Krishnamurti Subtitles home


BR7879CBS2 - Adakah suatu keadaan batin tanpa diri?
Diskusi ke-2 dengan para ahli Buddhis
Brockwood Park, UK
23 Juni 1978



0:22 Krishnamurti: Yes, sir, you wanted to start. Krishnamurti: Ya, Tuan, Anda menginginkan untuk memulai.
0:26 Walpola Rahula: This morning and this afternoon I want to ask you three or four things to clarify to me. And for a long time these questions... Walpola Rahula: Pagi ini dan sore ini, saya ingin minta Anda tiga atau empat hal untuk menjelaskan kepada saya. Dan untuk waktu yang lama pertanyaan-pertanyaan ini...
0:41 K: Speak a little louder, sir. K: Bicaralah sedikit lebih keras, Tuan.
0:44 WR: ...were on my mind, and very often I thought of you to meet you and to discuss these things, not in a place like this but privately between you and me, but it was not possible to get this opportunity, and now ultimately I am grateful to Mr Narayan for arranging this. We continued yesterday about something, I think you were telling the last thing, I think it was about greed and as a bad thing; the idea is given by words, but if you see it without the word, it may not be the same thing. And of course that is quite so because the thing itself has no word when you see the thing. In Buddhist terminology there are three levels of knowledge: one is Shrutabhi Pradnya – that is that we get wisdom, certain knowledge through learning, the books, the teacher; then there is further development, Chintamayi Pradnya: that is the wisdom that you get by thinking, meditating according to that, your knowledge, still within words, it is still within language; but the highest wisdom is Bhavanamayi Pradnya which goes beyond words, it has no word, it has no name, it has no terminology. That means there you see the thing without a word. I think that is what you meant when you said, when you see the thing, all our reflections, accumulated meanings, disappear. That is how I understood it. I don’t know whether that is what you meant. WR:... ada di batin saya dan sangat sering saya memikirkan Anda, untuk bertemu dengan Anda dan mendiskusikan hal-hal ini, bukan di tempat seperti ini, tapi secara pribadi antara Anda dan saya, tapi adalah tidak mungkin untuk mendapatkan kesempatan ini, dan akhirnya, sekarang saya berterima kasih kepada... Tuan Narayan karena mengatur ini. Kita lanjutkan yang kemarin tentang sesuatu, saya pikir Anda mengatakan hal terakhir, saya pikir itu tentang ketamakan dan sebagai hal yang buruk, ide itu diberikan oleh kata-kata, tapi jika Anda melihatnya tanpa kata, mungkin itu bukan hal yang sama. Dan tentu saja memang begitu, karena hal itu sendiri tidak memi- liki kata ketika Anda melihatnya. Dalam terminologi Buddhis ada tiga tingkat pengetahuan: satu adalah Shrutabhi Pradnya - yaitu kita mendapatkan kebijaksanaan, pengetahuan tertentu melalui mempelajari buku-buku, guru; lalu ada pengembangan lebih lanjut, Chintamayi Pradnya: itu adalah kebijaksanaan... yang Anda dapatkan dengan berpikir, bermeditasi sesuai dengan itu, pengetahuan Anda, masih dalam kata-kata, itu masih dalam bahasa; tetapi kebijaksanaan tertinggi adalah Bhavanamayi Pradnya, yang melampaui kata-kata, tidak memiliki kata, tidak memiliki nama, tidak memiliki terminologi. Itu berarti, Anda melihat sesuatu tanpa sepatah kata. Saya pikir itulah yang Anda maksud ketika Anda berkata, ketika Anda melihat hal itu, semua refleksi, himpunan makna kita, lenyap. Itu adalah bagaimana saya memahaminya. Saya tidak tahu apakah itu yang Anda maksudkan.
3:17 K: Perhaps we will go into it, sir, but you also said you would like to ask some other questions. K: Mungkin kita akan membahasnya, Tuan, tetapi Anda juga mengatakan... Anda ingin mengajukan beberapa pertanyaan lain.
3:24 WR: That’s right. That is very interesting. I am very grateful to you for that.

K: Not at all, sir.
WR:Benar. Itu sangat menarik. Saya sangat berterima kasih kepada Anda untuk itu.

K:Sama sekali tidak, Tuan
3:33 WR: These are things which have been on my mind for a long time. Sir, you know the word Arhant, in Buddhist terminology. Arhant is the one who has realised the truth, who is liberated, who is free, and that is a very well-known term. And the question was put to the Buddha, very often, by his disciples and by various people: what happens to an Arhant after his death? And then that man asked, ‘Does he exist after his death?’ The Buddha said, ‘No’. ‘Then he does not exist.’ The Buddha said, ‘No’. ‘Then he exists and does not exist’. Buddha said, ‘No’. ‘Then he does not exist, nor not exist’. These are the Chatushkoti, the four corners. He said, ‘No’. None of those terms, exist or does not exist, is or is not, can be applied to that state. All those terms, relative, dualistic terms, are used only within our knowledge, within our experience, within empirical world. But this is beyond that, therefore you can’t apply any of those words. This answer is everywhere; in many places he was asked these questions, and what do you say to this? He said that you can’t say exist, or not exist. WR: Ini adalah hal-hal yang sudah lama ada di batin saya. Tuan, Anda tahu kata Arhant dalam terminologi Buddhis. Arhant adalah orang yang telah me- wujudkan kebenaran, yang terbebaskan, orang yang bebas dan itu adalah istilah yang sangat dikenal. Dan pertanyaan itu diajukan kepada Sang Buddha, sangat sering, oleh para penganutnya dan oleh berbagai orang: apa yang terjadi pada seorang Arhant setelah kematiannya? Dan kemudian orang itu bertanya, 'Apakah dia berada setelah kematian- nya?' Sang Buddha berkata, 'Tidak'. 'Maka dia tidak berada.' Sang Buddha berkata, 'Tidak'. 'Lalu dia berada dan tidak berada'. Buddha berkata, 'Tidak'. 'Maka dia tidak berada dan juga bukan tidak berada'. Ini adalah Chatushkoti, bersudut empat. Dia berkata, 'Tidak'. Tidak satu pun dari istilah-istilah itu, berada... atau tidak berada, ada atau tidak ada, dapat diterapkan ke keadaan itu. Semua istilah itu, istilah-istilah relatif, dualistik, hanya digunakan dalam pengetahuan kita, dalam pengalaman kita, dalam dunia empiris. Tetapi ini di luar dari itu, oleh karena itu Anda tidak dapat menerapkan kata-kata itu. Jawaban ini ada di mana-mana; di banyak tempat dia ditanyai pertanyaan-pertanyaan ini, dan apa tanggapan Anda tentang ini? Dia mengatakan bahwa Anda tidak bisa mengatakan berada, atau tidak berada.
5:35 K: Could we talk over together, sir, what is living and what is dying, and what is the state of the mind that is dead, or in the process of dying? Could my putting it that way be a help to answering the question? K:Bisakah kita bicarakan bersama, Tuan, apakah kehidupan dan apakah kematian, dan apakah keadaan batin... yang sudah mati atau sedang dalam proses kematian? Bisakah saya dengan cara mengatakannya seperti itu... merupakan bantuan untuk menjawab pertanyaan itu?
6:15 WR: I don’t know. WR: Saya tidak tahu.
6:17 K: You see, after all Arhat is known also I believe in Indian thought, Hindu thought, because, not that I have read any books but I have discussed. Human beings right throughout the world, as far as one can make out, are always enquiring or believing into what is death, is there life after death, is there a continuity, and if there is no continuity, what is the point of living at all? Life is such a dreadful affair anyhow, with a lot of trouble, anxieties, fears, and so on, so on, if there is no reward for living properly, correctly, what’s the point of being good, kind, noble, etc.? Could we approach your question from that point of view? Or do you want to ask what is the state of a mind that has no self whatsoever? K:Nah, betapapun, saya kira Arhat dikenal juga dalam filsafat India, Filsafat Hindu, karena, bukan berarti saya telah membaca buku apapun, tetapi saya telah membahasnya. Manusia di seluruh dunia, sejauh yang bisa diketahui, selalu bertanya atau percaya apa kematian itu, apakah ada kehidupan setelah kematian, apakah ada kesinambungan, dan jika tidak ada kesinambungan, apa gunanya hidup? Bagaimanapun, hidup adalah peristiwa yang mengerikan, dengan banyak masalah, kekuatiran, kecemasan, dan seterusnya, jika tidak ada perhargaan untuk hidup dengan pantas, dengan benar, apa gunanya menjadi baik, baik hati, mulia, dan sebagainya? Bisakah kita mendekati pertanyaan Anda dari sudut pandang itu? Ataukah Anda ingin bertanya, apakah keadaan batin yang tidak memiliki diri sama sekali?
8:04 WR: That’s right, that’s right, that is an Arhant. WR:Itu benar, itu benar, itu adalah suatu Arhant.
8:07 K: That is what I want to get at. K:Itulah yang ingin saya gapai.
8:09 WR: That’s right, that’s correct.

K: Yes. Could we go into that, that way?

WR: I think that is a good approach because that is an Arhant who has no self whatsoever.
WR: Benar, benar.

K: Ya. Bisakah kita mendalaminya, lewat itu?

WR:Saya kira itu pendekatan bagus, karena itu adalah seorang Arhant yang tidak memiliki diri sama sekali.
8:27 K: Is that possible? We are enquiring.

WR: Yes.
K: Apakah itu mungkin? Kita sedang bertanya.

WR: Ya.
8:31 K: I am not saying it is, or it is not, we are enquiring, proceeding through exploration and finding out, not believing or not believing. So what is the self? The name, the form – just a minute, sir, let me enquire, we are enquiring. The form, the body, the organism, the name, the name identifies itself with the body, certain characteristics identifying itself with the ‘me’, I am strong, I am weak, I have got a good character, I am not bad. So the characteristic is identified by thought as the ‘me’. The tendency is identified by thought as the ‘me’. The experiences, the accumulated knowledge is identified by thought as the ‘me’, and the ‘me’ is that which I possess, my property, my house, my furniture, my wife, my books. All that – the violence, the pleasure, the fear, the agonies – all that with the name, with the form, identification, constitutes the self. So what is the root of the self? Is the root of the self the acquired experiences – I am enquiring, sir – the acquired experiences – we are enquiring into the very root of it, not the mere expressions of it. Right, sir? Am I alright? I want to laugh a bit! K: Saya tidak mengatakan itu bisa atau tidak bisa, kita bertanya, melanjutkan melalui eksplorasi dan mencari tahu, bukan melalui percaya atau tidak percaya. Jadi, diri itu apa? Nama, bentuk... - sebentar, Tuan, izinkan saya bertanya, kita sedang bertanya. Bentuknya, tubuhnya, organismenya, namanya, nama mengidentifikasikan dirinya dengan badannya, karakteristik, ciri, tertentu mengi- dentifikasikan diri dengan si 'aku', Saya kuat, saya lemah, saya punya ka- rakter yang baik, saya tidak buruk. Jadi karakteristiknya diidentifikasi oleh pikiran sebagai si 'aku'. Kecenderungan diidentifikasi oleh pikiran sebagai si 'aku'. Pengalaman, pengetahuan yang terhimpun... diidentifikasi oleh pikiran sebagai si 'aku', dan si 'aku' adalah apa yang saya miliki, properti saya, rumah saya, perabot saya, istri saya, buku-buku saya. Semua itu - kekerasan, kesenangan, rasa takut, penderitaan... - semua itu dengan nama, dengan bentuk, identifikasi, merupakan si-diri. Jadi apa akar dari diri itu? Apakah akar dari diri... pengalaman yang diperoleh - saya sedang bertanya, Tuan - pengalaman yang diperoleh... - kita sedang menyelidiki akar dari itu, bukan hanya ekspresi dari itu. Benar, Tuan? Apakah saya baik-baik saja? Saya ingin tertawa sedikit!
11:18 WR: Yes, that is very important. WR: Ya, itu sangat penting.
11:31 K: So the whole process of identification – my house, my name, my possessions, what I will be, the success, the power, the position, the prestige. The identification process is the essence of the self. If there is no identification, is there the self? You understand, sir?

WR: Yes, sir, I follow.
K: Jadi seluruh proses identifikasi... - rumah saya, nama saya, milik saya, saya akan jadi apa, kesuksesan, kekuasan, posisi, gengsi. Proses identifikasi adalah esensi dari diri. Jika tidak ada identifikasi, apakah ada diri? Anda paham, Tuan?

WR: Ya, Tuan, saya ikuti.
12:16 K: So can this identification come to an end? Which is, the identification is the movement of thought. If thought didn’t say, that is my furniture, identifying itself with that because it gives it pleasure, position, security – all that, so the root of the self is the movement of thought. Would you... K: Jadi bisakah identifikasi ini berakhir? Yaitu, identifikasi adalah gerakan pikiran. Jika pikiran tidak mengatakan itu adalah perabot saya, mengidentifikasikan dirinya dengan itu, karena memberi kesenangan, posisi, keamanan - semua itu, jadi akar dari diri adalah gerakan pikiran. Maukah Anda...
13:02 WR: Yes. Yes. WR: Ya. Iya.
13:11 K: So death is the ending of that movement. Or is death a continuity of that movement into the next life? You understand?

WR: Fully. Quite.
K:Jadi kematian adalah pengakhiran dari gerakan itu. Atau apakah kematian merupakan kelanjutan... dari gerakan itu ke kehidupan selanjutnya? Anda paham?

WR: Sepenuhnya.
13:31 K: Arhant, or the Arhat, or the liberated man, why should he wait till the end, till he reaches that which is called death? So, when we realise the very root of the self is the movement of thought in time, in distance, from here to there, and all the conflicts, miseries, confusions, created by thought – right, sir? – is the self. So when thought comes to an end – that is a form of death while living. K: Arhant, atau Arhat atau orang yang terbebaskan, mengapa dia harus menunggu sampai akhir, sampai dia mencapai apa yang disebut kematian? Jadi, ketika kita mewaspadai... akar dari diri adalah gerakan... pikiran dalam waktu, dalam jarak, dari sini ke sana, dan semua konflik, kesengsaraan, ke- bingungan, diciptakan oleh pikiran... - benar Tuan? - adalah si diri. Jadi, ketika pikiran berakhir... - itu adalah suatu bentuk kematian saat hidup.
14:43 WR: Yes.

K: Right?
WR: Ya.

K: Benar?
14:47 K: Now, can thought come to an end? To bring that about, or wanting thought to end, we meditate, we practise, we are aware, we go through all the tortures of so-called meditation. Right, sir? Would you agree to that? K:Sekarang, bisakah pikiran berakhir? Untuk mewujudkan itu atau menginginkan pikiran untuk berakhir , kita bermeditasi, kita berlatih, kita sadar, kita mengalami semua siksaan yang disebut meditasi. Benar, Tuan? Apakah Anda menyetujui itu?
15:18 WR: Popular religion.

K: No, no. You see – please, sir, if I may point out, the ordinary man is not interested in all this. Right? He wants his beer, whatever he wants, he is not interested in all this because, perhaps, wrong education, social conditions, economic position, environmental influences, and maybe the religions have helped to keep the man down there, popular, the elite are somewhere else – the pope, the cardinals. You follow? So I wouldn’t, if I may point out, sir, I wouldn’t say ‘popular’. It is the human tendency, that is all we are talking about. Every human being has identified himself and so conditioned himself with something or other, with god, with nirvana, with moksha, with heaven, with paradise and so on. Now, while living, can that death, which is the end of thought, take place? Not at the end of one’s life which then is a graveyard renunciation. There is no meaning.
WR: Agama populer.

K: Tidak, tidak. Anda lihat - tolong, Tuan, jika saya boleh menunjukkan, manusia biasa tidak tertarik dengan semua ini. Benar? Dia ingin birnya, apa pun yang dia inginkan, dia tidak tertarik dengan semua ini, karena, mungkin, pendidikan yang salah, kondisi sosial, posisi ekonomi, pengaruh lingkungan, dan mungkin agama-agama... telah membantu menjaga orang itu tetap di sana, populer, para elit ada di tempat lain... - Paus, para kardinal. Anda mengikuti? Jadi saya tidak akan, jika saya boleh menunjukkan, Tuan, saya tidak akan mengatakan 'populer'. Kecenderungan manusia itulah yang kita bicarakan. Setiap manusia telah mengidentifikasi dirinya sendiri... dan karenanya mengondisikan dirinya... dengan sesuatu atau lainnya, dengan dewa, dengan nirwana, dengan moksha, dengan surga, dengan firdaus dan sebagainya. Sekarang, selagi hidup, dapatkah kematian itu, yang meru- pakan akhir dari pikiran, terjadi? Tidak di akhir hidup seseorang, yang kemudian merupakan suatu penyangkalan diri dalam kuburan. Tidak ada artinya.
17:14 WR: May I agree with you when you said it is not necessary to wait till the end of your life, till death, and Buddha pointed out the same thing. When this question was put to him, the question was asked also what will happen to the Buddha after his death. He asked the disciple, ‘What is Buddha? Is it this body?’ – like you said, the name, the form, all this. Exactly what you said, form and name in Buddhist terminology is called the Naamrupa. WR: Bolehkah saya setuju dengan Anda ketika Anda mengatakan, tidak perlu menunggu sampai akhir hidup Anda, sampai mati, dan Buddha menunjukkan hal yang sama. Ketika pertanyaan ini diajukan kepadanya, pertanyaan juga diajukan... apa yang akan terjadi pada Buddha setelah kematiannya. Dia tanya kepada pengikutnya ‘Buddha itu apa? Apakah itu tubuh ini? ' - seperti yang Anda katakan, namanya, bentuknya, semua ini. Tepat seperti Anda katakan, bentuk dan nama dalam terminologi Buddhis... disebut Naamrupa.
17:57 K: Naamrupa, that is in Sanskrit too. K: Naamrupa, itu ada dalam bahasa Sanskerta juga.
18:05 WR: And the disciple said, ‘No’. Then you can’t pin-point the Buddha even now, living, then how can you say after death? WR:Dan pengikut itu berkata, 'Tidak'. Maka Anda, bahkan sekarang, tidak dapat menentukan Sang Buddha, hidup, lalu bagaimana Anda bisa mengatakan setelah kematian?
18:18 K: Sir, if I may ask, I hope you don’t think me impudent, why do we bring in the Buddha? We are talking as human beings. K:Tuan, jika saya boleh tanya, saya harap Anda tidak menganggap saya lancang, mengapa kita membawa masuk Buddha? Kita berbincang sebagai manusia.
18:28 WR: Just because I raised the question from the Buddha’s point of view. WR: Hanya karena saya mengangkat pertanyaan... dari sudut pandang Buddha.
18:33 K: Ah, no, as a human being, I want to know what happens after death. Or what is the significance of death. Or can one live in daily life, not as a monk, as a saint, all that stuff, daily life, without the self? K: Ah, tidak, sebagai manusia, Saya ingin tahu apa yang terjadi setelah kematian. Atau apa arti penting kematian. Atau bisakah orang hidup dalam kehidupan sehari-hari, bukan sebagai biarawan, sebagai orang suci, semua itu, kehidupan sehari-hari, tanpa diri?
19:04 WR: Of course my question was not that. The person who has realised the truth, who has become liberated, free, to him, what happens. That is the question. WR: Tentu saja pertanyaan saya bukan itu. Orang yang telah mewujudkan kebenaran, yang telah terbebaskan, bebas, kepada dia, apa yang terjadi. Itu pertanyaannya.
19:20 K: I would never ask that question because he might say this happens or he might say that happens, or nothing happens. Then it becomes a theory to me, which is an idea. K:Saya tidak akan pernah mengajukan pertanyaan itu karena... dia mungkin saja mengatakan ini yang terjadi... atau dia mungkin bilang itu yang terjadi atau tidak ada yang terjadi. Lalu itu menjadi teori bagi saya, yang merupakan ide.
19:44 WR: I wanted from you a little more than that. WR: Saya ingin dari Anda sedikit lebih dari itu.
19:48 K: Ah, you want from me. K: Ah, Anda mau dari saya.
19:51 WR: Not a theory. WR: Bukan teori.
19:54 K: If you want it from this person who is talking, you have to enquire as he is enquiring. And therefore he asks, is it possible to live in daily life, not at the end of one’s existence, a daily life without this identification process? which brings about the structure and the nature of the self, which is the result of thought? Can the movement of thought end while I am living? That is the question, rather than what happens when I die. The ‘me’ is merely a movement of thought. Thought itself is very limited. Right? It is a piece in a vast movement, it is a small piece, broken up. So as long as thought, limited, a broken up thing, a fragment, whatever it creates, will still be limited, broken up, fragmentary. Right? So can a human being, you or I or any of us, can we live without the movement of thought, which is the essence of the self? Suppose, I say, yes, it can be done – what value has it to you? K: Jika Anda menginginkannya dari orang yang sedang berbicara ini, Anda harus menyelidiki, karena dia sedang menyelidiki. Dan karena itu dia bertanya, apakah mungkin untuk hidup dalam kehidupan sehari-hari, tidak pada akhir keberadaan seseorang, kehidupan sehari-hari tanpa proses identifikasi ini? Yang mewujudkan struktur dan sifat diri, yang merupakan hasil pikiran? Bisakah gerakan pikiran berakhir saat saya hidup? Itulah pertanyaannya, daripada apa yang terjadi ketika saya mati. Si 'aku' hanyalah gerakan pikiran. Pikiran itu sendiri sangat terbatas. Benar? Itu adalah bagian dari gerakan besar, itu adalah bagian kecil, terpisah-pisah. Jadi selama pikiran, terbatas, yang terpisah-pisah, suatu fragmen, apa pun yang diciptakannya, akan tetap terbatas, terpisah-pisah. Benar? Jadi dapatkah manusia, Anda atau saya atau siapa pun dari kita, dapatkah kita hidup tanpa gerakan pikiran, yang merupakan esensi dari diri? Misalkan, saya katakan, ya, itu bisa dilakukan... - apa nilainya bagi Anda?
22:18 Irmgard Schloegl: Once that identification is really broken, once that identification of thought and ‘me’ is really broken... Irmgard Schloegl:Begitu identifi- kasi itu benar-benar terputus, begitu identifikasi pikiran dan 'aku' benar-benar terputus...
22:33 K: Ah, no, not broken, end.

IS: That is what I mean, ended.
K: Tidak, tidak terputus, berakhir.

IS: Itu yang saya maksud, berakhir.
22:37 K: When you break something it can continue, but it is an ending. K: Ketika Anda memutuskan sesuatu, itu bisa berlanjut, tetapi ini adalah suatu akhir.
22:43 IS: It can never come back in the same way again, it is an irrevocable ending. IS: Tidak akan pernah bisa kembali dengan cara yang sama lagi, itu adalah akhir yang tidak bisa dibatalkan.
22:49 K: All I am saying is, suppose, the speaker, this person says, yes, it is possible, I know it is possible, then what? What value has it to you? K: Yang saya katakan adalah, misal- kan pembicara, orang ini berkata, ya, itu mungkin, saya tahu itu mungkin, lalu apa? Apa nilainya bagi Anda?
23:07 IS: That is what personally I hope we can discuss. IS: Itulah yang secara pribadi saya harap bisa kita diskusikan.
23:10 K: I am coming to that. What value is that to you? Either you accept it, or you say, don’t be silly and walk away, as it is not possible, and you leave it. But if you want to enquire and say, look, is it possible, let’s find out – not as an idea, but as an actuality in daily life. Right, sir? Right. Somebody join us! K: Saya akan ke situ. Apa nilai itu bagi Anda? Entah Anda menerimanya, atau Anda berkata, jangan bodoh dan pergi, karena itu tidak mungkin dan Anda meninggalkannya. Tetapi jika Anda ingin menyelidikinya dan berkata, apakah itu mungkin, mari cari tahu... - bukan sebagai ide namun sebagai yang aktual dalam hidup sehari-hari. Benar, Tuan? Benar. Seseorang bergabung dengan kita!
24:01 Giddu Narayan: Dr. Rahula, we have been talking in this context of the value of Buddhist meditation, or meditation, preparation, practice, mindfulness. What is the value of all those things that are mentioned in the Buddhist literature, which is practised as a very important thing in relation to the ending of thought? Giddu Narayan:Dr. Rahula kita telah berbicara dalam konteks ini... mengenai nilai meditasi Buddhis, atau meditasi, persiapan, latihan, kewaspadaan. Apa nilai dari semua ini, yang disebutkan dalam literatur Buddhis, yang dipraktekkan sebagai hal yang sangat penting... dalam kaitannya dengan pengakhiran pikiran?
24:38 WR: Ending of thought, or self? WR: Akhir dari pikiran, atau diri?
24:42 GN: Satipatthana, mindfulness, let us say. GN: Katakanlah Satipatthana, perhatian penuh.
24:45 WR: Satipatthana, mindfulness or rather presence of awareness – a sense of mindfulness. Yes, Satipatthana has many aspects, not only one, but the most important thing is the mindfulness, awareness in everything. Even now what we do here is a meditation, it is not sitting with legs crossed like a statue under a tree or in a cave, that is no meditation, that is only an exercise externally. Many people take it as to be the meditation. What we do here nobody would think we were meditating. But to me this is the deepest sort of meditation, also given in the Satipatthana, this is called Dhammavipassana, to see or to follow, or to observe, or to be aware of various subjects, topics, things, doctrines, things like that, various things; that is the intellectual side of it. Then there is also meditation, mindfulness of everything you do, whatever you do, eating, drinking, or going about, talking – everything is mindfulness. And all that leads to what he says. WR: Satipatthana, perhatian penuh... atau lebih tepatnya kehadiran kewaspadaan - rasa perhatian penuh. Ya, Satipatthana memiliki banyak aspek, tidak hanya satu, tapi yang terpenting adalah... perhatian penuh, kewaspadaan dalam segala hal. Bahkan sekarang apa yang kita lakukan di sini adalah meditasi, bukan duduk dengan kaki bersilang... seperti patung di bawah pohon atau di dalam gua, itu bukan meditasi, itu hanya latihan eksternal. Banyak orang menganggapnya sebagai meditasi. Apa yang kita lakukan di sini tidak akan ada yang mengira... kita sedang bermeditasi. Tetapi bagi saya ini adalah jenis meditasi yang paling dalam, juga ada dalam Satipatthana, ini disebut Dhammavipassana, untuk melihat atau mengikuti, atau untuk mengamati, atau untuk mewaspadai berbagai subyek, topik, doktrin, hal-hal seperti itu, berbagai hal; itu adalah sisi intelektualnya. Lalu ada juga meditasi, perhatian penuh pada semua yang Anda lakukan, apa pun yang Anda lakukan, makan, minum atau berkeliling, berbicara... - semuanya perhatian penuh. Dan semua itu mengarah pada apa yang dia katakan.
26:12 GN: It leads to...

WR: It leads to what he says.
GN:Itu mengarah ke...

WR:Itu mengarah ke apa yang dia katakan.
26:15 GN: That is the thing I really want to get at. GN:Hal itu yang benar-benar saya ingin pahami.
26:18 WR: It leads you to end the thought process of self. WR:Itu membawa Anda untuk meng- akhiri proses berpikir dari diri.
26:27 GN: Yes.

K: Sir, I hope you don’t think me impudent or irreverent to what the Buddha said. I personally haven’t read any of these things. I don’t want to read a thing about all this. They may be correct, or not correct, they may be under illusion or not under illusion, they may have been put together by disciples and what the disciples do with their gurus is appalling – twist everything. So I say, look, I don’t want to start with somebody telling me what to do or what to think. I have no authority. So I say, look, as a human being, suffering, going through agonies, sex and mischief, and terror, and all the rest of it, in enquiring into all that, I come to the point, which is thought. That’s all. I don’t have to know all the literature in the world which will only condition further thinking. So forgive me for putting it that way: I brush all that aside. We have done this – Christians, I have met Christians, Benedictine monks, Jesuits, great scholars, always quoting, quoting, quoting, believing this is so, this is not so. You understand, sir? I hope you don’t think I am irreverent.
GN: Ya.

K: Tuan, Saya harap Anda tidak menganggap saya kurang sopan... atau tidak hormat dengan apa yang dikatakan Sang Buddha. Saya pribadi belum membaca hal-hal ini. Saya tidak ingin membaca apa pun tentang semua ini. Itu semua boleh benar, atau tidak benar, itu semua boleh berupa ilusi atau bukan ilusi, itu semua boleh jadi dihimpun oleh para pengikut... dan apa para pengikut lakukan pada para guru mereka adalah mengerikan... - memelintir semuanya. Jadi saya katakan, lihat, saya tidak ingin memulai... dengan seseorang memberi tahu saya apa yang harus dilakukan... atau apa yang harus dipikirkan. Saya tidak punya otoritas. Jadi saya katakan, lihat, sebagai manusia, menderita, mengalami kesengsaraan, seks dan nakal, dan teror dan semua lainnya, dalam menyelidiki semua itu, saya sampai pada titik, yang adalah pikiran. Itu saja. Saya tidak perlu tahu semua literatur di dunia, yang hanya akan mengondisikan pikiran yang lebih lanjut. Jadi maafkan saya karena mengatakannya demikian: saya kesampingkan semua itu. Kami telah melakukan ini - orang Kristen, saya telah bertemu dengan para biarawan Kristen Benediktin, Jesuit, cendekiawan hebat, selalu mengutip, mengutip, mengutip, percaya ini begitu, ini tidak demikian. Anda paham, Tuan? Saya harap Anda tidak berpikir saya tidak sopan.
28:26 WR: No, not at all. I fully agree with you and that is my attitude as well. I am quoting this and talking to examine it. WR: Tidak, tidak sama sekali. Saya sepenuhnya setuju dengan Anda dan itu adalah sikap saya juga. Saya mengutip ini dan berbicara untuk memeriksanya.
28:39 K: You see, I only start with what is a fact, for me. What is a fact, not according to some philosophers and religious teachers and priests, a fact – I suffer, I have fear, I have sexual demands. How am I to deal with all these tremendously complex things which make my life, and I am so utterly miserable, unhappy. From there I start, not from what somebody said, that means nothing. You follow, sir? I am not belittling, forgive me, the Buddha, I wouldn’t. K:Begini, saya hanya memulai dengan apa yang merupakan fakta, bagi saya. Fakta itu apa, tidak menurut filsuf-filsuf tertentu dan guru agama dan para imam, sebuah fakta - saya menderita, Saya mempunyai rasa takut, saya memiliki tuntutan seksual. Bagaimana saya harus berurusan dengan semua hal yang sangat rumit ini, yang membentuk hidup saya, dan saya benar-benar sangat sedih, tidak bahagia. Dari situlah saya mulai, bukan dari apa yang dikatakan orang, itu tidak ada artinya. Anda mengikuti, Tuan? Saya tidak meremehkan, maafkan saya, Sang Buddha, saya tidak akan.
29:35 WR: That I know, I know you have the highest respect for the Buddha. That I know. But we have the same attitude and I want to examine it with you. That is why I put the question. Not as a theory.

K: No, sir, not quite, sir, forgive me for saying so, not quite. I start with something which is common to all of us. Right? Not according to the Buddha, not according to some Christian god, or Hindu or some group – to me all that is totally irrelevant, they have no place because I suffer, I want to find out how to end it or must I carry on for the rest of my life – this agony, this brutality, this sexual perversions, or sexual desires, you know, all the rest of it. Right, sir? So I see the root of all this confusion, uncertainty, insecurity, travail, effort, the root of this is the self, the ‘me’. Right, sir? Now is it possible to be free of the ‘me’ which produces all this chaos, both outwardly, politically, religiously, economically and all the rest of it, and also inwardly, this constant struggle, constant battle, constant effort? Right? So I am asking: can thought end? So thought has no future – that which ends then has a totally different beginning, not the beginning of the ‘me’, ending and picking up again later. Right, sir? In what manner can that thought end? That’s the problem. The Buddha must have talked about it. Right, sir? I don’t think Christianity, as far as I know, has touched this point. They said, give yourself to God, Christ, abandon yourself to him. But the self goes on. They haven’t gone into this at all, only the Hindus and the Buddhists have done, and perhaps some others. So can this thought end? Then the priest comes along and says, yes it can end, only identify yourself with Christ, with the Buddha. You follow? Identify, forget yourself.
WR:Itu saya tahu, saya tahu... Anda mempunyai rasa hormat tertinggi kepada Buddha. Itu saya tahu. Tapi kita memiliki sikap yang sama... dan saya ingin memeriksanya bersama Anda. Itu sebabnya saya mengajukan pertanyaan. Bukan sebagai teori.

K: Tidak, Tuan, tidak tepat, Tuan, maafkan saya karena mengatakannya tidak tepat. Saya mulai dengan sesuatu yang umum bagi kita semua. Benar? Tidak menurut Sang Buddha, tidak menurut tuhan Kristen tertentu atau Hindu atau kelompok tertentu... - bagi saya semua itu sama sekali tidak relevan, mereka tidak punya tempat karena saya menderita, saya ingin mencari tahu bagaimana mengakhirinya... atau haruskah saya teruskan selama sisa hidup saya... - penderitaan ini, kebrutalan ini, penyimpangan seksual ini atau keinginan seksual, Anda tahu, semua lainnya. Benar, Tuan? Jadi saya melihat akar dari semua kebingungan ini, ketidakpastian, ketidakamanan, kerja keras, usaha, akar dari ini adalah si diri, si 'aku'. Benar, Tuan? Sekarang mungkinkah untuk bebas dari si 'aku'... yang menghasilkan semua kekacauan ini, baik secara lahiriah, secara politis, secara religius, secara ekonomi dan semua lainnya itu, dan juga batiniah, perjuangan konstan, pertempuran konstan, upaya konstan ini? Benar? Jadi saya bertanya: dapatkah pikiran berakhir? Jadi pikiran tidak memiliki masa depan... - apa yang berakhir... kemudian memiliki awal yang sama sekali berbeda, bukan awal dari si 'aku', mengakhiri dan nantinya memulai lagi. Benar, Tuan? Dengan cara apa pikiran itu bisa berakhir? Itulah masalahnya. Sang Buddha pasti telah membicarakannya. Benar, Tuan? Saya tidak berpikir tentang Kristen, sejauh yang saya tahu, telah menyentuh poin ini. Mereka berkata, berikan dirimu kepada Tuhan, Kristus, serahkan dirimu padanya. Tetapi si diri terus berjalan. Mereka sama sekali belum mendalami ini, hanya orang Hindu dan Budhis yang melakukannya, dan mungkin beberapa yang lain. Jadi bisakah pikiran ini berakhir? Kemudian imam datang dan berkata, ya itu bisa berakhir, hanya identifikasikan diri Anda dengan Kristus, dengan Sang Buddha. Anda mengikuti? Identifikasikan, lupakan diri Anda.
33:11 WR: That is the Christian attitude. WR:Itu adalah sikap Kristen.
33:13 K: Christian, also part of the Hindu. K:Kristen, juga suatu bagian dari Hindu.
33:17 WR: But not Buddhism. I must defend it. WR:Tapi bukan Buddhisme. Saya harus mempertahankannya.
33:21 K: I know. Yes, sir.

GN: I believe, a great deal of Buddhist thought also has degenerated into this.
K: Saya tahu. Ya Tuan.

GN: Saya percaya, banyak pemikiran Buddhis juga telah merosot ke dalam ini.
33:28 WR: Yes, yes, of course, degenerated, that is, certain schools of thought, but I mean to say according to the Buddha’s teaching. WR:Ya, ya, tentu saja, merosot, yaitu, mazhab tertentu, tetapi saya bermaksud mengatakan sesuai dengan ajaran Buddha.
33:38 K: Ah, no, you see... K: Ah, tidak, Anda tahu...
33:40 IS: Shall we best say it is human nature to lean on something, and this is what automatically happens and this is what we are trying to get away from. IS:Apakah sebaiknya kita katakan, adalah sifat manusia untuk bersandar pada sesuatu, dan inilah yang secara otomatis terjadi... dan inilah yang kita coba untuk hindari.
33:56 K: So here I am, an ordinary human being, fairly educated, not according to schools, colleges, fairly educated, has observed what the world is going through and he says, ‘I am the world, I am not different from the world, because I suffer, I have created this monstrous world, my parents, my grandparents, everybody’s parents, have created this’. Right, sir? So how is it possible for thought to end? Some people say, yes, which is to meditate, control, suppress. K: Jadi inilah saya, manusia biasa, cukup berpendidikan, tidak menurut sekolah, perguruan tinggi, cukup berpendidikan, telah mengamati apa yang sedang dilalui dunia... dan dia berkata, ‘Saya adalah dunia, saya tidak berbeda dari dunia, karena saya menderita, saya telah ciptakan dunia yang mengerikan ini, orang tua saya, kakek nenek saya, orang tua semua orang telah menciptakan ini ’. Benar, Tuan? Jadi bagaimana mungkin pikiran berakhir? Orang-orang tertentu berkata, ya, yang adalah agar bermeditasi, mengendalikan, tundukkan.
34:46 IS: No, no.

K: Wait. I said some people, madam.

IS: I beg your pardon.
IS: Tidak, tidak.

K: Tunggu. Saya mengatakan orang-orang ter- tentu, Nyonya.

IS: Saya mohon maaf.
34:52 K: Some people have said, suppress it, identify the self with the highest which is still the movement of thought. Some people have said, burn out all the senses. Right, sir? They have done it, fast, do everything for this thing. So somebody comes along like me and says, effort is the very essence of the self. Right? Do we understand that? Or has it become an idea, and we carry that idea out? You understand what I am talking about? I don’t know if I am making myself clear. That is... K:Orang-orang tertentu mengatakan, tundukkan, identifikasikan diri dengan yang tertinggi, yang adalah, masih tetap merupakan gerak pikiran. Orang-orang tertentu berkata, padamkan semua indera. Benar, Tuan? Mereka telah melakukannya, berpuasa, lakukan segalanya untuk hal ini. Jadi seseorang datang, seperti saya, dan berkata, usaha adalah esensi dari diri. Betul? Apakah kita paham itu? Atau sudahkah itu menjadi ide dan kita melaksanakannya? Anda paham apa yang saya bicarakan? Saya tidak tahu apakah saya membuat diri saya jelas. Itu adalah...
36:00 GN: If you say effort is the very essence of the self, is there again a preparation, an initial training... GN: Jika Anda mengatakan upaya adalah esensi dari diri, apakah ada persiapan lagi, pelatihan awal...
36:22 K: No, no.

GN:...to come to that situation? Or does one come to it effortlessly?
K: Tidak, tidak.

GN:...untuk datang ke situasi itu? Atau apakah seseorang datang ke itu tanpa upaya?
36:32 IS: If I have understood you, and please correct me if not, you mean that the very effort that I make to come to it, that in itself is already contributing to my delusion. IS:Jika saya mengerti Anda dan mohon koreksi saya jika tidak, Anda maksudkan, justru upaya yang saya lakukan untuk datang ke itu, itu sendiri sudah berkontribusi pada khayalan saya.
36:47 K: To the maker of the effort, who has already identified with something greater, and is making an effort to reach it. It is still the movement of thought. K:Bagi si pembuat upaya, yang sudah mengidentifikasikan diri dengan sesuatu yang lebih besar, dan berusaha untuk mencapainya. Itu masih merupakan gerak pikiran.
37:02 IS: And it is still a bargaining – if I do this, or give this up, then I will get that. IS: Dan itu masih merupakan suatu tawar-menawar... - jika saya melakukan ini, atau melepas ini, maka saya akan mendapatkan itu.
37:11 K: So how do you, if I may ask, listen – listen? How do you listen? K: Jadi, bagaimana Anda, jika saya boleh tanya, mendengar - mendengar? Bagaimana Anda mendengar?
37:21 IS: Listen. IS: Mendengar.
37:27 K: A person like me says, effort of any kind only strengthens the self. Now how do you receive that statement? K: Seseorang seperti saya berkata, upaya apa pun bentuknya, hanya memperkuat diri. Sekarang bagaimana Anda menerima pernyataan itu?
37:43 IS: I am entirely in agreement. IS: Saya sepenuhnya setuju.
37:45 K: No, not agreement, or disagreement, oh, God! How do you listen to it? K: Tidak, bukan setuju atau tidak setuju, astaga! Bagaimana Anda mendengarnya?
37:56 IS: Let it impinge.

K: No, no. David Bohm: Do we listen in the same way we have made identifications, that is, in general we listen through the past, through our previous ideas, through what we know?
IS: Biarkan itu menerpa.

K: Tidak, tidak. David Bohm:Apakah kita mendengar dengan cara yang sama... seperti kita membuat identifikasi, yaitu, secara umum kita mendengar melalui masa lalu, melalui ide-ide kita sebelumnya, melalui apa yang kita ketahui?
38:23 IS: That must be.

DB: But is that right?
IS: Itu pasti.

DB: Tapi benarkah itu?
38:29 IS: If one can open up and just listen. IS:Jika seseorang bisa membuka diri dan hanya mendengarkan.
38:34 K: Ah, no, no, no. When you eat, you are eating because you are hungry. The stomach receives the food, there is no idea of receiving the food. So can you listen – listen – without the idea of receiving, or accepting, or denying, or arguing, just listen to a statement? It may be false, it may be true, but just listen to it. Can you do it? K:Ah, tidak, tidak, tidak. Ketika Anda makan, Anda makan karena Anda lapar. Perut menerima makanan, tidak ada ide dari menerima makanan. Jadi bisakah Anda mendengarkan - dengarkan - tanpa ide dari penenerimaan, atau menyetujui atau menyangkal, atau berdebat, sekedar mendengar saja sebuah pernyataan? Ini mungkin palsu, mungkin benar, tetapi hanya mendengar saja. Dapatkah Anda melakukannya?
39:28 IS: I would say yes. IS: Saya akan mengatakan ya.
39:34 K: Then, if you so listen, what takes place? K:Lalu, jika Anda mendengar seperti itu, apa yang terjadi?
39:43 IS: Nothing.

K: No, madam, don’t say immediately, ‘nothing’. What takes place? I listen to a statement that thought is the root of the self. After carefully explaining, the mood of thought which identifies itself with the form, with the name, with this and that and the other thing. So after explaining very carefully, it is said that thought is the very root of the self. Now how do you receive, listen to the truth of that fact that thought is the root of the self? Is it an idea, a conclusion, or it is an absolute, irrevocable fact?
IS: Tidak terjadi apa-apa.

K: Tidak, Nyonya, jangan langsung berkata, 'tidak ter- jadi apa-apa'. Apa yang terjadi? Saya mendengarkan sebuah pernyataan, pikiran itu adalah akar dari diri. Setelah menjelaskan dengan hati-hati, modus pikiran yang mengidentifikasikan dirinya... dengan bentuk, dengan nama, dengan ini dan itu dan yang lainnya. Jadi setelah menjelaskan dengan sangat hati-hati, dikatakan bahwa pikiran adalah akar dari diri. Sekarang bagaimana Anda menerima, mendengar kebenaran dari fakta itu, bahwa pikiran itu adalah akar dari diri? Apakah ini suatu ide, suatu kesimpulan, atau itu adalah suatu fakta mutlak yang tidak dapat dibatalkan?
40:55 WR: If you ask me, it is a fact. I listen to it, receive it. I see it. WR:Jika Anda bertanya kepada saya, itu adalah fakta. Saya mendengarkannya, menerimanya. Saya melihatnya.
41:05 K: Are you listening as a Buddhist – forgive me for putting it that way? K:Apakah Anda mendengarkan sebagai seorang Buddhis... - maafkan saya karena mengatakannya seperti itu?
41:10 WR: I don’t know.

K: No, you must know.
WR: Saya tidak tahu.

K: Tidak, Anda harus tahu.
41:12 WR: I am not identifying anything at all. I am not listening to you as a Buddhist or a non-Buddhist. WR: Saya sama sekali tidak mengidentifikasi apa pun. Saya tidak mendengarkan Anda sebagai seorang Buddhis atau non-Buddhis.
41:17 K: I am asking you, sir, are you listening as a Buddhist – just a minute – are you listening as a person who has read a great deal about the Buddha, and what the Buddha has said and so comparing – just a minute, just a minute – and so you have gone away from listening. Right? So are you listening – I am not being personal, sir, forgive me. K: Saya bertanya, Tuan, apakah Anda mendengarkan sebagai seorang Buddhis - sebentar - apakah Anda mendengarkan sebagai seorang pribadi... yang telah banyak membaca tentang Buddha, dan apa yang Buddha katakan dan dengan demikian membandingkan... - sebentar, sebentar - dan dengan demikian Anda telah pergi dari mendengar. Betul? Jadi, apakah Anda mendengar... - saya tidak menjadi personal, Tuan, maafkan saya.
41:50 WR: Yes, yes.

K: Are you listening?
WR: Ya, ya.

K: Apakah Anda mendengarkan?
41:52 WR: Oh, you can be quite free with me – I won’t misunderstand you and you won’t misunderstand me. I have no fear about it.

K: No, no. I don’t mind your misunderstanding me at all. I can correct it.

WR: Yes.
WR: Oh, Anda bisa amat bebas terhadap saya... - saya tak akan salah pahami Anda dan Anda tak akan salah pahami saya. Saya tidak takut tentang itu.

K: Tidak, tidak. Saya sama sekali tidak keberatan Anda salah pahami saya. Saya bisa memperbaikinya.

WR: Ya.
42:10 K: Are you listening to the idea, to the words and the implications of those words, or are you listening without any sense of verbal comprehension, which you have gone through quickly, and you say, yes, I see the absolute truth of that? K: Apakah Anda mendengarkan ide, kata-kata... dan implikasi dari kata-kata itu, atau apakah Anda mendengar tanpa suatu rasa pemahaman verbal apa pun, yang telah Anda lalui dengan cepat, dan Anda berkata, ya, saya melihat kebenaran absolut dari itu?
42:45 WR: That is what I said. WR: Itulah yang saya katakan.
42:47 K: Do you?

WR: Yes.
K: Apakah Anda?

WR: Ya.
42:48 K: No, sir. Then it is finished. It is like seeing something tremendously dangerous, it is over, you don’t touch it. I wonder if you see it. K: Tidak, Tuan. Kemudian selesailah sudah. Ini seperti melihat sesuatu yang sangat berbahaya, ini sudah berakhir, Anda tidak menyentuhnya. Saya berpikir, apakah Anda melihatnya.
43:09 IS: Why not touch it? IS:Mengapa tidak menyentuhnya?
43:11 DB: It seems to me that there is a tendency to listen through the word as you say, and that word identifies and that identification still goes on while one thinks one is listening. This is the problem. It is very subtle. DB: Menurut saya ada kecenderungan... untuk mendengarkan melalui kata- kata, seperti yang Anda sampaikan, dan kata itu mengidentifikasi... dan identifikasi itu masih berlangsung, sementara orang itu berpikir dia mendengarkan. Ini masalahnya. Sangat halus.
43:32 WR: Yes, in other words, it is listening, you use the word in seeing, in that sense.

K: No. Sir, I listen. When you say something to me, what the Buddha has said, I listen. I say, he is just quoting from what Buddha has said, but he is not saying something I want to know. He is telling me about the Buddha, but I want to know what you think, not what Buddha thought, because then we are establishing a relationship between you and me, and not between you, Buddha and me? I wonder if you see that.
WR: Ya, dengan kata lain, ini adalah mendengarkan, Anda menggunakan kata itu dalam melihat, dalam pengertian itu.

K: Tidak. Tuan, saya mendengar. Ketika Anda mengatakan sesuatu kepada saya, apa yang telah dikatakan Sang Buddha, saya mendengar. Saya katakan, dia hanya mengutip dari apa yang dikatakan Buddha, tetapi dia tidak mengatakan sesuatu yang ingin saya ketahui. Dia memberi tahu saya tentang Buddha, tetapi saya ingin tahu apa yang Anda pikirkan, bukan apa yang dipikirkan Buddha, karena dengan begitu kita menjalin hubungan antara Anda dan saya, dan bukan di antara Anda, Buddha dan saya? Saya berpikir, apakah Anda melihatnya.
44:18 WR: That also means you were listening to the general thought. WR:Itu juga berarti Anda mendengar pemikiran umum.
44:24 K: I was listening to what you were saying about Buddha. I was just listening. I don’t know. You are quoting, probably what you are quoting was perfectly so, you are quoting probably correctly and so on, but you are not revealing yourself to me and I am revealing myself to you. Therefore we have a relationship through the Buddha, not direct relationship. I wonder if you... I love my dog and you like that dog too, but you like that dog and our relationship is based on that dog. I don’t know if I am making myself clear. I am not comparing Buddha to the dog! K:Saya mendengar apa yang Anda katakan tentang Buddha. Saya hanya mendengar. Saya tidak tahu. Anda mengutip, mungkin apa yang Anda kutip adalah sempurna, Anda mengutip mungkin dengan benar dan seterusnya, tetapi Anda tidak mengungkapkan diri kepada saya... dan saya mengungkapkan diri kepada Anda. Karena itu kita memiliki hubungan melalui Sang Buddha, bukan hubungan langsung. Saya pikir apakah Anda... Saya sayang anjing saya dan Anda sayang anjing itu juga, tapi Anda sayang anjing itu... dan hubungan kita didasarkan pada anjing itu. Saya tidak tahu apakah saya membuat diri saya jelas. Saya tidak membandingkan Buddha dengan anjing!
45:29 IS: May I try to say what you are trying – not trying – what you are looking for is our personal experiential response to your statement. IS: Boleh saya coba... untuk mengatakan apa yang Anda coba - tidak mencoba - apa yang Anda cari adalah... tanggapan pengalaman pribadi kami terhadap pernyataan Anda.
45:47 K: No, your personal experience is also the experience of everybody else, it is not personal. K: Tidak, pengalaman pribadi Anda... adalah juga pengalaman semua orang lain, ini bukan pribadi.
45:57 IS: Though it is individually rendered, because... IS: Meskipun ini disampaikan secara individual, karena...
46:00 K: It is not even if you and I suffer, it is suffering, not my suffering and your suffering. But when there is identification with suffering then it’s my suffering. And I say, I must be free of it. But as human beings in the world we suffer. We are going off somewhere else. K:Ini bahkan bukan jika Anda dan saya menderita, itu adalah penderitaan, bukan penderitaan saya dan penderitaan Anda. Tetapi ketika ada identifikasi dengan penderitaan, maka itu adalah penderitaan saya. Dan saya katakan, saya harus bebas dari itu. Tetapi sebagai manusia di dunia kita menderita. Kita sedang menyimpang ke tempat lain.
46:34 DB: It seems to me this question of identification is the main one, it is very subtle, in spite of all that you have said, identification still goes on. DB:Menurut saya persoalan identifikasi ini adalah yang utama, itu sangat halus, terlepas dari semua yang Anda katakan identifikasi masih berjalan.
46:43 K: Of course. K: Tentu saja.
46:46 DB: It seems to be built into us. DB: Tampaknya dibangun ke dalam diri kita.
46:52 IS: And this raises a question whether that identification can be ended if I understood rightly. IS: Dan ini menimbulkan pertanyaan... apakah identifikasi itu dapat diakhiri, jika saya mengerti dengan benar.
47:03 DB: Identification prevented listening freely, openly because one listens through the identification. DB: Identifikasi mencegah mendengar dengan bebas, secara terbuka, karena seseorang mendengarkan melalui identifikasi.
47:12 K: What does identification mean? Why do human beings identify themselves with something – my car, my house, my wife, my children, my country, my god. You follow? Why? K: Apa arti identifikasi? Mengapa manusia mengidentifikasi diri mereka dengan sesuatu... - mobil saya, rumah saya, istri saya... anak-anak saya, negara saya, tuhan saya Anda ikuti? Mengapa?
47:31 IS: To be something, perhaps.

K: Let’s enquire why. Not only identify with outward things, but also inwardly identify with my experience, identify with experience and say, this is my experience. Why do human beings go through this all the time?
IS:Untuk menjadi sesuatu, mungkin.

K: Mari kita selidiki mengapa. Tidak hanya mengidentifikasi dengan hal-hal lahiriah, tetapi juga secara batiniah mengi- dentifikasi dengan pengalaman saya, identifikasi dengan pengalaman dan mengatakan, ini pengalaman saya. Mengapa manusia melalui ini sepanjang waktu?
48:02 DB: At one stage you said we identify with our sensations, for example, our senses, and this seems very powerful. What would it be not to identify with our sensations? DB:Pada satu tahap Anda berkata, kita mengidentifikasi dengan sensasi kita, misalnya, indera kita, dan ini tampaknya sangat kuat. Apa jadinya jika tidak meng- identifikasi dengan sensasi kita?
48:19 K: Yes. So when one listens, am I listening to identify myself with that fact about which he is talking or there is no identification at all and therefore I am capable of listening with a totally different ear? Am I hearing with the ears of my hearing, or am I hearing with total attention? You understand, sir? Am I listening with total attention? Or, my mind is wandering off and says, ‘Oh my goodness, this is rather boring and what is she talking about?’ or he – and so I am off. But can I attend so completely that there is only the act of listening and nothing else, no identification, no saying, yes, that is a good idea, bad idea, that’s true, that’s false, which are all processes of identification, but without any of those movements can I listen? When I do so listen, then what? The truth that thought is the essence of the self and the self creates all this misery, it’s finished. I don’t have to meditate, I don’t have to go practise, it is over when I see the danger of this thing. So can we listen so completely that there is the absence of the self? And he says, can I see, observe something without the self, which is my country, I love that sky, it is a beautiful sky and all the rest of that. So please. So the ending of thought, which is the ending or cutting at the very, very root of the self – a bad simile, but take that – when there is such active, attentive, non-identifying attention then does the self exist? I need a suit, why should there be identification in getting a suit? I get it, there is getting it. So the active listening implies listening to the senses. Right, sir? To my taste, the whole sensory movement. I mean, you can’t stop the senses, then you would be paralysed. But the moment I say, ‘That’s a marvellous taste, I must have more of that’, begins the whole identification. K: Ya. Jadi ketika seseorang mendengarkan, apakah saya mendengarkan... untuk mengidentifikasi diri saya dengan fakta itu... yang sedang dia bicarakan... atau tidak ada identifikasi sama sekali... dan karena itu saya mampu mendengar... dengan telinga yang sama sekali berbeda? Apakah saya mendengar dengan telinga pendengaran saya, atau apakah saya mendengar... dengan perhatian penuh? Anda paham, Tuan? Apakah saya mendengar dengan penuh perhatian? Atau, pikiran saya mengembara dan berkata, ‘Ya ampun, ini agak membosankan dan apa yang dia bicarakan?' - jadi saya menjauh. Tetapi bisakah saya hadir sepenuhnya, sehingga hanya ada tindakan mendengar... dan tidak ada yang lain, tidak ada identifikasi, tidak mengatakan, ya, itu ide bagus, ide buruk, itu benar, itu palsu, yang semuanya adalah proses identifikasi, tetapi tanpa gerakan-gerakan itu, bisakah saya mendengarkan? Ketika saya mendengar seperti itu, lalu apa? Kebenaran bahwa pikiran adalah esensi dari diri... dan si diri menciptakan semua kesengsaraan ini, selesailah sudah. Saya tidak harus bermeditasi, saya tidak harus berlatih, itu berakhir ketika saya melihat bahaya dari hal ini. Jadi, bisakah kita mendengar demikian penuhnya, sehingga ada ketidak-hadiran diri? Dan dia berkata, dapatkah saya me- lihat, mengamati sesuatu tanpa diri, yang merupakan negara saya, saya suka langit itu, itu adalah langit yang indah dan semua lainnya itu. Jadi tolong. Jadi pengakhiran dari pikiran, yang merupakan pengakhiran atau pemu- tusan pada kedalaman akar dari diri, - perumpamaan yang buruk, tetapi ambil itu - ketika ada yang begitu aktif, penuh perhatian, perhatian yang tidak mengidentifikasi, lalu apakah diri itu ada? Saya butuh jas, mengapa harus ada identifikasi dalam mendapatkan jas? Saya paham, pemahaman itu ada. Jadi mendengar secara aktif menyiratkan mendengarkan indera. Benar, Tuan? Kepada selera saya, seluruh gerakan sensorik. Maksud saya, Anda tidak bisa menghen- tikan indera, maka Anda akan lumpuh. Tetapi begitu saya mengatakan 'Itu adalah rasa yang luar biasa, saya harus memiliki lebih banyak dari itu', memulailah seluruh identifikasi.
53:09 DB: It seems to me that that is the general condition of mankind to be identifying with the senses.

K: Of course.
DB: Menurut saya, bahwa itu adalah kondisi umum umat manusia... untuk mengidentifikasi dengan indera.

K: Tentu saja.
53:16 DB: Now how are we going to change that? DB: Sekarang, bagaimana kita akan mengubahnya?
53:18 K: That is the whole problem, sir. Mankind has been educated, conditioned for millennia to identify itself with everything – my guru, my house, my god, my country, my king, my queen and all that horrible business that goes on. K: Itulah seluruh masalahnya, Tuan. Manusia telah dididik, dikondisikan selama ribuan tahun... untuk mengidentifikasi diri dengan segalanya, - guru saya, rumah saya, tuhan saya, negara saya, raja saya, ratu saya... dan semua bisnis mengerikan itu yang berlangsung.
53:47 DB: You see with each one of those there is a sensation. DB:Anda melihat masing-masing dari semua itu ada suatu sensasi.
53:51 K: It is a sensation, which you call experience. Sorry, we... K: Ini adalah suatu sensasi, yang Anda sebut pengalaman. Maaf, kami...
54:08 WR: So we should come to our point.

K: Yes, which is...
WR:Jadi kita harus sampai pada poin kita.

K: Ya, yang mana...
54:13 WR: The one that we began. WR:Dengan yang kita mulai.
54:23 K: When the self ends – it can end, obviously – it is only the most ignorant and most highly burdened people with knowledge, and identifying themselves with knowledge who say, ‘Will I be?’ and all that. When there is the ending of the self, what takes place? Not at the end of my life, not when the brain becomes... or is deteriorating, when the brain is very, very active, quiet, alive, what then takes place, when the self is not? Now, how can you find out, sir? Say, X has ended the self completely, not picks it up in the future, another day, but ends it completely, he says, yes, there is a totally different activity which is not the self. What good is that to me, or to any of us? He says, yes, it can end; it is a different world altogether, different dimension, not a sensory dimension, not an intellectually projected dimension, something totally different. I say he must be either a cuckoo, a charlatan, or a hypocrite, it doesn’t make... but I want to find out, not because he says so, but I want to find out. Can I, as a human being, living in this tremendously ugly, brutal, violent world, economically, socially, morally, and all the rest of it, live without the self? I want to find out. And I want to find out not as an idea, I want to do it, it’s my passion. Then I begin to enquire, why is there identification with the form, with the name – it’s not so important whether you are K or W or Y. So you examine this very carefully not to identify yourself with anything, with sensation, with ideas, with a country, with an experience. You understand, sir? Can you do it? Not vaguely and occasionally but something you have got to do, with passion, with intensity, to find out. That means I must put everything in its right place. Right? Because I have to live, I have to have food, I don’t have to identify myself with this or that food, I eat the correct food, and it’s finished, therefore it has its right place. But there are all the bodily demands, sex, put it in its right place. Who will tell me to put it in the right place? You understand, sir? My guru, the pope, any scripture? If they do, I identify myself with them because they are giving me help to put things in the right place, which is sheer nonsense. Right, sir? The pope can’t tell me: sex has its right place, and he says, don’t divorce, marry, your marriage is with god – all that. And I am stuck. Why should I obey the pope, or the guru, or scriptures, or the politicians? So I have to find out what is the right place for sex, or money. Right, sir? What is the right place? How shall I find out what is the right place for sex, which is one of the most powerful, urgent physical demand, which the religious people say, cut, destroy it. Right, sir? Suppress it, take a vow against it and all the rest of it. I say, sorry, that doesn’t mean a thing to me. So I want to find out what is its right place. How shall I find out? I have got the key to it. Right? Which is, non-identification with sensation, that is the key of it. Right, sir? So non-identification with sensation which is translated in modern experience – I must experience sex. Right? So that is, identification with sensation makes the self. So is it possible not to identify with sensations? Yes, sensations, I am hungry, but sex is a little more powerful. So I have got the key to it, you understand? The truth of it. Right, sirs? So, yes, I feel sexual, all right. Non-identification, that is the truth of it. If I really see the truth of it, then sex, money, everything has its right place. K: Ketika diri berakhir... - itu bisa berakhir, jelas - itu hanya pada orang-orang yang paling bodoh... dan orang-orang yang sangat terbebani dengan pengetahuan, dan mengidentifikasi diri mereka dengan pengetahuan, yang bilang "Akankah saya menjadi?" dan semua itu. Ketika ada akhir dari diri, apa yang terjadi? Bukan di akhir hidup saya, tidak ketika otak menjadi... atau sedang mundur, ketika otak sangat sangat aktif, tenang, hidup, lalu apa yang terjadi ketika diri tiada? Sekarang, bagaimana Anda bisa temukan, Tuan? Katakanlah, X telah mengakhiri diri sepenuhnya, tidak memungutnya di hari kemudian, di hari lain, tetapi mengakhirinya sepenuhnya, dia berkata, ya, ada kegiatan yang sama sekali berbeda... yang bukan diri. Apa gunanya itu bagi saya atau siapa pun di antara kita? Dia berkata, ya, itu bisa berakhir; itu adalah dunia yang berbeda sama sekali, dimensi yang berbeda, bukan suatu dimensi sensorik, bukan dimensi yang diproyeksikan secara intelektual, sesuatu yang sama sekali berbeda. Saya katakan dia pasti orang gila, penipu, atau munafik, itu tidak membuat... tapi saya ingin mencari tahu, bukan karena dia mengatakannya demi- kian, tetapi saya ingin mencari tahu. Bisakah saya, sebagai manusia, hidup di dunia yang sangat jelek, kejam dan keras ini, secara ekonomi, sosial, moral dan semua lainnya., hidup tanpa diri? Saya ingin mencari tahu. Dan saya ingin mencari tahu bukan sebagai ide, Saya ingin melakukannya, itu adalah gairah saya. Lalu saya mulai menyelidiki, mengapa ada identifikasi dengan bentuk, dengan nama, - tidak begitu penting apakah Anda K atau W atau Y. Jadi Anda memeriksa ini dengan sangat hati-hati, tidak untuk mengidentifikasi diri Anda dengan apa pun, dengan sensasi, dengan ide-ide, dengan negara, dengan pengalaman. Anda paham, Tuan? Dapatkah Anda melakukannya? Tidak samar-samar dan sesekali, te- tapi sesuatu yang harus Anda lakukan, dengan gairah, dengan intensitas, untuk mencari tahu. Itu berarti saya harus meletakkan semuanya di tempat yang benar. Betul? Karena saya harus hidup, saya harus punya makanan, saya tidak perlu mengidentifikasi di- ri saya dengan makanan ini atau itu, saya makan makanan yang benar dan selesailah sudah, karena itu ia memiliki tempat yang tepat. Tapi ada semua tuntutan tubuh, seks, letakkan itu di tempat yang benar. Siapa akan memberitahu saya untuk meletakkannya di tempat yang tepat? Anda paham, Tuan? Guru saya, paus, ada tulisan suci? Jika mereka melakukannya, saya mengidentifikasi diri saya dengan mereka... karena mereka memberi saya bantuan... untuk meletakkan barang-barang di tempat yang tepat, yang adalah omong kosong belaka. Benar, Tuan? Paus tidak dapat memberi tahu saya: seks memiliki tempat yang tepat, dan dia berkata, jangan bercerai, menikahlah, pernikahan Anda adalah dengan tuhan - semua itu. Dan saya mandek. Mengapa saya harus mematuhi paus, atau guru, atau tulisan suci atau politisi? Jadi saya harus mencari tahu... apa tempat yang tepat untuk seks atau uang. Benar, Tuan? Apa tempatnya yang tepat? Bagaimana saya mencari tahu tempat yang tepat untuk seks, yang merupakan salah satu tuntutan fisik mendesak yang paling kuat, yang orang-orang religius katakan, putuskan, hancurkan. Benar, Tuan? Tekan itu, ambil sumpah untuk melawannya dan semua lainnya. Saya katakan, maaf, itu tidak berarti apa-apa bagi saya. Jadi saya ingin mencari tahu, tempat apa yang tepat baginya. Bagaimanakah saya mencari tahu? Saya punya kunci untuk itu. Benar? Yakni, non-identifikasi dengan sensasi, itulah kuncinya. Benar, Tuan? Jadi non-identifikasi dengan sensasi yang diterjemahkan dalam pengalaman modern... - saya harus mengalami seks. Benar? Jadi itu adalah, identifikasi dengan sensasi membuat si diri. Jadi mungkinkah untuk tidak mengidentifikasi dengan sensasi? Ya, sensasi, saya lapar, tetapi seks sedikit lebih kuat. Jadi saya punya kunci untuk itu, Anda paham? Kebenarannya. Benar, Tuan? Jadi, ya, saya merasa seksual, baik. Non-identifikasi, itulah kebenarannya. Jika saya benar-benar melihat kebenarannya, maka seks, uang, semuanya memiliki tempat yang tepat.
1:03:08 WR: In other words, may I say that you can see, you must see or you see without the self.

K: Ah, no, no, no.
WR: Dengan kata lain, bolehkah saya katakan, bahwa Anda dapat melihat, Anda harus melihat... atau Anda melihat tanpa diri.

K: Ah, bukan, bukan, bukan.
1:03:22 WR: Identification is self.

K: No, I said, there is the truth that identification with sensation, with this, with that, builds the structure of the self. Right? Is that an absolute, irrevocable, passionate, lasting truth? Or is it just an idea which I have accepted, yes, it’s true, and I can change that idea tomorrow? But this thing is irrevocable. One must have money – money gives me freedom, money gives you freedom to do what you like, freedom, sex, if you want it, money gives you a sense of travelling, power, position – you know, all the rest of it. So non-identification with money. You follow?
WR: Identifikasi itu adalah diri.

K:Bukan, saya berkata, ada kebenarannya, bahwa identifikasi dengan sensasi, dengan ini, dengan itu, membangun struktur diri. Benar? Apakah itu kebenaran yang absolut, tidak dapat dibatalkan, bergairah, menetap? Atau itu sekedar ide, yang telah saya terima, ya, itu benar, dan saya bisa merubah ide itu besok? Tetapi hal ini tidak dapat dibatalkan. Seseorang harus punya uang... - uang memberi saya kebebasan, uang memberi Anda kebebasan melaku- kan apa yang Anda suka, kebebasan, seks, jika Anda menginginkannya, uang memberi Anda suatu rasa kebebasan bergerak, kekuasaan, posisi, - Anda tahu, semuanya yang lain.. Jadi non-identifikasi dengan uang. Anda ikuti?
1:04:52 DB: And that means the end of desire for anything. DB:Dan itu berarti akhir dari keinginan untuk apa pun.
1:04:57 K: No, at the end desire has very little meaning. But it doesn’t mean I am a dead vegetable. K: Tidak, pada akhirnya keinginan memiliki arti yang sangat kecil. Tetapi itu tidak berarti saya adalah orang yang loyo.
1:05:14 DB: Are you saying identification gives desire excessive meaning? DB:Apakah Anda maksudkan, iden- tifikasi memberi pada keinginan... makna yang berlebihan?
1:05:18 K: Of course. So, having put everything in its right place – not ‘having put’ – I don’t put it, it happens because I have seen the truth of this thing, so everything falls in its right place. Right? No, I can’t tell you, I can’t say yes, right or wrong. K: Tentu saja. Jadi, setelah meletakkan semuanya, di tempat yang benar... - bukan 'setelah meletakkan' - saya tidak meletakkannya, itu terjadi karena saya telah melihat kebenaran dari hal ini, jadi semuanya jatuh di tempat yang tepat. Benar? Tidak, saya tidak bisa memberi tahu Anda, saya tidak bisa mengatakan ya, benar atau salah.
1:05:48 WR: No, no, I see what you say. WR:Tidak, tidak, saya paham apa yang Anda katakan.
1:05:53 K: Then what place has thought? You understand, sir?

WR: Yes.
K: Lalu apakah tempat yang dimiliki pikiran? Anda paham, Tuan?

WR: Ya.
1:06:04 K: What place has thought? Has it any place at all? Obviously, when I am talking, I am using words, the words are associated with memory and so on, so on, so there is thinking there – not with me, there is very little thinking as I am talking, don’t let’s go into that. So thought has a place. Right, sir? When I have to catch a train, when I have to go to the dentist, when I go to do something, thought has its place. And it has no place psychologically when there is the identifying process taking place. Right? I wonder if you... K: Apakah tempat yang dimiliki pikiran? Apakah dia benar punya tempat? Jelas, ketika saya berbicara saya menggunakan kata-kata, kata-kata berhubungan dengan memori dan sebagainya, seterusnya, jadi ada pikiran di sana - bukan dengan saya, ada sedikit pemikiran ketika saya berbicara, mari, jangan kita dalami hal ini. Jadi pikiran mempunyai tempat. Benar, Tuan? Ketika saya harus naik kereta api, ketika saya harus ke dokter gigi, ketika saya pergi untuk melakukan sesuatu, pikiran memiliki tempatnya. Dan pikiran tidak punya tempat secara psikologis, ketika ada proses identifikasi terjadi. Betul? Saya ingin tahu apakah Anda...
1:07:10 GN: Are you implying that because there is no thought the identifying process has lost its strength? GN:Apakah Anda menyiratkan, bahwa karena tidak ada pikiran... proses identifikasi telah kehilangan kekuatannya?
1:07:19 K: No, it hasn’t lost its strength. K: Tidak, ia tidak kehilangan kekuatannya.
1:07:22 GN: Or it doesn’t happen at all. GN: Atau itu tidak terjadi sama sekali.
1:07:24 K: No, we said just now that having the key, or living with the fact, living with the truth that identification brings about the structure and the nature of the self, which creates all the innumerable problems, seeing the truth, living that truth – living, it’s in my brain, in my throat, in my gullet, it’s part of my blood, seeing the truth of that, that truth is there. And so thought has its right place. I have put money, sex – not I. K:Tidak, baru saja kami katakan, bahwa memiliki kunci, atau hidup dengan fakta, hidup dengan kebenaran, identifikasi itu mewujudkan struktur dan sifat diri, yang menciptakan semua masalah yang tak terhitung banyaknya, melihat kebenaran itu, hidup dengan kebenaran itu... - hidup, itu ada di otak saya, di tenggorokan saya, di kerongkongan saya, itu bagian dari darah saya, melihat kebenaran dari itu, kebenaran itu ada di sana. Dan karenanya pikiran memiliki tempat yang tepat. Saya telah menaruh uang, seks - bukan saya.
1:08:31 GN: You are implying... GN: Anda menyiratkan...
1:08:36 IS: It falls into its place.

WR: Yes.
IS: Itu jatuh ke tempatnya.

WR: Ya.
1:08:42 K: No, sir. I want to go further into this. Go on. K:Tidak, Tuan. Saya ingin melangkah lebih jauh ke dalam ini. Lanjutkan.
1:08:46 GN: If the insight, the passion, the truth, is powerful... GN: Jika wawasan, gairah, kebenaran, adalah kuat...
1:08:50 K: No, you see, you are using the word ‘powerful’. K:Tidak, Anda lihat, Anda menggunakan kata 'kuat'.
1:08:54 GN: Yes, I am using it.

K: No, I say it is not powerful.
GN:Ya, saya menggunakannya.

K:Tidak, saya katakan itu tidak kuat.
1:08:58 GN: It has its own strength.

K: No, you can’t use those words.
GN: Ini memiliki kekuatan sendiri.

K:Tidak, Anda tidak dapat menggunakan kata-kata itu.
1:09:02 GN: Now, if it has no strength, thought asserts itself. GN:Sekarang, jika ia tidak memiliki kekuatan, pikiran memaksakan dirinya.
1:09:08 K: No, no, it is not strength. K:Bukan, Bukan, itu bukan kekuatan.
1:09:11 DB: You are saying, it is identification that makes thought do all the wrong things. DB:Anda mengatakan, itu adalah identifikasi... yang membuat pikiran melakukan semua hal yang salah.
1:09:16 K: That’s right. Identification has made thought do the wrong things. K:Itu benar. Identifikasi yang telah membuat pikiran melakukan hal-hal yang salah.
1:09:19 DB: It would be all right otherwise. DB:Akan baik-baik saja kalau tidak.
1:09:22 K: Otherwise thought has its place.

DB: It will be reasonable. But when you say no identification, you mean the self is empty, that it has no content, doesn’t it?
K: Kalau tidak, pikiran memiliki tempatnya.

DB:Pikiran akan bekerja dengan baik, masuk akal. Tetapi ketika Anda mengatakan tidak ada identifikasi, Anda maksudkan, diri adalah kosong, bahwa ia tidak memiliki muatan, bukan?
1:09:33 K: There are only sensations. K: Hanya ada sensasi.
1:09:36 DB: Sensations, but they are not identified. DB: Sensasi-sensasi, tetapi mereka tidak diidentifikasi.
1:09:38 K: Not identified. K: Tidak diidentifikasi.
1:09:39 GN: Through thought.

K: Not identified.
GN: Melalui pikiran.

K: Tidak diidentifikasi.
1:09:42 DB: They are just going on, do you mean? DB: Maksud Anda, mereka itu hanya sekedar berlangsung?
1:09:44 K: Yes, sensations are going on. K: Ya, sensasi sedang berlangsung.
1:09:45 DB: Outside or inside.

K: Inside.
DB: Di luar atau di dalam.

K: Di dalam.
1:09:52 GN: And you are also implying there is no slipping back. GN:Dan Anda juga menyiratkan tidak ada ketergelinciran kembali.
1:09:57 K: Of course not. When you see something most dangerous, you don’t slip back or go forward, it is dangerous. Sir, then is that death? That is the question we began with.

WR: Yes, yes, that’s right.
K: Tentu saja tidak. Ketika Anda melihat sesuatu yang paling berbahaya, Anda tidak mundur atau terus maju, itu berbahaya. Tuan, lalu apakah itu kematian? Itu adalah persoalan yang dengannya kita mulai.

WR:Ya, ya, itu benar.
1:10:25 K: Is that death? Death as we know it, that is the brain cells, etc., etc., die. Right? The body deteriorates, there is no oxygen and all the rest of it. I am not a... so it dies. Sensations die with it. Right? Now where am I? K: Apakah itu kematian? Kematian seperti yang kita ketahui, itu adalah sel-sel otak, dan seterusnya, mati. Benar? Tubuh makin mundur, tidak ada oksigen dan semuanya itu. Saya bukan sesuatu... jadi matilah dia Sensasi mati bersamanya. Betul? Sekarang di mana saya?
1:11:15 DB: Sensations, you say, die with the body. DB: Sensasi, Anda katakan, mati bersama tubuh.
1:11:18 K: With the body. K: Dengan tubuh.
1:11:19 DB: There is no sensation.

K: No sensation. Right?
DB: Tidak ada sensasi.

K: Tidak ada sensasi. Benar?
1:11:25 WR: Yes. WR: Ya.
1:11:29 K: Now is there a living with the sensation fully awakened – they are awakened, they are alive – but the non-identifying with sensation deprives, wipes away the self. We said that. Now what is death? Is it possible to live a daily life with death, which is the ending of the self? Isn’t it, sir?

WR: Yes.
K:Sekarang, apakah ada kehidupan dengan sensasi sepenuhnya terbangun, - mereka terbangun, mereka hidup - tetapi non-identifikasi dengan sensasi... mencabut, menyingkirkan si diri. Kami mengatakan itu. Sekarang apa kematian itu? Apakah mungkin untuk menjalani ke- hidupan sehari-hari dengan kematian, yang merupakan akhir dari diri? Bukan begitu, Tuan?

WR: Ya.
1:12:18 K: I am not questioning. Go on, somebody talk for a little while. K: Saya tidak bertanya. Teruskan, seseorang lanjutkan sebentar.
1:12:25 WR: I follow it. WR: Saya mengikutinya.
1:12:27 GN: Would you say, there is a great deal of talk about insight, insight meditation, vipassana, is insight a thing which endures and doesn’t slip back? Is insight that quality? GN:Apakah menurut Anda, ada banyak pembicaraan tentang wawasan, meditasi pandangan terang, vipassana, apakah wawasan adalah hal yang bertahan dan tidak hilang kembali? Apakah wawasan berkualitas demikian?
1:12:46 WR: Exactly what he is telling now is the insight meditation. What he is telling now is the insight meditation. WR:Persis apa yang dia sekarang kata- kan adalah meditasi pandangan terang. Apa yang dia katakan sekarang adalah meditasi pandangan terang.
1:12:59 GN: No, I am asking, does insight endure without reference to time? GN:Tidak, saya bertanya, apakah wa- wasan bertahan tanpa acuan ke waktu?
1:13:05 K: Don’t use the words ‘endure’, ‘last’. K: Jangan gunakan kata-kata 'bertahan', 'terakhir'.
1:13:10 GN: All insight is a momentary process. GN: Semua wawasan adalah proses sesaat.
1:13:12 K: The moment you have an insight, it is finished. K: Saat Anda memiliki wawasan, selesailah sudah.
1:13:14 GN: Finished, yes.

WR: Once you see it, finished.
GN:Selesai, ya.

WR:Begitu Anda melihatnya, selesai.
1:13:17 K: I have an insight into the whole nature of the self, finished. I have an insight.

WR: Exactly that is what he says.
K: Saya memiliki wawasan tentang seluruh sifat diri, selesai. Saya memiliki wawasan.

WR:Itulah tepatnya yang dia katakan.
1:13:24 GN: It is complete. GN: Sudah lengkap.
1:13:25 WR: In itself it is complete, and there is no coming back. WR:Di dalam dirinya sudah lengkap dan tidak ada jalan untuk kembali.
1:13:28 GN: No coming back, otherwise it is not insight. GN: Tidak akan kembali, kalau tidak itu bukan wawasan.
1:13:33 WR: You have seen it, and you know it and there is no slipping back, no coming back. WR: Anda sudah melihatnya, dan Anda tahu itu... dan tidak ada ketergelinciran balik, tidak akan kembali.
1:13:40 IS: Who has seen it? With those words we come always into trouble. IS: Siapa yang melihatnya? Dengan kata-kata itu kita selalu mendapat masalah.
1:13:44 WR: No, this is only the language. There is no see-er apart from seeing. WR: Tidak, ini hanya bahasa. Tidak ada yang-melihat terpisah dari melihat.
1:13:50 GN: There is no see-er apart from seeing. GN:Tidak ada yang-melihat terpisah dari melihat.
1:13:52 DB: Would you say the insight transforms the person? DB:Apakah Anda mengatakan wawasan mengubah orang tersebut?
1:13:56 K: That is what we were discussing the other day; the insight transforms not only the state of the mind, but the brain cells themselves undergo a change. K: Itulah yang kita diskusikan kemarin; wawasan tidak hanya mengubah keadaan pikiran, tetapi sel-sel otak itu sendiri mengalami perubahan.
1:14:05 WR: Absolutely. WR:Benar sekali.
1:14:07 DB: Therefore the brain cells, being in a different state, behave differently, it is not necessary to repeat the insight. DB: Karena itu sel-sel otak, berada di keadaan yang berbeda, berperilaku berbeda, tidak perlu mengulangi wawasan itu.
1:14:12 WR: The whole system changes with that. WR: Seluruh sistem berubah dengannya.
1:14:15 K: Be careful, sir, don’t... – either it is so, or it is not so. So I am left with this now: I am left with the question of what is death. Is the ending of the self death? Death in the ordinary, accepted sense of the word. It is not, obviously, because the blood is circulating, the brain is working...

WR: It is not in the medical sense.
K: Berhati-hatilah, Tuan, jangan... - bisa itu begitu, atau tidak begitu. Jadi ada sesuatu yang tertinggal pada saya sekarang: tertinggal pada saya pertanyaan tentang kematian itu apa. Apakah akhir dari diri, kematian? Kematian dalam arti kata yang umum diterima. Jelas bukan, karena darah beredar, otak bekerja...

WR:Ini tidak dalam pengertian medis.
1:14:54 K:...the heart is pumping, and all the rest of it. K:...jantung memompa dan lain-lainnya.
1:14:57 DB: It is still alive.

K: It is alive, but the self is non-existent because there is no identification of any kind. I know, sir, this is a tremendous thing. Non-identification with anything: with experience, belief, with a country, with ideas, ideals, wife, husband, love – no identification at all. Is that death? People who call that death say, my god, if I don’t identify myself with my something or other, why I am nothing. So they are afraid of being nothing. Then identify. But nothingness, which is not a thing – you understand, sir? – not a thing, therefore it is quite a different state of mind. Now, that is death. While there is living, sensations, the heart beating, the blood circulating, breathing, the brain active, undamaged, no, this is... undamaged, our brains are damaged.
DB: Masih hidup.

K: Masih hidup, tetapi si diri tidak ada, karena tidak ada identifikasi dalam bentuk apa pun. Saya tahu, Tuan, ini adalah hal yang luar biasa. Non-identifikasi dengan apa pun: dengan pengalaman, kepercayaan, suatu negara, dengan ide, cita-cita, istri, suami, cinta - tiada identifikasi sama sekali. Apakah itu kematian? Orang yang menyebut itu adalah kematian... berkata, Tuhan, jika saya tidak mengidentifikasi... diri saya dengan sesuatu atau lainnya, saya bukan apa-apa. Jadi mereka takut untuk tidak menjadi apa-apa. Lalu, lakukanlah identifikasi. Tapi ketiadaan, yang adalah bukan apa-apa, - Anda paham, Tuan? - bukan apa-apa, oleh karenanya, itu adalah keadaan batin yang sangat berbeda. Sekarang, itu adalah kematian. Sementara ada kehidupan, sensasi- sensasi, jantung berdetak, darah beredar, bernapas, otak aktif, tidak rusak, tidak, ini... tidak rusak, otak kita dalam keadaan rusak.
1:16:58 DB: Can this damage be healed? Is it possible to heal the damage? DB: Bisakah kerusakan ini disembuhkan? Apakah mungkin untuk menyembuhkan kerusakan itu?
1:17:02 K: Insight, that is what I want to get at. Our brains are damaged. For thousands of years we have been hurt, psychologically, inwardly, and that hurt is part of our brain cells, remembered hurts, the propaganda for 2000 years that I am a Christian, that I believe in Jesus Christ, which is a hurt; or I am a Buddhist – you follow, sir? – it’s a hurt. So our brains are damaged. To heal that damage is to listen very carefully, to listen, and in the listening to have an insight into what is being said, and therefore there is immediately a change in the brain cells. Therefore there is no identification, complete and total. And then is that love? You see, I question this, sir. There is a great talk about compassion, isn’t there, in the Buddhist literature. Be compassionate, don’t kill, don’t hurt. What place has love in compassion? To love a man or a woman, or a dog, or a piece of stone, a stray cat, to love something, the clouds, the trees, what place has... – or the nature, anything – love, the house put together by architects, a beautiful thing, the bricks – to love it, which is non-identifying with the bricks, with the house. The dying while living – is that love, in which there is no attachment. K: Wawasan, itulah yang ingin saya capai. Otak kita rusak. Selama ribuan tahun kita telah terluka, secara psikologis, dalam batin, dan luka itu adalah bagian dari sel otak kita, ingatan akan luka-luka, propaganda selama 2000 tahun, bahwa saya seorang Kristen, bahwa saya percaya kepada Yesus Kristus,yang merupakan suatu luka; atau saya seorang Buddhis - Anda ikuti, Tuan? - Ini suatu luka. Jadi otak kita rusak. Untuk menyembuhkan kerusakan itu... adalah agar mendengar dengan sangat hati-hati, mendengar, dan dalam mendengar itu, memiliki wawasan tentang apa yang dikatakan, dan karena itu segera ada perubahan dalam sel-sel otak. Karena itu, tidak ada identifikasi, lengkap dan total. Lalu, apakah itu cinta? Anda tahu, saya mempertanyakan ini, Tuan. Ada pembicaraan hebat tentang kasih sayang, bukankah, dalam literatur Buddhis. Berbelas kasih, jangan membunuh, jangan menyakiti. Tempat apa yang dimiliki cinta dalam kasih sayang? Mencintai pria atau wanita, atau an- jing atau sepotong batu, kucing liar, mencintai sesuatu, awan, pohon-pohon, tempat apa yang... - atau alam, apapun - cinta, rumah yang dipasang oleh arsitek, sesuatu yang indah, batu bata - untuk menyukainya, yang bukan mengidentifikasi dengan batu bata, dengan rumah. Kematian saat hidup - apakah itu cinta, di mana tidak ada kemelekatan.
1:20:11 WR: That is so, that is so. WR:Benar demikian, benar.
1:20:15 K: So then what place has love, loving a woman, a man, – you understand? – not identifying – please – identifying with the sensations of sex with a woman, or with a man, and yet to love that person. You understand? When there is that love, that love is not the woman whom I love, it is global love. I wonder if you see. Don’t agree, sir.

WR: No, not agree, I see it.
K: Jadi, tempat apa yang dimiliki cinta, mencintai seorang wanita, seorang pria - Anda paham? - tidak mengidentifikasi - tolong - tidak... mengidentifikasi dengan sensasi seks... dengan seorang wanita, atau dengan seorang pria, dan tetap mencintai orang itu. Anda paham? Ketika ada cinta itu, cinta itu bukan wanita yang saya cintai, itu adalah cinta global. Saya berpikir apakah Anda melihat. Jangan setuju, Tuan.

WR:Tidak, tidak setuju, saya melihatnya.
1:21:05 K: What place has that quality with compassion? Or is compassion the same as love? K:Tempat apa yang dimiliki kualitas itu dengan welas kasih? Atau apakah welas sama dengan cinta?
1:21:19 WR: No. WR: Tidak.
1:21:28 GN: Why do you say no? GN: Mengapa Anda mengatakan tidak?
1:21:29 WR: Compassion is only for the suffering people. Love – there is no discrimination, whereas compassion is directed towards those who are suffering. WR: Welas kasih hanya untuk orang yang menderita. Cinta - tidak ada diskriminasi, sedangkan welas kasih diarahkan kepada mereka yang menderita.
1:21:59 GN: You make that distinction between compassion and love. GN: Anda membuat perbedaan itu antara welas kasih dan cinta.
1:22:02 WR: Yes. WR: Ya.
1:22:03 GN: Is it in the Buddhist language?

WR: Yes, Buddhist language. That is Maitri and Karuna. If you use these two words.
GN: Apakah itu dalam bahasa Buddhis?

WR: Ya, bahasa Budhis. Itu adalah Maitri dan Karuna. Jika Anda menggunakan dua kata ini.
1:22:13 K: Maitri and Karuna. K: Maitri dan Karuna.
1:22:16 WR: Karuna is compassion and love is maitri, it is more than compassion. WR:Karuna adalah welas kasih... dan cinta adalah maitri, itu adalah lebih dari welas kasih.
1:22:26 K: I am just... Sir, does one love without identification, which implies no self, no attachment? K: Saya hanya... Tuan, apakah orang mencintai tanpa identifikasi, yang menyiratkan tidak ada diri, tidak ada kemelekatan?
1:22:51 WR: That is the true love.

K: No, I am asking, you as a human being, not as a Buddhist, as a human being without identification, with your senses and so on, so on, do you love a woman or a man, or a child, or the sky or a stone, or a stray dog, without identifying? They all suffer – the woman suffers, the man suffers, the dog has a terrible life, a stray dog, chased by everybody and kicked by everybody. And when there is no identification, do you love that dog, or do you have compassion for that dog? Is compassion an idea – I must have compassion for the suffering, for the poor, for the besotted, the demented?
WR: Itu adalah cinta sejati.

K: Tidak, saya bertanya, Anda sebagai manusia, bukan sebagai seorang Buddhis, sebagai manusia tanpa identifikasi, dengan indra Anda dan sebagainya, seterusnya, apakah Anda mencintai seorang wanita atau seorang pria atau seorang anak, atau langit atau batu atau anjing liar, tanpa mengidentifikasi? Mereka semua menderita... - wanita itu menderita, pria menderita, anjing memiliki kehidupan yang mengerikan, anjing liar, dikejar oleh semua orang dan ditendang oleh semua orang. Dan ketika tidak ada identifikasi, apakah Anda mencintai anjing itu, atau apakah Anda memiliki belas kasih untuk anjing itu? Apakah kasih sayang suatu ide... - saya harus memiliki welas kasih un- tuk penderitaan, untuk orang miskin, untuk yang tergila-gila, yang demensia?
1:24:27 DB: I still think the question is, is there love for somebody who is not suffering? Suppose there is somebody who is not suffering. DB: Saya masih berpikir, pertanyaannya adalah, adakah cinta bagi seseorang yang tidak menderita? Misalkan ada seseorang yang tidak menderita.
1:24:38 K: Suppose somebody is frightfully happy, because he writes good books or thrillers and gets a lot of money, says, jolly good life. K: Misalkan seseorang yang teramat bahagia, karena dia menulis buku atau cerita menegangkan yang bagus... dan mendapat banyak uang, berkata, hidup yang amat menyenangkan.
1:24:45 DB: I didn’t mean that exactly. You could say that he was suffering underneath. DB: Maksud saya tepatnya tidak begitu. Bisa dibilang bahwa dia menderita dalam batinnya.
1:24:49 K: That’s what I am questioning. K: Itulah yang saya tanyakan.
1:24:52 DB: But would there be love if there were no suffering? You know, if mankind were to be free of it. DB: Tapi apakah akan ada cinta jika tidak ada penderitaan? Yaitu, dalam hal manusia terbebas dari itu.
1:25:01 K: Would there be love without suffering? Or, are you saying, a human being must go through suffering to have love? K: Apakah akan ada cinta tanpa penderitaan? Atau, apakah Anda maksudkan, seorang manusia harus melalui penderitaan untuk memiliki cinta?
1:25:10 DB: Well, not necessarily. DB: Ya, belum tentu.
1:25:12 K: You see, when you put it that way, that is what it implies, doesn’t it? K: Anda lihat, ketika Anda mengatakannya seperti itu, itu yang disiratkan, bukan?
1:25:16 DB: Well, one view is, you could say one point that there could be love whether there is suffering or not. And the other is compassion, the way the Buddhists use it, is that it is only for the suffering. DB:Ya, satu pandangan adalah, Anda bisa mengatakan satu hal, bahwa mungkin ada cinta, entah ada penderitaan atau tidak. Dan yang lain adalah welas kasih seperti cara umat Buddhis memakainya, adalah bahwa ini hanya untuk penderitaan.
1:25:30 K: I question that. K: Saya mempertanyakan itu.
1:25:34 GN: I didn’t quite feel that karuna, compassion, is only for those who were suffering. I think it has a wider quality than that. GN: Saya tidak begitu merasa, karuna itu, welas kasih, hanya untuk mereka yang menderita. Saya pikir ia memiliki kualitas yang lebih luas dari itu.
1:25:42 WR: No, this way there are four qualities called Brahma Viharas, these supreme qualities – maitri, karuna, mudita, upekkha. Maitri embraces both suffering and not suffering, as you said; karuna embraces only suffering; mudita is directed towards the happy people, you identify with the happiness of that, in the world there is no such sympathetic joy; upekkha is equanimity. These four qualities are called the Brahma Viharas, the supreme, divine qualities. And that classification when you use the word ‘love’, it is much bigger. WR: Tidak, di sini ada empat kualitas yang disebut Brahma Viharas, kualitas-kualitas tertinggi ini... - maitri, karuna, mudita, upekkha. Maitri mencakup baik penderitaan... dan bukan penderitaan, seperti yang Anda katakan; karuna hanya mencakup penderitaan; mudita diarahkan pada orang-orang yang bahagia, Anda mengidentifikasi dengan kebahagiaan itu, di dunia tidak ada sukacita simpatik seperti itu; upekkha adalah keseimbangan batin. Keempat kualitas ini disebut Brahma Viharas, kualitas tertinggi, ilahi. Dan klasifikasi itu, ketika Anda memakai kata 'cinta', yang itu jauh lebih besar.
1:26:41 K: No, I haven’t come to compassion yet, sir. I just want to know, as a human being, do I love somebody – the dog, the chimney, the clouds, that beautiful sky – without identifying? Not as a theory but fact. I don’t want to delude myself in theories, or in ideas, I want to know if I love that man or woman or that child, or that dog without saying, ‘It is my dog, my wife, my house, my brick’, actually, not abstraction. K: Tidak, saya belum sampai ke welas kasih, Tuan. Saya hanya ingin tahu, sebagai manusia apakah saya mencintai seseorang... - anjing, cerobong asap, awan, langit yang indah itu - tanpa mengidentifikasi? Bukan sebagai teori tetapi fakta. Saya tidak ingin menipu diri sendiri dalam teori, atau dalam ide, Saya ingin tahu apakah saya mencintai pria itu, atau wanita itu, atau anak itu, atau anjing itu, tanpa mengatakan, 'Ini adalah anjing saya, istri saya, rumah saya, batu bata saya', secara aktual, bukan abstraksi.
1:27:32 IS: If that identification with the ‘I’ is gone, as long as I feel ‘I’ is acting as self, I cannot do it.

K: No, madam. I said the truth is, the identification breeds the self which causes all the trouble, miseries.
IS: Jika identifikasi dengan ‘aku’ hilang, selama saya merasa 'aku' bertindak sebagai diri, Saya tidak bisa melakukannya.

K: Tidak, Nyonya. Saya katakan yang sebenarnya adalah, identifikasi yang melahirkan diri, yang menyebabkan semua masalah, kesengsaraan.
1:27:52 IS: And if that is seen... IS: Dan jika itu terlihat...
1:27:54 K: I said that, it is an absolute, irrevocable reality, it is in my blood, I can’t get rid of my blood, it is there. K:Saya mengatakan itu, itu adalah... realitas mutlak yang tidak dapat dibatalkan, itu ada dalam darah saya, saya tidak bisa menyingkirkan darah saya, itu ada di situ.
1:28:04 IS: Then I cannot help but loving.

K: No, no. You are all too quick.

IS: I beg your pardon.
IS: Kalau begitu saya tidak bisa tidak mencintai.

K: Tidak, tidak. Anda terlalu cepat.

IS: Saya mohon maaf.
1:28:14 K: Not, ‘I cannot help loving’ – do you? K:Bukan ‘Saya tidak bisa tidak mencintai’ - betulkah?
1:28:22 WR: If you see it. WR: Jika Anda melihatnya.
1:28:25 K: No, no. Do you see the truth, the truth of that, that identification is the root of the self, with thought and all the rest of it? That is an absolute fact, like a cobra, like a dangerous animal, like a precipice, like taking deadly poison. So there is no identification, absolutely, when you see the danger. Then what is my relationship to the world, to nature, to my woman, man, child? When there is no identification, is there indifference, callousness, brutality – say, ‘I don’t identify’ and put up your nose in the air? K: Tidak, tidak. Apakah Anda melihat kebenaran, kebenaran, bahwa identifikasi adalah akar dari diri, dengan pikiran dan semua lainnya? Itu adalah fakta mutlak, seperti kobra, seperti binatang berbahaya, seperti suatu tebing curam, seperti minum racun yang mematikan. Jadi tidak ada identifikasi, sama sekali, ketika Anda melihat bahaya. Lalu apa hubungan saya dengan dunia, dengan alam, dengan wanita, pria, anak saya? Ketika tidak ada identifikasi, apakah ada ketidakpedulian, tidak berperasaan, kebrutalan - katakanlah, 'Saya tidak mengidentifikasi'... dan mengangkat hidung Anda ke udara?
1:29:47 WR: That would be very selfish.

K: No, not selfish. Is this what is going to happen?
WR: Itu adalah sangat egois.

K: Tidak, tidak egois. Apakah ini yang akan terjadi?
1:29:55 WR: No.

K: No, sir, you can’t just say, no. Why not? It will happen if it is intellectual.
WR: Tidak.

K: Tidak, Tuan, Anda tidak bisa hanya mengatakan, tidak. Kenapa tidak? Itu akan terjadi jika itu intelektual.
1:30:10 IS: It is not truth.

K: I have an ideal.
IS: Itu bukan kebenaran.

K: Saya punya cita-cita.
1:30:15 WR: That is what I said, you have not seen then. WR: Itulah yang saya katakan, Anda belum melihat.
1:30:17 K: No. I am asking, sir, is this non-identification an ideal, a belief, an idea which I am going to live with and therefore my relationship to the dog, to the wife, to the husband, to the girl, or whatever it is, becomes very superficial, casual. It is only when the truth that identification is absolutely cut out of one’s life, there’s no callousness then – because that is real. We haven’t solved the question yet of death. It is five minutes past one and we have to stop for lunch. K: Tidak. Saya bertanya, Tuan, apakah non-identifikasi ini suatu ideal, suatu kepercayaan, sebuah ide yang akan saya jalani... dan karena itu hubungan saya dengan anjing, dengan istri, dengan suami, dengan perempuan, atau apa pun itu, menjadi sangat dangkal, santai. Hanya saat kebenaran... ketika identifikasi itu benar-benar diputus dari kehidupan seseorang, lalu tidak ada ketidakpekaan, karena itu nyata. Kita masih belum menyelesaikan persoalan tentang kematian. Sekarang jam satu lewat lima menit... dan kita harus berhenti untuk makan siang.
1:31:18 WR: And in the afternoon, I have some more questions... WR: Dan di sore hari, saya punya beberapa pertanyaan lagi...
1:31:22 K: Good, sir.

WR:...a list of things.
K: Baik, Tuan.

WR:...suatu daftar dari hal-hal.
1:31:26 K: Let’s go through them. K: Mari kita telusuri mereka.
1:31:29 WR: And these have been working in my mind for a long time. WR: Dan ini sudah lama bekerja di batin saya.
1:31:32 K: Let’s do it.

WR: I want to discuss them with you and today there is one session only we have this afternoon.
K:Mari kita lakukan.

WR: Saya ingin membahasnya dengan Anda... dan hari ini hanya ada satu sesi yang kita miliki, siang ini.
1:31:41 GN: At four.

WR: At four.
GN:Jam empat.

WR:Jam empat.
1:31:43 K: You want some more sessions? K:Anda ingin beberapa sesi lagi?
1:31:46 WR: Not possible today, because we are going to have lunch. WR: Tidak mungkin hari ini, karena kita akan makan siang.
1:31:51 K: No, this afternoon we are going to meet. K: Tidak, siang ini kita akan bertemu.