according to ‘what should be,’ that needs great time, from here to there. I think we must question that whole process. Though it has become traditional, we must question it, doubt it. And doubt is a very important thing in life. To doubt. Perhaps one or two religions – like Buddhism – start by questioning everything. As we said the other day, if you start with certainty, as most people do, then you end up with nothing. But if you start with doubting, questioning, being sceptical, trying to investigate, then, you end up with clarity. So, we are questioning this idea that we need time to change ‘what is’ into ‘what should be,’ which is a psychological process. Why is it not possible to change ‘what is,’ immediately not have the ideal? You understand my question? Ideal is a projection of ‘what is’ away from ‘what is.’ The ideal is non-existent. It’s a fiction, the ideal. What is actual, is what exists, ‘what is.’ So, we are dealing with ‘what is,’ which is actual, and trying to change ‘what is’ into ‘what should be,’ which is illusory. So, we are always caught between the fact and what is illusion. So, if one is able to think very clearly, objectively, non-personally, then is it possible to change ‘what is’ without transforming it into ‘what should be’? Jadi, kita mengatakan, sangat penting untuk memahami waktu. Waktu adalah bagian dari kesadaran kita. Waktu adalah pembelahan antara 'apa adanya' dan 'apa yg seharusnya' dan daya upaya yg dilakukan untuk mengubah 'apa adanya', menurut 'apa yg seharusnya,' itu butuh banyak waktu, dari sini ke sana. Saya pikir orang harus mempertanyakan keseluruhan proses itu. Sekalipun itu sudah menjadi tradisional, kita harus mempertanyakan, meragukannya. Dan keraguan adalah hal yg sangat penting dalam kehidupan. Meragukan. Barangkali satu atau dua agama - seperti Buddhisme - mulai dengan mempertanyakan segala sesuatu. Seperti kita katakan baru-baru ini, jika mulai dgn kepastian, seperti banyak orang, maka Anda berakhir dengan tanpa apapun. Tapi jka Anda mengawali dengan meragukan, mempertanyakan, bersikap skeptis, mencoba menyelidiki, maka, Anda akan berakhir dgn kejernihan. Jadi, kita mempertanyakan gagasan ini bahwa kita butuh waktu untuk mengubah 'apa adanya' menjadi 'apa yg seharusnya,' yg adalah proses pskologis. Mengapa tak mungkin mengubah 'apa adanya,' segera menjadi tak memiliki yg ideal? Anda paham pertanyaan saya? Yg ideal adalah proyeksi dari 'apa adanya' yg menjauh dari 'apa adanya.' Tidak ada yg ideal. Itu adalah fiksi, yg ideal. Apa yg aktual, apa yg eksis, adalah 'apa adanya.' Jadi, kita berurusan dengan 'apa adanya,' yg aktual, dan mencoba mengubah 'apa adanya' menjadi 'apa yg seharusnya,' yg dibuat-buat. Jadi, kita selalu terjebak di antara fakta dan ilusi. Jadi, jika seseorang dapat berpikir sangat jernih, objektif, tidak personal, maka mungkinkah mengubah 'apa adanya' tanpa mentransformasikannya menjadi 'apa yg seharusnya'?
16:28 Is it possible to change, say, for example, envy – with all the implications involved in envy – without having an opposite, which is non-greed, non-envy, to change ‘what is’? And you can change ‘what is’ only when you have the energy which is not being wasted in trying to overcome ‘what is.’ I wonder if I’m… You see, again, we are traditionally bound, conditioned to an ‘opposite’ – love/hate, violence/non-violence. We’II take violence. Violence is, apparently, in the human nature – anger, competition, ruthlessness, trying to express oneself at any cost against everybody else, the worship of success, either in the business world or in the spiritual world, which is the same thing. Human beings are violent. Violence implies not only physical violence, there’s psychological violence, which is comparison. Where there is comparison, there is violence. Where there is imitation, there is violence. Where there is the acceptance of authority, psychologically, there’s violence. Imitation, conformity, competition, all those and many other factors are the indication of violence. That’s a fact. That’s ‘what is.’ And human beings have created the opposite of it, which is not to be violent – which is called ‘non-violence.’ They’ve talked a great deal about it, in India, but they are equally violent. Is it possible to change violence without having its opposite? You understand my question? That is, not to imitate, not to conform, not to compare, not to seek success. If that is possible, then non-violence is unnecessary. So, because we cannot or we are not willing to transform violence, we invent the non-violence and we say, ‘I will, eventually, become non-violent.’ That’s a nice, comfortable, lazy, illusory idea. This is what we indulge in, but if you are really serious, deeply concerned to be totally non-violent, including anger, hate and all the rest of it, if you’re deeply concerned to transform that, you’ve got the energy, because that energy you have wasted in conflict with violence. Mungkinkah mengubah, katakanlah, sebaga contoh, iri - dengan semua implikasi yg tersangkut dalam iri - tanpa memperlawankannya dengan tidak serakah, tidak iri, untuk mengubah 'apa adanya'? Dan Anda bisa mengubah 'apa adanya' hanya ketika Anda mempunyai energi yg tidak terbuang dalam percobaan untuk mengatasi 'apa adanya.' Saya bertanya-tanya apakah saya... Anda lihat, lagi-lagi, kita secara tradisional terikat, dikondisikan kepada yg 'berlawanan' - cinta/benci, kekerasan/bukan kekerasan. Kita ambil kekerasan. Kekerasan tampaknya, dalam sifat manusia - kemarahan, persaingan, kekejaman, mencoba untuk mengekspresikan diri sendiri bagaimanapun juga terhadap orang lain, pemujaan akan kesuksesan, entah dalam dunia bisnis atau spiritual, sama saja. Umat manusia itu kejam. Kekerasan menyiratkan tidak hanya secara fisik, ada kekerasan psikologis, yg adalah perbandingan. Di mana ada perbandingan, di situ ada kekerasan. Di mana ada peniruan, di situ ada kekerasan. Di mana ada perimaan akan otoritas secara psikologis, di situ ada kekerasan. Peniruan, penyesuaian, persaingan, semua itu dan banyak lagi faktor lainnya adalah indikasi kekerasan. Itulah faktanya. Itulah 'apa adanya.' Dan umat manusia telah menciptakan lawan dari itu, yaitu tidak bersifat kejam - yg disebut 'tidak kejam.' Mereka telah banyak membicarakannya, di India, namun mereka sama saja kejamnya. Mungkinkah mengubah kekerasan tanpa membuat kebalikannya? Pahamkah Anda pertanyaan saya? Artinya, tidak meniru, tidak berkompromi, tidak membandingkan, tidak mencari kesuksesan. Jika itu mungkin, maka bukan kekerasan tidak penting. Jadi, karena kita tidak bisa atau tidak mau mentransformasi kekerasan, kita menciptakan bukan kekerasan dan kita berkata, 'Saya akan, pada akhirnya, menjadi tidak kejam.' Itu adalah gagasan yg bagus, menyenangkan, malas, dibuat-buat. Ini adalah apa yg kita nikmati, akan tetapi kalau Anda betul-betul serius, prihatin secara mendalam untuk secara total menjadi tidak kejam, termasuk kemarahan, kebencian, dan semuanya itu, kalau Anda prihatin secara mendalam utk mentransformasi itu, Anda mendapat energi, karena energi itu telah Anda boroskan dalam konflik dengan kekerasan.
20:56 So, it is possible to transform ‘what is’ without the idea of time? Is this clear? Please, this is very important because we’re going to go into something presently, which is, when you are talking about death, time is involved in it. So, we must really understand the nature and the structure of time, how time works. When you say, ‘I will be,’ or, ‘I must be something in the future,’ that involves time because you are dissatisfied with ‘what is,’ you condemn ‘what is,’ you suppress ‘what is,’ or try to argue it away and so, you utilise all that energy or you waste all that energy in this process, whereas, if you look at this violence, with all the implications and not have any idea of its opposite, which is illusory, then there is a transformation. You understand this? Do it! Jadi, mungkinkah untuk mentransformasikan 'apa adanya' tanpa gagasan tentang waktu? Jelaskah ini? Tolong, ini sangat penting karena kita akan menyelidiki sesuatu sekarang, di mana, ketika Anda membicarakan tentang kematian, waktu tersangkut di dalamnya. Jadi, kita harus benar-benar mengerti sifat dan struktur waktu, bagaimana waktu bekerja. Saat Anda bilang, 'Saya akan jadi,' atau 'Saya harus jadi sesuatu di masa depan,' itu menyangkut waktu karena Anda tidak puas dengan 'apa adanya,' Anda mengutuk 'apa adanya,' Anda menekan 'apa adanya,' atau mencoba mendebatnya dan sehingga, Anda memanfaatkan semua energi tersebut atau memboroskan semua energi tersebut dalam proses ini, padahal, jika Anda melihat kekerasan ini, dengan segala implikasinya dan tidak mempunyai gagasan tentang lawannya, yaitu yg dibuat-buat, maka ada transformasi. Anda memahami ini? Lakukanlah!
22:37 So, time in meditation – you have to find out if time has a ‘stop.’ Therefore, it’s very important to understand the nature and the movement of time, how our brains are caught in it, our whole consciousness is filled with time – time being accumulated knowledge as experience which becomes a memory, and that memory is the storehouse from which thought begins. From the very beginning, man’s very beginning, that’s the process. So, one not only has to enquire into the nature of time, but also, one has to find out if time has come to an end, if there is a stop to time. This has been a tremendous problem – you understand? Jadi, waktu di dalam meditasi - Anda harus menyelidiki apakah waktu memiliki suatu 'akhir.' Dengan demikian, sangat penting memahami sifat dan gerak waktu, bagaimana otak kita terjebak di dalamnya, keseluruhan kesadaran kita berisikan waktu - waktu yg merupakan akumulasi dengan pengetahuan sebagai pengalaman yg menjadi suatu ingatan, dan ingatan itu adalah penimbunan dari mana pikiran bermula. Dari sejak awal, awal mula manusia, begitulah prosesnya. Jadi, seseorang tak hanya harus mennyelidiki sifat waktu, tapi juga, harus menyelidiki apakah waktu telah berakhir, jika ada akhir untuk waktu. Ini adalah persoalan yg mahahebat - pahamkah Anda?
24:01 So, then we can go to the next thing, which is, what is our life? Living and dying. What is our life? When you look at our lives, what is it? Wrong occupation, battle with each other, wars, anxiety, great pain, lack of relationship in the true sense of that word – there is relationship between two images which you have about another and another has about you. Relationship is between those two ‘ideas,’ between those two thoughts. So, what is our living? When you look at it, very carefully and very seriously, not pretending, not trying to cover it up with words and clever, cunning thought – what, actually, is it? We waste our life, don’t we? And from birth to death it’s a constant battle, constant effort, constant struggle, to be or not to be, to become something or not to become something, to establish right relationship and always trying to fail. Wars, hatreds, deep hurts – that’s the content of our whole consciousness is our life, apart from the biological growth and decay. If you examine, as we are doing, now – please do it, together, if you’re at all serious, if you’re not serious, don’t bother. It’s a nice day, go outside and enjoy it. But if you are serious, look at your life – pleasure, sexual, other forms of pleasure, fear and sorrow. This is the content of our consciousness, with all its varieties, complex movements in this limited consciousness and that’s what we call ‘living.’ With faith, with doubt, with anxiety – you follow? – a perfect confusion – mess! Jadi, kita bisa melanjutkan hal berikutnya, yaitu, apakah hidup kita itu? Kehidupan dan kematian. Apakah hidup kita itu? Ketika Anda melihat hidup kita, apakah itu? Pekerjaan yg salah, pertempuran satu sama lain, peperangan, kecemasan, rasa sakit yg hebat, kurangnya hubungan dalam artian sebenarnya dari kata itu - ada hubungan di antara dua gambaran yaitu yg Anda miliki tentang yg lain dan yg dimiliki orang lain tentang Anda. Hubungan adalah di antara dua 'gagasan,' di antara dua pikiran. Jadi, apakah hidup kita itu? Ketika Anda melihatnya dgn sangat hati-hati dan sangat serius, tidak berpura-pura, tidak mencoba menutupinya dengan kata-kata dan pikiran licik yg pintar - apa sebetulnya itu? Kita menyia-nyiakan hidup kita, bukan? Dan sejak lahir sampai mati itu adalah pertempuran yg konstan, daya upaya terus-menerus, pergulatan yg konstan, menjadi atau tidak menjadi, menjadi sesuatu atau tidak menjadi sesuatu, memancangkan hubungan yg benar dan selalu mencoba untuk gagal. Peperangan, kebencian, duka yg dalam - itulah konten seluruh kesadaran kita yg adalah hidup kita, selain pertumbuhan biologis dan pelapukan. Jika Anda periksa, seperti yg kita lakukan, sekarang - tolong lakukan itu, bersama, jika Anda betul-betul serius, jika Anda tidak serius, abaikan saja. Ini hari yg menyenangkan, pergilah ke luar dan nikmatilah. Tapi kalau Anda serius, lihatlah hidup Anda - kenikmatan, seks, bentuk-bentuk lain dari kenikmatan, ketakutan dan dukacita. Inilah konten kesadaran kita, dengan semua variasinya, rumitnya gerakan-gerakan di dalam kesadaran yg terbatas ini dan itulah yg kita sebut 'kehidupan.' Dengan iman, dengan keraguan, dengan kecemasan - Anda mengikuti? - suatu kebingungan yg sempurna - berantakan!
27:53 And what is dying? You understand my question? Living, which we think is marvellous and dying which is the most terrible thing to happen. And, in between these two things, there is love and there is suffering. We have talked, at some length, about fear and the necessity of being completely, totally, psychologically free from fear. We went into that. And also, we talked about – together, we have talked, together, not I talked and you listened, we have talked over, together – pleasure, and the movement of pleasure, and the pursuit of pleasure. Pleasure is totally different from joy, pleasure can be invited, cultivated, joy can never be invited – it comes. But when it comes, memory takes it over and makes it into a pleasure. We’ve also talked about ecstasy, which is not hysteria, which is not neurotic, but that ecstasy can only come when we understand the meaning of pleasure. And, we are asking, what is love? Because, apparently, that plays a great part in our life. That word ‘love’ is loaded, like ‘God.’ Dan apakah kematian? Anda mengerti pertanyaan saya? Kehidupan, yg kita pikir menakjubkan dan kematian yg amat sangat mengerikan untuk terjadi. Dan, di antara dua hal ini, ada cinta kasih dan ada penderitaan. Kita sudah membicarakan, agak panjang, tentang ketakutan dan perlunya secara komplet, secara total, secara psikologis bebas dari ketakutan. Kita telah menyelidikinya. Dan juga, kita memperbincangkannya - bersama, kita telah berbicara, bersama, bukan saya berbicara dan Anda mendengar, kita telah memperbincangkannya, bersama - kenikmatan, dan gerak kenikmatan, dan pengejaran kenikmatan. Kenikmatan secara total berbeda dari sukacita, kenikmatan bisa diundang, ditumbuhkan, sukacita tak bisa diundang - itu datang. Tapi saat itu datang, kenangan mengambil alih dan membuatnya menjadi kenikmatan. Kita juga telah bicara tentang ekstase, yg bukan histeria, bukan neurotik, tapi ekstase hanya bisa datang ketika kita mengerti artinya kenikmatan. Dan, kita bertanya, apa itu cinta kasih? Karena, kiranya, itu memainkan peran yg besar dalam hidup kita. Kata 'cinta' sudah sarat, seperti 'Tuhan.'
29:59 So, we have to investigate, also what it means to love and what is the difference between pleasure, love and compassion. This has been one of the problems of human beings right through the ages, right through the world wherever human beings exist. They demand, they’re wanting to love – or be loved. And when one is not loved, there’s all the anxiety, the fear, the anger, the jealousy – you follow? – all that creeps in. So, one has to, if you are at all serious, and I hope you are because we are trying, we are concerned with the transformation of the human consciousness, completely. So, one must go into this question of what is love. Jadi, kita harus menyelidiki juga, apa artinya mencintai dan apa perbedaan antara kenikmatan, cinta dan welas asih. Ini adalah salah satu persoalan manusia sepanjang zaman, di seluruh dunia di manapun manusia eksis. Mereka menuntut, mereka ingin mencintai - atau dicintai. Dan ketika seseorang tidak dicintai, di situ ada seluruh kecemasan, ketakutan, kemarahan, kecemburuan - Anda mengikuti? - semua itu menyeramkan. Jadi, seseorang harus, jika Anda benar- benar serius, dan saya harap demikian sebab kita mencoba, kita prihatin pada transformasi kesadaran manusia, secara komplet. Jadi, seseorang harus menyelidiki pertanyaan tentang apa itu cinta.
31:09 Apparently, human beings have reduced love to pleasure. Yes? What do you say? Yes? Pleasure, sexual – love, is also implied – love of one’s country, love of a book, love of a picture... You follow? We use that word in a most extraordinary way. And also, I love my wife, or I love my husband. So, we have to go into this question, not only what it means, the word ‘love,’ the word itself, both in Sanskrit and – if you go into it – is part of desire – the meaning of that word. We are looking at the root meaning of that word, ‘desire.’ I won’t go into Sanskrit, what it means. So, we have to see what desire is and what love is. Is desire, love? Please, we are investigating, we are exploring, we are not saying it is, it is not, together, we are working this out. So, one has to go into what is desire because, apparently, in most of our lives desire plays an immense part. So, we have to understand it. What is desire? When you desire a dress, when you desire something, what is that, the movement of it? Surely, there’s first the seeing, the visual seeing, which is sensory then, there is contact, the touching, the smelling, the seeing – then sensation. You’re following all this? Seeing, contact, sensation. Right? Then thought comes in, and thought says, ‘That dress will look beautiful on me,’ which is the structure of image. So, sensation plus thought is desire and the image. You follow this? You can see this, very simply, if you look at yourself. This is the process we go through. You see a beautiful woman or a beautiful car, or beautiful man – whatever it is – seeing, contact, sensation then thought comes and desire, and the image. Right? Tampaknya, manusia telah mereduksi cinta menjadi kenikmatan. Ya? Apa kata Anda? Ya? Kenikmatan, seksual, - cinta, itu juga menyiratkan - cinta tanah air, cinta buku, cinta gambar... Anda mengikuti? Kita menggunakan kata itu dengan cara yg sangat luar biasa. Dan juga, saya cinta istri saya, atau saya cinta suami saya. Jadi, kita harus menyelidiki pertanyaan ini, bukan hanya apa artinya itu, kata 'cinta', kata itu sendiri, baik di bahasa Sanskerta dan - jika Anda selidiki - itu adalah bagian dari hasrat - arti dari kata itu. Kita melihat pada akar arti kata tersebut, 'hasrat.' Saya takkan menyelidiki bahasa Sanskerta, apa artinya itu. Jadi, kita harus melihat apa itu hasrat dan apa itu cinta. Apakah hasrat itu, cinta? Tolong, kita sedang menyelidiki, kita memeriksa. kita tidak mengatakan itu demikian, itu tidak demikian, bersama, kita mengerjakan ini. Jadi, seseorang harus menyelidiki apa itu hasrat karena, tampaknya, dalam kebanyakan hidup kita hasrat memainkan peran yg sangat besar. Jadi, kita harus memahami itu. Apa itu hasrat? Ketika Anda berhasrat pada sebuah gaun, ketika Anda berhasrat pada sesuatu, apa itu, gerak dari itu? Tentu saja, pertama-tama adalah melihat, melihat secara visual, yaitu indrawi kemudian, di situ ada kontak, sentuhan, penciuman, penglihatan - kemudian sensasi. Anda mengikuti semua ini? Melihat, kontak, sensasi. Benar? Lalu pikiran masuk, dan pikiran berkata, 'Gaun itu akan tampak cantik bagi saya,' yaitu struktur gambaran. Jadi, sensasi ditambah pikiran adalah hasrat dan gambaran. Anda mengikuti ini? Anda bisa melihat ini, dengan mudah, jika Anda melihat pada diri Anda. Ini adalah proses yg kita alami. Anda melihat perempuan cantik, atau mobil bagus, atau laki-laki tampan - apapun itu - melihat, kontak, sensasi kemudian pikiran datang dan hasrat, dan gambarnya. Benar?
35:19 So, we are asking, is love, desire? Which is sensation, contact, thought or desire plus thought, and the image, picture – is that love? Or love has nothing to do with desire, which means no picture, no imaginative projections, not based on sensation. You are following all this? So, you have to find out where sensation plus thought is desire, with its image. There is sensation. It’s natural to have one’s senses highly developed, that’s healthy. To see a beautiful thing, that’s part of sensation. When thought takes it over it becomes desire. Now, please follow this. Can you see a beautiful person, a thing, a lovely tree – whatever it is – sensation, and not allow desire to come into it, which is the ending of thought? I wonder if you understand all this. This is the highest form of discipline. You understand? To see, sensation, and no thought coming into it, at all and, therefore, no desire, no image. You’ve understood what I’m saying? That requires a great sense of awareness. We’II discuss that presently, later. Awareness, concentration and attention. We’II talk about it, later. Jadi, kita bertanya, apakah cinta itu, hasrat? Yaitu sensasi, kontak, pikiran atau hasrat ditambah pikiran, dan imaji, gambar - apakah itu cinta? Atau cinta tidak ada urusannya dengan hasrat, artinya tidak ada gambar, tidak ada proyeksi imajinatif, tidak didasarkan pada sensasi. Anda paham semua ini? Jadi, Anda harus menemukan di mana sensasi plus pikiran adalah hasrat, dengan gambarnya. Ada sensasi. Wajar jika seseorang memiliki indra yg sangat maju, itu sehat. Melihat sesuatu yg indah, itu adalah bagian dari sensasi. Ketika pikiran mengambil alih, itu menjadi hasrat. Sekarang, tolong ikuti ini. Bisakah Anda melihat orang yg cantik, sesuatu, pohon yg indah - apapun itu - sensasi, dan tidak membiarkan hasrat datang ke dalamnya, yaitu pengakhiran pikiran? Saya bertanya-tanya apakah Anda paham semua ini. Ini adalah bentuk tertinggi dari disiplin. Anda mengerti? Melihat, sensasi, dan sama sekali tidak ada pikiran datang ke dalamnya dan oleh sebab itu, tak ada hasrat, tak ada gambar. Sudah mengertikah Anda apa yg saya katakan? Itu membutuhkan rasa kesadaran yg tinggi. Kita akan diskusikan sebentar lagi, nanti. Kesadaran, konsentrasi dan perhatian. Kita akan membicarakannya nanti.
38:19 So, is the movement of thought, love? Or, love has nothing, whatsoever, to do with desire? Now, one has to find this out, which means you have to give your attention, be aware of the movement of desire, movement of thought, and the natural sensation – to be aware of this whole movement. Then you’II ask, you must ask, is pleasure, love? And if it is not pleasure, then what is love, or desire? Please, intellectually, logically, all this is so, logically, so-called intellectually – but the intellect is an instrument, a fragment of the totality, and by merely looking at the description, intellectually, you’re, then, only looking at it partially and, therefore, you don’t see the whole of it. So, intellect not only must see the reason, the structure of this thing but also, know its own limitation. Jadi, apakah gerak pikiran itu cinta? Atau, cinta tidak punya urusan apapaun dengan hasrat? Sekarang, seseorang harus menyelidiki ini, yg artinya Anda harus memberi perhatian, sadar akan gerak hasrat, gerak pikiran, dan sensasi yg natural - sadar akan seluruh gerak ini. Sesudah itu Anda akan bertanya, Anda harus bertanya, apakah kenikmatan itu cinta? Dan jika itu bukan kenikmatan, lantas apa itu cinta, atau hasrat? Tolong, secara intelektual, secara logika, semua ini demikian adanya, logis, disebut intelektual - akan tetapi intelek adalah instrumen, sebuah fragmen dari totalitas, dan semata-mata melihat deskripsinya secara intelektual, Anda, kemudian, hanya melihatnya secara parsial dan oleh sebab itu, Anda tidak melihat keseluruhannya. Jadi, intelek tak hanya harus melihat penalaran, struktur hal ini tapi juga mengetahui keterbatasannya.
40:32 So, we are asking, is pleasure, love? Pleasure being desire, the movement of thought, sensation and the pursuit of it. And if it is not love, then what is it? Can there be jealousy when there is love? Go on, sirs. Those of you who have girls and boys and husbands and wives, and all the rest of it. Can there be love when there is attachment, when you hate, anger, when you’re hurt by another, is there love? And so, if none of these is love, then the word is not the thing. You understand? Then the word ‘love’ is not the actual state, the reality of it, the truth of it. Then what is the relationship between love and compassion? You understand? The word ‘compassion’ means passion for all, passion for everything living. That’s the meaning of that word. But that compassion cannot exist when you are, in yourself, fragmented, broken up, when there is hate, and when there is suffering. Jadi, kita bertanya, apakah kenikmatan itu cinta? Kenikmatan yg adalah hasrat, gerak pikiran, sensasi dan pengejarannya. Dan jika itu bukan cinta, maka apakah itu? Bisakah ada cemburu ketika ada cinta? Ayo, bapak-bapak. Anda yg punya teman dekat perempuan dan laki-laki dan suami dan istri, dan selebihnya itu. Bisakah ada cinta ketika ada kemelekatan, ketika Anda benci, marah, ketika Anda terluka oleh orang lain, adakah cinta? Dan jadi, jika tak satu pun di antaranya adalah cinta, maka kata tersebut bukanlah bendanya. Anda paham? Maka kata 'cinta' bukanlah keadaan yg aktual, realitas dari itu, kebenaran dari itu. Lalu apa hubungan antara cinta dengan welas asih? Anda paham? Kata 'welas asih' berarti gairah untuk semua gairah untuk semua yg hidup. Itulah arti dari kata tersebut. Namun welas asih tidak bisa eksis ketika Anda, dalam diri Anda, terpecah-pecah, tercerai-berai, ketika di situ ada benci, dan ketika di situ ada penderitaan.
42:51 So, we have to examine what is suffering. Why is it that we suffer, psychologically, not biologically, physically – that we can understand when we go into the question why human beings throughout the world, carry this agony of suffering? Are you interested in all this? Not interested, that’s the wrong word, are you concerned about all this? How much time are you willing to spend on all this? Time, in the sense... You understand? Or only for this morning you are concerned, for an hour, and then slip back into our old traditions, our old ways of life which have no meaning at all, and remember, occasionally, what has been said in this tent, in this marquee, and you say, ‘By Jove, that’s true, I must go back and do something about it,’ and forget it the next minute. Or are you really, totally, completely committed to this? It’s only then you will understand, very deeply, what all this means, how to live a totally different kind of life. Jadi, kita harus memeriksa apa itu penderitaan. Mengapa secara psikologis kita menderita, bukan secara biologis, secara fisik - itu bisa kita pahami ketika menyelidiki pertanyaan mengapa manusia di seluruh dunia, membawa sakitnya penderitaan? Tertarikkah Anda dengan semua ini? Bukan tertarik, itu kata yg salah, apakah Anda prihatin tentang semua ini? Berapa banyak waktu yg hendak Anda habiskan untuk semua ini? Waktu, dalam arti... Anda paham? Atau hanya untuk pagi ini Anda prihatin, selama satu jam, dan kemudian tergelincir kembali ke dalam tradisi lama, cara hidup lama yg tidak bermakna sama sekali, dan teringat, sesekali, pada apa yg telah diucapkan di tenda ini, kemah besar ini, dan kata Anda 'Ya Tuhan, itu benar, saya harus kembali dan lakukan sesuatu tentang itu,' dan lupa menit berikutnya. Atau apakah Anda benar-benar, secara total, lengkap, berkomitmen pada hal ini? Hanya dengan demikian Anda akan mengerti, amat mendalam, apa arti semua ini, bagaimana menjalani kehidupan yg sepenuhnya berbeda.
44:44 So, we’re now asking why human beings suffer, psychologically, which has a great bearing on the physical suffering. If there is no suffering, psychologically, then it may affect your body, completely, there is no psychosomatic disease, then. So, we must go into this question, very deeply, why human beings suffer. All religions – the Eastern religions and the Western religions – the Eastern religions have a very clear definition why human beings suffer: according to them, they say, ‘What you have done in the past you’re paying for it, now,’ which is called ‘karma,’ in Sanskrit. The Sanskrit word ‘kar’ means to do, to act. If you have not acted rightly, accurately – not according to a pattern, according to tradition, if you have acted rightly in yourself, truthfully then, there are no regrets in that action, then, that action is total. This is what we are saying, not what the Hindus said. The ancient Hindus said, ‘You have many lives. In each life, unless you act, rightly, you’re going to pay for it by next life, therefore, you suffer next life and, therefore, you learn from suffering how to act properly, rightly, accurately for the next life.’ You follow? Jadi, sekarang kita bertanya mengapa umat manusia menderita, secara psikologis, yg mempunyai pengaruh besar pada penderitaan fisik. Jika tidak ada penderitaan, psikologis, maka itu akan mempengaruhi tubuh Anda, secara komplet, tidak ada penyakit psikosomatik, dengan demikian. Jadi, kita harus menyelidiki pertanyaan ini dengan amat mendalam, mengapa umat manusia menderita. Semua agama Timur dan agama Barat agama Timur memiliki definisi yg sangat jelas mengapa umat manusia menderita: menurut mereka, katanya, 'Apa yg telah Anda lakukan di masa lalu, Anda bayar sekarang,' yg disebut 'karma,' dalam bahasa Sanskerta. Kata 'kar' dalam bahasa Sanskerta berarti melakukan, bertindak. Jika Anda tidak bertindak benar, secara akurat - tidak sesuai dengan pola, menurut tradisi, jika Anda bertindak benar dalam diri Anda, secara jujur maka, tidak ada penyesalan dalam tindakan itu, maka, tindakan itu total. Inilah yg kita katakan, bukan apa yg dikatakan Hindu. Hindu kuno mengatakan, 'Anda mempunyai banyak kehidupan. Dalam setiap kehidupan, kecuali kalau Anda bertindak benar, Anda akan membayarnya pada kehidupan berikutnya, krn itu, Anda menderita di kehidupan berikutnya dan belajar dari penderitaan bagaimana bertindak secara tepat, benar, akurat demi kehidupan berikutnya.' Anda mengikuti?
47:11 Here, in the Christian world, you have given up suffering, put suffering on the shoulders of one man and very comfortably settled the problem. But, actually, you’re suffering. You have got the symbol – which is rather an unfortunate symbol – you have got the symbol, and though you have said that he’s suffering for us, and yet we go on suffering. So, let’s forget the symbol, let’s forget all that and see why human beings in the world – you – suffer, go through such agonies, tears, loneliness. You understand all this? What is suffering? What is grief? And why should we suffer? Will it purify our minds – may we use that word, quickly? – will it cleanse our hearts because we suffer? On the contrary, it hasn’t done it. So, we must go into this question, very deeply. What is suffering? There’re many forms of it. One of them is loneliness. Right? Great sense of loneliness – loneliness being the feeling, the reality, that you are completely cut away from all relationship, from everything, completely isolated. Right? Don’t you know all this? Isolated, lonely, and not knowing what to do with that loneliness which is, you run away from it, escape and frightened, cover it up and do all kinds of... – get attached and all that. So, without understanding that loneliness, suffering is inevitable. You follow this? Please, are we meeting each other or am I talking to myself in my room? Di sini, di dunia Kristen, Anda telah menyerahkan penderitaan, meletakkan penderitaan di atas pundak satu orang dan dengan sangat nyaman menyelesaikan masalah. Tapi, sebenarnya, Anda menderita. Anda punya simbol - yaitu simbol yg agak tidak menguntungkan - Anda punya simbol, dan walaupun Anda bilang ia menderita demi kita, dan kita masih saja menderita. Jadi, marilah lupakan simbol, lupakan semua itu dan lihatlah mengapa umat manusia di dunia ini - Anda - menderita, mengalami penderitaan mendalam, air mata, kesepian. Anda mengerti semua ini? Apakah penderitaan? Apakah kesedihan? Dan mengapa kita harus menderita? Akankah itu memurnikan batin kita - dapatkah kita pakai kata itu, segera? - Akankah itu membersihkan hati kita karena kita menderita? Sebaliknya, itu tidak melakukannya. Jadi, kita harus menyelidiki pertanyaan ini, dengan sangat mendalam. Apa itu penderitaan? Ada banyak bentuknya. Salah satunya adalah kesepian. Benar? Rasa kesepian yg besar - kesepian adalah perasaan, realitas, bahwa sepenuhnya Anda terputus dari seluruh hubungan, dari segala sesuatu, benar-benar terisolasi. Benar? Tahukah Anda semua ini? Terisolasi, kesepian, dan tidak tahu apa yg akan dilakukan terhadap kesepian itu yg artinya, Anda melarikan diri darinya, melepaskan diri dan takut, menutupi itu dan melakukan segala jenis... - melekatkan diri dan semua itu. Jadi, tanpa memahami kesepian tersebut, penderitaan tidak bisa dihindari. Anda mengikuti ini? Tolong, apakah kita bertemu satu sama lain atau saya bicara sendiri di kamar?
50:11 So, that’s one of the factors. Then, the factor that you like somebody, or ‘love’ somebody – to use that word in quotes – you ‘love’ somebody, and that somebody turns away from you and you are left – again isolated, jealous, hatred, sense of loss, frustration, guilt, all that is part of suffering. Then, there is the suffering for someone whom you have lost, whom you ‘loved’ dearly – again ‘love’ in quotes – and he’s dead – son, wife, husband or whatever it is, another human being is dead, and you suffer, not only through self-pity but also, you’re attached to that person, and you suddenly feel lost and in that moment of death, there’s great shock, biologically, as well as psychologically. Right? And many other forms of suffering. Jadi, itulah salah satu faktornya. Kemudian, faktor di mana Anda menyukai seseorang, atau 'mencintai' seseorang - memakai kata tersebut dalam tanda petik - Anda 'mencintai seseorang, dan seseorang itu berbalik dari Anda dan Anda ditinggalkan - terisolasi lagi, cemburu, benci, rasa kehilangan, frustrasi, rasa bersalah, semua itu adalah bagian dari penderitaan. Kemudian, ada penderitaan karena kehilangan seseorang, seseorang yg sangat Anda 'cintai' - lagi, 'cinta' dalam tanda petik - dan ia meninggal - putra, istri, suami atau apapun itu, makhluk hidup lainnya mati, dan Anda menderita, bukan hanya dengan mengasihani diri sendiri tapi juga, Anda melekat pada orang itu, dan tiba-tiba Anda merasa kehilangan dan pada momen kematian tersebut, ada keterkejutan besar, biologis, maupun psikologis. Benar? Dan ada banyak lagi bentuk-bentuk penderitaan.
51:59 Human beings suffer and find many, many explanations for that suffering – ‘God is just, he knows why I’m suffering, eventually, he’II solve my suffering.’ Suffering and seeking comfort in some theory, in some law, in some belief. Or, the Christian world says, ‘Have faith,’ and so on. So, what is it that is suffering? ‘Me.’ You understand? ‘I’ am suffering.’ What is that ‘me,’ what is ‘you’? The form, the name – right? The name, the form, the various characteristics – greed, envy, pain, anxiety, hope, despair, depression – a lot of accumulated ideas, all that is ‘you.’ Aren’t you? Which are all memories, words. So, that image of yourself is suffering, or that ‘you’ is suffering. Now, will you please listen to it, carefully. Human beings suffer. And we have escaped from it, through reason, through logic, through explanations, through various forms of comfort, entertainment, religious, as well as ordinary entertainment, every form of escape from that suffering. If you don’t escape and, actually, without any movement going outwardly, remain completely with that suffering. Remain – you understand what I’m saying? That is, not move away from that central fact of suffering – that gives you tremendous stability. Are you understanding all this? No, you don’t! Umat manusia menderita dan menemukan banyak, banyak penjelasan untuk itu - 'Tuhan itu adil, ia tahu mengapa saya menderita, akhirnya, ia akan mengatasi penderitaan saya.' Penderitaan dan mencari kenyamanan dalam beberapa teori, dalam beberapa hukum, dalam beberapa keyakinan. Atau, dunia Kristen berkata, 'Berimanlah,' dan sebaganya. Jadi, apa itu yg menderita? 'Saya.' Anda paham? 'Saya' menderita. Apa itu 'saya,' apa itu 'Anda'? Bentuk, nama - benar? Nama, bentuk, berbagai karakteristik - serakah, iri, rasa sakit, kecemasan, pengharapan, putus asa, depresi - banyak lagi akumulasi gagasan, semua itu adalah 'Anda.' Benar bukan? Yang semuanya adalah kenangan, kata-kata. Jadi, gambaran tentang diri Anda itu yg menderita, atau 'Anda' itu yg menderita. Sekarang, tolong mendengarkan dengan cermat. Umat manusia menderita. Dan kita meloloskan diri dari itu, dengan bernalar, berlogika, melalui penjelasan-penjelasan, dengan berbagai bentuk kenyamanan, hiburan, religius, maupun hiburan biasa, tiap bentuk pelolosan dari penderitaan tersebut. Jika Anda tidak lari dan, benar-benar, tanpa gerak menuju keluar, tinggal sepenuhnya dengan penderitaan tersebut. Tinggal - Anda paham perkataan saya? Yg adalah, tidak pergi dari fakta pokok penderitaan - hal itu memberi Anda stabilitas yg amat sangat. Anda paham semua ini? Anda tidak paham!
55:05 Look, you suffer. See, understand that suffering is not resolved through escape, through suppression, through any form of rationalisation. Suffering is there. Be with it, completely, without any movement. You’ve understood this, now, surely? The explanation, you’ve understood, intellectually or verbally, the explanation – but to do it, is quite another matter. Now, when you do it, that is, without any movement of thought, any movement of escape, any movement of suppression or rationalisation, to be with it, completely, then out of that comes passion. I wonder if you understand all this. And that is compassion. Have you understood something? No. It doesn’t matter. Watch, look at yourself and see how you suffer, the urge to escape from it, see the absurdity of escape, the rationalisation, seeking comfort, all that’s a wastage of energy, moving away from the central fact of suffering. You understand? Remain with it. Then, that suffering undergoes a tremendous change which becomes passion. I haven’t time to go into more than this, that’s up to you. Lihat, Anda menderita. Lihat, pahami bahwa penderitaan tidak usai dengan meloloskan diri, dengan supresi, dengan bentuk-bentuk rasionalisasi. Penderitan ada di situ. Tinggallah bersamanya, sepenuhnya, tanpa gerak apapun. Anda sudah mengerti ini, sekarang, tentunya? Penjelasannya, Anda paham, secara intelektual ataupun verbal, hanyalah penjelasannya - tapi melaksanakannya adalah soal lain. Sekarang, ketika Anda melaksanakannya, yaitu tanpa gerak pikiran apapun, gerak meloloskan diri apapun, gerak supresi atau rasionalisasi apapun, bersamanya, sepenuhnya, maka dari situ datanglah passion. Saya bertanya-tanya pahamkah Anda semua ini. Dan itu adalah welas asih. Sudah mengerti sesuatu? Tidak. Tidak masalah. Lihatlah, lihatlah diri Anda dan lihat bagaimana Anda menderita, dorongan untuk meloloskan diri dari itu, lihatlah absurditas meloloskan diri, rasionalisasi, mencari nyaman, semua itu membuang energi, pergi dari fakta pokok penderitan. Anda paham? Tetaplah dengan itu. Maka, penderitaan itu mengalami perubahan yg luar biasa yaitu menjadi passion. Saya tak punya waktu untuk mendalami lebih dari ini, itu terserah Anda.
57:24 And also, we must go into this question of death. Do you want to go into this? Questioner: Yes. Dan juga, kita harus menyelidiki pertanyaan tentang kematian. Anda mau menyelidiki ini? Penanya: Ya.
57:46 K: Why? You know, please, all these things that we are talking about are very, very serious and it is only the very serious that live, not the flippant, not the casual – you know, all the rest of it. It’s only a man who is deeply, profoundly concerned with all this, such a man lives. So, we must go into this question of death, which is very complex. We said we must understand the question of time, apart from the chronological time of yesterday, today and tomorrow – sunrises, sunsets – divided into twenty four hours, we’re not talking about that. That’s necessary, that exists, and if that doesn’t play a part in your life, then you’II lose your bus. But we’re talking of something else, psychologically. Because we are in despair, fearful, then there is always hope – hope something will take place, tomorrow. So, that is the movement of time. K: Mengapa? Anda tahu, tolong, semua hal yg kita perbincangkan ini sangat, sangat serius dan hanya yg sangat seriuslah yg hidup, bukan orang yg sekadar omong, bukan hal biasa saja - Anda tahu, semuanya itu. Hanya orang yg prihatin secara mendalam dan amat sangat terhadap hal ini, orang seperti itulah yg hidup. Jadi, kita harus menyelidiki pertanyaan tentang kematian, yg sangat kompleks. Kita berkata bahwa kita harus mengerti pertanyaan tentang waktu, terlepas dari waktu kronologis kemarin, hari ini dan besok - matahari terbit, terbenam - dibagi dalam 24 jam, kita tidak bicara tentang itu. Itu perlu, itu eksis, dan jika itu tak memainkan peran dalam hidup Anda, Anda akan ketinggalan bus. Namun kita bicara tentang hal lain, yg sifatnya psikologis. Karena kita putus asa, ketakutan, maka selalu ada pengharapan - berharap sesuatu akan terjadi, esok. Jadi, itu adalah gerak waktu.
59:39 What is the relationship of time to death? You understand? One has lived ten years, fifty years or eighty years or a hundred years – a life that has been painful, anxious and all the rest of it, an empty life, a wasted life, and that life comes to an end, both biologically and psychologically. I’m going to go into all this. And one clings to the known and avoids the unknown – the known suffering, the known pain, the known pleasure, the known fears – one clings to all that which you call ‘living.’ And one is frightened to let go all that which you have to do when death comes. So, there’s the interval between the living and the dying, the process of time. Then, what is it that dies? Biologically, we have lived so unintelligently because biologically, physically, the body has its own intelligence. I don’t know if you know anything about all this, if you have worked at it. It has its own intelligence, if you leave it, if you don’t spoil it through taste, through gluttony, through smoke, drink, drugs and all the rest of the business that one goes through. If you don’t go through that, that is, through taste, habit, custom, tradition, then the body has its own intelligence. That body, organically dies, the organ dies. We know that. But also, we say, ‘There is something which is me, which must continue because, after all, I’ve collected so much experience. I want to finish that book before I die. I must be successful, give me another few more years,’ and so on and so on. So, what is it that is ‘me’ – that says, ‘I don’t want to die, I must have some kind of continuity’? You understand? This is our craving, right through life. From the ancient days, from the Egyptians down to the present day, and before the Egyptians – the ancient Egyptians, not the modern Egypt – this has been the problem. A continuity and an ending. The desire, the immense drive to continue. ‘My pleasure, I want it fulfilled, tomorrow.’ When you say, ‘There is no tomorrow,’ it becomes a tremendous despair. You understand? Apa hubungan antara waktu dengan kematian? Anda paham? Seseorang hidup 10 tahun, 50 tahun, atau 80 tahun atau 100 tahun - hidup yg penuh rasa sakit, cemas dan selebihnya itu, suatu hidup yg kosong, hidup yg percuma, dan hidup itu tiba pada akhirnya, baik biologis maupun psikologis. Saya akan menyelidiki semua ini. Dan seseorang berpegang erat pada apa yg dikenal dan menghindari yg tak dikenal - penderitaan, rasa sakit, kenikmatan, ketakutan yg dikenal - seseorang berpegang pada semua yg Anda sebut 'kehidupan.' Dan seseorang takut melepaskan semua itu yg Anda harus lakukan ketika kematian datang. Jadi, ada interval antara hidup dan mati, proses waktu. Maka, apa itu yg mati? Secara biologis, kita hidup sangat tidak cerdas karena secara biologis, fisik, tubuh memiliki kecerdasan sendiri. Saya tak tahu jika Anda tahu ttg ini, atau telah mempelajarinya. Itu punya kecerdasan sendiri, jika Anda membiarkannya, tak merusaknya melalui selera, melalui kerakusan, dengan merokok, minum, obat-obatan terlarang dan semua yg lainnya yg dilakukan orang. Jika Anda tidak melaluinya, yaitu, melalui selera, kebiasaan, adat-istiadat, tradisi, maka tubuh akan menunjukkan kecerdasannya. Tubuh itu, secara organik akan mati, organ mati. Kita tahu itu. Tapi juga, kita mengatakan, 'Ada sesuatu yg adalah saya, yg harus berlanjut karena, bagaimanapun juga, saya telah mengumpulkan banyak pengalaman. Saya ingin menyelesaikan buku itu sebelum saya mati. Saya harus sukses, berikan saya tambahan beberapa tahun lagi,' dst. dst. Jadi, apa itu yg adalah 'saya' - yg mengatakan, 'Saya tidak mau mati, saya harus memiliki semacam keberlanjutan? Anda paham? Ini adalah dambaan kita sepanjang hidup. Dari sejak zaman kuno, zaman Mesir hingga kini, dan sebelum zaman Mesir - Mesir kuno, bukan Mesir modern - hal ini telah menjadi masalah. Suatu keberlanjutan dan pengakhiran. Hasrat, gerakan yg besar sekali untuk keberlanjutan. 'Kenikmatan saya, saya menginginkan pemenuhannya, besok.' Ketika Anda katakan, 'Tak ada hari esok,' itu menjadi suatu keputusasaan yg dahsyat. Anda paham?
1:03:44 So, there is death. So, we have to investigate, together, not accepting authority, because I’m not your authority or your guru. To me, gurus are dangerous in spiritual life. You have to find out, for yourself, what is it that is ‘me,’ how it came into being, why it has taken such tremendous importance in our life, and why is it that it’s so frightened of death. The ‘me’ has come through words, through experience, through knowledge – the ‘me,’ which is the form, the name, all the bundle of memories, knowledge, experience, the past, pleasures, pain – all that consciousness with its content is ‘me.’ Right? Please see it, for yourself. You say, ‘That’s not only me, that’s only mainly memory, therefore, it’s a material process but there is a ‘me’ which is spiritual. The Hindus and others maintain and, probably, some of you maintain that there is something spiritual in ‘me.’ ‘Me’ is the essence of that spirit. When you say the ‘me’ is the essence of that spirit, covered over by all kinds of darkness, like an onion with many, many layers, that essence of the highest is ‘me’ – that’s still part of thinking. Right? When you feel that the essence is ‘me’ that’s part of your process of thought. Somebody has put it into your mind or you have invented it, yourself. I wonder if you’re following all this? You may not believe it but thought has created this. But thought is a material process because thought is knowledge, experience stored up as memory in the brain and that response to that memory is thinking. We went through all that the other day, we won’t go into it. So, thought is a material process. Though, thought can say, ‘There is spirit in me,’ but it is a material process. When you say, ‘I have faith in God,’ it is a material process. The faith in God, God being your projection of what you think is the most beautiful, omnipotent, all the rest of it, it is still a process of thought. So, there is nothing – please, bear with me, go into it, very deeply – there is nothing but the movement of thought which has created the ‘me’ or the essence of the spirit. It is still thought, so it is still a material process. Jadi, ada kematian. Jadi, kita harus menyelidiki, bersama, bukan menerima otoritas, karena saya bukan otoritas atau guru Anda. Bagi saya, para guru berbahaya dalam kehidupan spiritual. Anda harus menemukan sendiri, untuk diri Anda, apa itu yg adalah 'saya,' bagaimana itu muncul, mengapa itu teramat sangat penting dalam kehidupan kita, dan mengapa orang sangat menakuti kematian. Si 'aku' datang lewat kata-kata, lewat pengalaman, lewat pengetahuan - si 'aku' yg adalah bentuk, nama, seluruh buntalan kenangan, pengetahuan, pengalaman, masa lalu, kenikmatan, rasa sakit, - semua kesadaran dengan isinya adalah 'aku.' Benar? Tolong lihat itu, di dalam diri Anda. Anda mengatakan, 'Itu bukan hanya saya, itu hanya sebagian besar kenangan, oleh karenanya, itu adalah proses material tapi ada si 'aku' yg spiritual. Umat Hindu dan yg lainnya dan, mungkin, beberapa di antara Anda mempertahankan bahwasanya ada sesuatu yg spiritual di dalam 'aku.' 'Aku' adalah esensi dari spirit itu. Ketika Anda mengatakan si 'aku' adalah esensi dari spirit itu, yg diselimuti segala jenis kegelapan, bagai bawang dgn banyak, banyak lapisan, esensi tertinggi itu adalah si 'aku' - yg adalah masih bagian dari berpikir. Benar? Ketika Anda merasa bahwa esensi adalah 'aku' itu adalah bagian dari proses pikiran Anda. Seseorang meletakkannya ke dalam benak Anda, atau Anda menciptakannya sendiri. Saya bertanya-tanya apa Anda mengikuti semua ini? Anda boleh tidak mempercayainya tapi pikiran telah menciptakan ini. Tapi pikiran adalah proses material karena pikiran adalah pengetahuan, pengalaman yg ditimbun sebagai kenangan di dalam otak dan respon terhadap kenangan adalah berpikir. Kita sudah bahas semua itu tempo hari, kita tak akan bahas sekarang. Jadi, pikiran adalah proses material. Meskipun, pikiran bisa berkata, 'Ada spirit di dalam aku,' tapi itu adalah proses material. Ketika Anda berkata, 'Saya beriman kepada Tuhan,' itu adalah proses material. Iman kepada Tuhan, Tuhan adalah proyeksi Anda tentang apa yg menurut Anda paling indah, mahakuasa, semua sisanya, itu masih suatu proses pikiran. Jadi, tidak ada apapun - tolong bersabar dengan saya, periksa, secara mendalam - tidak ada apapun kecuali gerak pikiran yg menciptakan si 'aku' atau esensi sebuah spirit. Itu masih pikiran, jadi itu masih proses material.
1:07:50 So, one clings to the known and one is frightened of the unknown, which is death. Right? Do you understand this? So, time is the living, a long interval, and death. We said time is a movement, movement of thought as measure, so many lives, so many years – which is all measurement. Now, can that time stop? Which means the living and the dying, close together. You understand? This takes so much explanation, all this. That is, death means the ending of that which has continued. Right? See how important it is that that which continues becomes mechanical. Right? And, therefore, there is nothing new, thought may invent something new, like the jet, it’s something new, or the Einstein theories – I won’t go into all that. So, thought can invent something new but we’re not talking about that invention, we are talking about: thought can invent something beyond death but it’s still the movement of thought. So, we are saying death means the ending of a continuity, which is time. That which continues means time – tradition, in your faith, in your beliefs, in your gods, is the movement of time. Jadi, seseorang bergantung pada yg dikenal dan seseorang takut akan yg tak dikenal, yaitu kematian. Benar? Pahamkah Anda ini? Jadi, waktu adalah kehidupan, interval panjang, dan kematian. Kita katakan waktu adalah gerak, gerak pikiran sebagai ukuran, demikian banyak kehidupan, demikian banyak tahun - yg semuanya adalah ukuran. Sekarang, bisakah waktu berhenti? Yang artinya kehidupan dan kematian, saling berdekatan. Anda paham? Ini perlu banyak penjelasan, semua ini. Artinya, kematian berarti suatu pengakhiran dari yg berkelanjutan. Benar? Lihatlah betapa pentingnya, bahwa yg berkelanjutan tersebut menjadi mekanis. Benar? Dan, oleh sebab itu, tidak ada sesuatu yg baru, pikiran bisa saja menemukan sesuatu yg baru, misalnya jet, itu suatu hal baru, atau teori Einstein - saya takkan selidiki semua itu. Jadi, pikiran bisa menciptakan sesuatu yg baru namun kita bukan membicarakan ciptaan yg seperti itu, kita membicarakan tentang: pikiran yg bisa menciptakan sesuatu yg di luar kematian namun itu tetaplah suatu gerak pikiran. Jadi, kita mengatakan kematian berarti pengakhiran keberlanjutan, yaitu waktu. Segala yg berlanjut berarti waktu - tradisi, dalam iman Anda, dalam kepercayaan Anda, dalam tuhan-tuhan Anda, adalah gerak waktu.
1:10:21 So, we are saying, to die to the things known, now. You understand my question? To die to your attachments, now, which is going to take place when you die. You understand? Ah, this is really very serious because when we die, what takes place? The organism with its brain dies, comes to an end, the brain deteriorates. The brain which contained memory in its cells as experience and knowledge, that brain withers away. So, there is ending of thought. And, can there be an ending of thought while living? You understand my question? Which is dying now, not fifty years later, which doesn’t mean you commit suicide, don’t jump over the bridge. Which means dying to your pleasure. Of course, you will die to your pain, that’s very easy, that’s what one want to do, but one wants to cling to the pleasure, to the picture that you have created about pleasure and the pursuit of it. That, when the brain decays, is going to end. You understand what I’m talking...? So, to die instantly to attachment, to jealousy, to fear – die. That’s one problem. Therefore, when there is such death, there is, then, non-continuity which means the ending of time, therefore, a totally different dimension of consciousness. I haven’t time to go into all that. Totally different kind of consciousness, which is not the consciousness with all its content, which is ‘me,’ but a totally different kind, a dimension. Jadi, kita mengatakan, mati terhadap hal-hal yg Anda kenal, sekarang. Anda paham pertanyaan saya? Mati terhadap kemelekatan Anda, sekarang, yg akan terjadi ketika Anda mati. Anda paham? Ah, ini betul-betul sangat serius karena ketika kita mati, apa yg terjadi? Organisme dengan otaknya mati, berakhir, otak memburuk. Otak yg berisikan kenangan di dalam sel selnya sebagai pengalaman dan pengetahuan, otak tersebut layu. Jadi, di situ ada pengakhiran pikiran. Dan, bisakah pikiran berakhir selagi hidup? Anda paham pertanyaan saya? Yaitu mati sekarang, bukan 50 tahun lagi, bukan berarti Anda bunuh diri, jangan melompat dari jembatan. Itu artinya mati terhadap kenikmatan Anda. Tentu saja, Anda akan mati terhadap rasa sakit Anda, itu sangat mudah, itulah yg ingin dilakukan seseorang, namun seseorang ingin berpegang pada kenikmatan, kepada gambaran yg telah Anda ciptakan tentang kenikmatan dan pengejarannya. Itu, ketika otak menjadi tua, akan berakhir. Anda mengerti yg saya bicarakan...? Jadi, mati secara instan terhadap kemelekatan, kecemburuan, ketakutan - mati. Itu adalah satu masalah. Oleh sebab itu, ketika ada kematian sedemikian, maka, di situ ada ketidakberlanjutan yg artinya berakhirnya waktu, karenanya, suatu dimensi kesadaran yg sepenuhnya berbeda. Saya tidak punya waktu untuk menyelidiki semua itu. Kesadaran yg sepenuhnya berbeda, yaitu bukan kesadaran dengan seluruh isinya, yg adalah si 'aku,' tapi suatu jenis yg sepenuhnya berbeda, suatu dimensi.
1:13:18 Now, I don’t die now. One doesn’t die because one says, ‘I must have a little more time. Please, give me a little more time. I want to enjoy my life. I’ve got a new car, a new wife, a new pleasure, a new job, please, don’t let me die, immediately.’ So, what happens to that man or woman – please, this is important for you to understand all this – what happens to that man or woman who says, ‘I’m satisfied with things as they are. I’ve got my property. I’ve got a good wife, a husband, money in the bank, and to hell with everything else!’ What happens to that man when he dies? You understand my question? Nah, saya tidak mati sekarang. Seseorang tidak mati krn berkata, 'Saya harus punya sedikit lagi waktu. Tolong, beri saya sedikit waktu lebih. Saya ingin menikmati hidup saya. Saya punya mobil baru, istri baru, kenikmatan baru, pekerjaan baru, tolong, jangan biarkan saya mati segera.' Jadi, apa yg terjadi pada laki-laki atau perempuan tersebut - tolong, ini penting bagi Anda untuk dimengerti - apa yg terjadi pada laki-laki atau perempuan yg berkata, 'Saya puas akan hal-hal sebagaimana adanya. Saya punya properti. Saya punya istri yg baik, suami, uang di bank, dan persetan dengan segala sesuatu yg lain!' Apa yg terjadi pada laki-laki tersebut saat ia mati? Anda paham pertanyaan saya?
1:14:13 There are two types of beings in the world: the one who dies to everything known – the known is the structure of thought, put together as the ‘me’ – the attachments, the fears, the loneliness, the despair and, therefore, out of despair, hope – all that he dies to – to all that there is instant ending. Ending of sorrow is the beginning of compassion. You think about it. Don’t think about it, do it! Now, what happens to the man who doesn’t do all this, who is lazy, indifferent, becomes serious about something which is trivial, or he thinks it is very important to follow a guru – all that silly stuff – what happens to that man, or woman? You understand my question? Have you understood my question? There are two types of human beings: the one who is dying every minute of the day, to everything he has gathered, therefore, he’s never gathering anything. You understand? Psychologically, he’s never gathering anything, therefore, there is no ‘me,’ at all, all the time. And there is the other man, what happens to him? So, what is the other man? The other man is the human being or the woman, the human being, like every other human being in the world. He has lived in sorrow, in despair, in agony, tears, like the rest of the human beings. So, there is this stream of sorrow – you understand? – the stream, the river of agony, the river of pleasure, the river of violence, all that, he’s in that stream, he has always been in that stream. Right? It’s only the man who steps out of the stream who is different. Otherwise, he’s like the rest. I know this is a sad picture – you understand? – this is really a great sorrow, to see this happening. Therefore, the man who sees this happening is compassionate. Therefore, his responsibility is to convey all this. You understand what I’m saying? Ada dua tipe makhluk di dunia ini: pertama, yg mati terhadap segala sesuatu yg dikenal - yg dikenal adalah struktur pikiran yg terhimpun sebagai si 'aku' - kemelekatan, ketakutan, kesepian, keputusasaan dan, karena putus asa, berharap - terhadap semua itu ia mati - terhadap semua itu ada pengakhiran segera. Pengakhiran dukacita adalah permulaan welas asih. Pikirkanlah tentang itu. Jangan pikirkan tentang itu, lakukan itu! Sekarang, apa yang terjadi pada orang yg tak melakukan semua ini, yg malas, acuh tak acuh, menjadi serius tentang sesuatu yg sepele, atau ia kira sangatlah penting mengikuti seorang guru - dan semua hal konyol itu - apa yg terjadi pada laki-laki atau perempuan itu? Anda paham pertanyaan saya? Sudah mengertikah Anda pertanyaan saya? Ada dua jenis manusia: pertama yaitu yg mati tiap menit dari hari, terhadap tiap hal yg telah dikumpulkannya, oleh sebab itu, ia tak pernah mengumpulkan apapun. Anda paham? Secara psikologis, ia tak pernah mengumpulkan apapun, oleh sebab itu, betul-betul tidak ada 'aku,' sepanjang waktu. Dan ada manusia satunya, apa yg terjadi padanya? Jadi, seperti apa manusia yg satunya? Manusia yg satunya adalah manusia termasuk wanita, manusia, seperti tiap orang di dunia. Ia hidup dalam dukacita, keputusasaan, penderitaan yg mendalam, air mata, seperti selebihnya umat manusia. Jadi, ada aliran dukacita - Anda paham? - aliran, sungai penderitaan yg mendalam, sungai kenikmatan, sungai kekerasan, semua itu, ia ada dalam aliran itu, ia selalu ada dalam aliran itu. Benar? Hanya orang yg melangkah keluar dari aliran itulah yg berbeda. Jika tidak, ia sama saja dengan yg lainnya. Saya tahu ini adalah gambaran yg menyedihkan - Anda mengerti? - adalah betul-betul dukacita yg mendalam melihat ini berlangsung. Karena itu, orang yg melihat hal ini berlangsung adalah sangat berwelas asih. Karena itu, merupakan tanggung jawabnya untuk menyatakan semua ini. Anda mengerti apa yg saya katakan?
1:17:49 So, immortality is not ‘me’ surviving, eternally – until the Angel Gabriel blows the horn – but there is immortality that is beyond death, when time has come to an end. You understand? Time as a movement of thought and measure, which is our consciousness. When that consciousness empties itself, completely, then there is a state that is totally different. The emptying of this consciousness with its content is part of meditation, which we’II discuss, tomorrow. Jadi, keabadian bukanlah si 'aku' yg hidup kekal - hingga Malaikat Gabriel meniup terompet - tapi ada suatu keabadian yg melampaui kematian, ketika waktu berakhir. Anda paham? Waktu sebagai gerak pikiran dan ukuran, yaitu kesadaran kita. Ketika kesadaran itu mengosongkan dirinya, secara komplet, maka di situ ada keadaan yg sama sekali berbeda. Pengosongan kesadaran ini berikut isinya adalah bagian dari meditasi, yg akan kita diskusikan besok.