Krishnamurti Subtitles home


BR7879CBS4 - Apakah kebenaran itu?
Diskusi ke-4 dengan para ahli Buddhis
Brockwood Park, UK
28 Juni 1979



0:15 Giddu Narayan: Mr Feroz Meta is a scientist and has written a book about a couple of years ago ‘The Heart of Religion’, which was very well received. He came here last year once and he also knows Dr Rahula who was here for last year’s discussion. Giddu Narayan: Tuan Feroz Meta adalah seorang ilmuwan... dan telah menulis buku kurang lebih beberapa tahun yang lalu: 'The Heart of Religion', yang diterima dengan sangat baik. Dia datang ke sini tahun lalu, se- kali, dan dia juga kenal Dr. Rahula, yang ada di sini untuk diskusi tahun lalu.
0:43 K: Begin, sir. K: Mulailah, Tuan.
0:48 Walpola Rahula: Why don’t you speak one word first? Walpola Rahula: Mengapa Anda tidak berbicara sepatah kata dahulu?
0:51 K: What am I to say? I don’t know. We all join in? K: Apa yang harus saya katakan? Saya tidak tahu. Kita semua bersama-sama?
0:56 WR: Sir, I want to ask you one thing today. You see, we all talk of truth, absolute truth, ultimate truth; and seeing it and realizing it; always we talk about it. And of course in Buddhism, according to Buddha’s teachings, these are very important central points, that is the essence really. And Buddha says there is only one truth, there is no second. It is clearly mentioned. But this is never defined in positive terms. That is, this truth is equated also with Nirvana. It is equated. And sometimes the word ‘truth’ is used in place of Nirvana, ultimate truth, absolute truth. And then Nirvana is never defined; except mostly in negative terms. If it is described in positive terms, it is mostly metaphorically, as a symbol, symbolic way. And there is a very beautiful Mahayana Sutra; of course, when I use the word ‘Mahayana’, you all understand, I think; there was the original authentic teaching of the Buddha known as ‘Theravada’, that is the tradition of the elders. Then about the 1st B.C., round about that period Mahayana, which is a later development, began to grow – free interpretation of the teaching of the Buddha. There is a very beautiful Sutra written – of course, it is a late work all students, followers accept, that is the teaching of the Bodhisattva Vimalakirti. There is an assembly in this house of the Bodhisattvas, disciples and like this great assembly. There in that assembly the question was put: ‘What is non-duality?’ That is, non-duality is another word for the absolute truth, or Nirvana. It is in Sanskrit called advaya. WR: Tuan, saya ingin menanyakan satu hal kepada Anda hari ini. Anda tahu, kita semua berbicara tentang kebenaran, kebenaran mutlak, kebenaran tertinggi; dan melihatnya dan mewujudkannya; kita selalu membicarakannya. Dan tentu saja dalam ajaran Buddhis, menurut ajaran Buddha, itu adalah poin sentral yang amat penting, yang sebenarnya adalah esensi nya. Dan Buddha berkata hanya ada satu kebenaran, tidak ada yang kedua. Disebutkan dengan jelas. Tetapi ini tidak pernah didefinisikan secara positif. Yaitu, kebenaran ini disamakan juga dengan Nirvana Itu disamakan. Dan terkadang kata 'kebenaran' digunakan... sebagai ganti Nirvana, kebenaran tertinggi, kebenaran absolut. Dan kemudian Nirvana tidak pernah didefinisikan; kecuali, sebagian besar, secara negatif. Jika itu dijelaskan secara positif, itu sebagian besar metaforis, sebagai simbol, cara simbolis. Dan ada Sutra Mahayana yang sangat indah;... tentu saja, ketika saya menggunakan kata 'Mahayana', Anda semua paham, saya pikir;... ada ajaran asli, otentik dari Sang Buddha, dikenal sebagai sebagai 'Theravada', itu adalah tradisi para tetua. Kemudian sekitar abad ke-1 SM, sekitar periode itu, Mahayana, yang merupakan perkem- bangan selanjutnya, mulai tumbuh... - interpretasi bebas dari ajaran Buddha. Ada Sutra yang sangat indah... - tentu saja, ini karya tua, semua siswa, pengikut menerimanya, itu adalah ajaran Bodhisattva Vimalakirti. Ada pertemuan di rumah para Bodhisattva ini, pengikut dan seperti pertemuan besar ini. Di sana dalam pertemuan itu diajukan pertanyaan: 'Apa non-dualitas itu?' Artinya, non-dualitas adalah kata lain untuk... kebenaran absolut atau Nirwana. Itu dalam bahasa Sanskerta yang disebut advaya.
4:02 K: Advaita, in Sanskrit, yes. K: Advaita, dalam bahasa Sanskerta, ya.
4:04 WR: No, advaita is different from advaya. Yes. Vedanta advaita is: you are the world, there is no difference, In Buddhism, in Buddhist terminology advaya means neither existence nor non-existence. Buddha says, ‘The world is duality’, that means – either is or is not, either exist or does not exist, either right or wrong, that is dvaya, according to Buddhist teaching. Buddha says the world is depending on this, dvaya. But the Buddha teaches –without falling into this dvaita, that is advaita. And the question was put, ‘What is advaya?’ And there are 32 definitions, why Bodhisattvas, disciples, there’s a long list. Then Vimalakirti is the leading figure in this story, they said, ‘Sir, it is not our opinion, but we want to know your opinion’. And then Sutra says, it is very interesting, Vimalakirti answered the question with a thundering silence. WR: Tidak, advaita berbeda dari advaya. Iya. Vedanta advaita adalah: Anda adalah dunia, tidak ada perbedaan. Dalam Buddhisme, dalam terminologi Buddhis advaya berarti... baik keberadaan maupun non-keberadaan. Buddha berkata, 'Dunia ini adalah dualitas', itu berarti... - baik ada maupun tiada, baik ada maupun tiada, baik benar atau salah, itu adalah dvaya, menurut ajaran Buddhis. Buddha berkata, dunia tergantung pada ini, dvaya. Tetapi Sang Buddha mengajarkan... –tanpa jatuh ke dvaita ini, itu adalah advaita. Dan pertanyaan yang diajukan adalah, 'Advaya itu apa?' Dan ada 32 definisi, mengapa para Bodhisattva, para penganut, ada daftar panjang. Lalu Vimalakirti adalah tokoh utama dalam cerita ini, mereka berkata, 'Tuan, ini bukan pendapat kami, tapi kami ingin tahu pendapat Anda'. Dan kemudian menurut Sutra, inu sangat menarik, Vimalakirti menjawab pertanyaan itu dengan hening bergemuruh.
5:23 K: Quite. K: Tepat.
5:25 WR: If you speak, it is not duality. And I was asked in Oxford by a professor when I gave a series of lectures, ‘Can you formulate this non-duality or truth?’ I say the moment you formulate, that is not non-duality; that becomes duality the moment you formulate it. So, just as they asked Vimalakirti, I ask you today: what is truth, what is absolute truth, what is ultimate truth and what is that non-duality as you see it? Tell us. It is a challenge. WR: Jika Anda berbicara, itu bukan dualitas. Dan saya ditanya di Oxford oleh seorang profesor, ketika saya memberikan serangkaian kuliah, "Bisakah Anda merumuskan non-dualitas atau kebenaran ini?" Saya katakan, pada saat Anda merumuskan, itu bukan non-dualitas; itu menjadi dualitas saat Anda merumuskannya. Jadi, seperti yang mereka tanyakan pada Vimalakirti, saya bertanya kepada Anda hari ini:... apakah kebenaran itu, apa kebenaran absolut itu, apakah kebenaran tertinggi itu, dan apa non-dualitas itu, seperti yang Anda lihat? Beritahu kami. Ini merupakan tantangan.
6:18 K: They’re all looking at us.

WR: Yes, that is right. Rather, looking at you.

K: At us, sir. Do you think, sir, there is a difference between reality and truth? And is truth measurable by words? And if we could distinguish between what is reality and what is truth, then perhaps we could penetrate more deeply into this question. What is reality? The very word ‘res’, means ‘things’, thing. What is the thing? Could we say that everything that thought has created is reality including the illusions, the gods, the various mantras, rituals, the whole movement of thought, what it has brought about in the world – the cathedrals, the temples, the mosques, and their content? That is reality, like the microphone, it’s made by thought, it is there, actual. But nature is not created by thought. It exists. But we human beings have used nature to produce things like our houses, chairs, and so on and so on.
K: Mereka semua memandang kami.

WR: Ya, itu benar. Tepatnya, memandang ke Anda.

K: Pada kami, Tuan. Apakah Anda berpikir, Tuan, ada perbedaan antara realitas, dan kebenaran? Dan apakah kebenaran dapat diukur dengan kata-kata? Dan jika kita bisa membedakan... antara apa itu realitas dan apa itu kebenaran, maka mungkin kita bisa masuk lebih dalam ke pertanyaan ini. Apakah realitas itu? Kata 'res', berarti 'masalah', soal. Apa masalahnya? Bisakah kita mengatakan bahwa segala sesuatu yang... pikiran telah ciptakan, adalah realitas, termasuk ilusi, para dewa, berbagai mantra, ritual, seluruh gerakan pikiran, apa yang telah diwujudkannya di dunia... - katedral, kuil, masjid, dan kontennya? Itu adalah realitas, seperti mikrofon, itu dibuat oleh pikiran, ada di situ, aktual. Tetapi alam tidak diciptakan oleh pikiran. Itu ada. Tetapi kita manusia telah menggunakan alam untuk menghasilkan sesuatu, seperti rumah kita, kursi, dan sebagainya dan seterusnya.
8:45 WR: You mean to say, nature of things. Nature of things. WR: Maksud Anda mengatakan, sifat dari banyak hal. Sifat dari hal-hal.
8:50 K: Nature.

WR: Nature, yes.
K: Alam.

WR: Alam, ya.
8:55 K: The beauty of the Earth, the rivers, the waters, the seas, the trees, the heavens, the stars, and the flowing winds, and all that. K: Keindahan Bumi, sungai-sungai, air, laut, pohon, langit, bintang-bintang, dan angin yang mengalir, dan semua itu.
9:07 WR: And why not the beauty of this thing? WR: Dan mengapa tidak keindahan benda ini?
9:10 K: Oh, there is a beauty in this.

WR: That’s right.
K:Oh, ada keindahan dalam benda ini.

WR: Benar.
9:12 K: But we were saying, I mean, a beautiful cathedral, a beautiful poem, a lovely picture – are all the result of thought. So could we say then that anything that thought has created, brought about, put together, is reality? Mary Zimbalist: Sir, when you speak of the beauty of the object, are you including their quality of beauty as reality or the object itself, the beauty may be some other quality. K: Tapi kami katakan, maksud saya, sebuah katedral yang indah, sebuah puisi yang indah, gambar yang indah - semuanya adalah hasil pikiran. Jadi bisakah lalu kita katakan, bahwa apa pun yang pikir telah ciptakan, wujudkan, rangkaikan, adalah realitas? Mary Zimbalist: Tuan, ketika Anda berbicara tentang keindahan objek, apakah Anda menyertakan kualitas ke- cantikan mereka sebagai realitas... atau objek itu sendiri, keindahannya mungkin sebagai kualitas tertentu lainnya.
9:54 K: The object itself could be beautiful? or one can attribute beauty to the thing which may not be beautiful in itself. K: Obyek itu sendiri bisa jadi indah? Atau seseorang dapat mengaitkan keindahan dengan benda itu... yang pada dirinya sendiri mungkin tidak cantik.
10:02 MZ: So it’s the idea of the beauty of that object that you are including in this category? MZ: Jadi itu ide keindahan dari objek itu... yang Anda rangkum dalam kategori ini?
10:07 K: Yes. Both. Yes. So could we do that, sir? That reality, including the illusions it has created, as well as the material things it has created through technological knowledge and so on, so on – all that is reality. K: Ya. Dua-duanya. Ya. Jadi bisakah kita melakukan itu, Tuan? Realitas itu, termasuk ilusi yang telah diciptakannya, serta hal-hal materi yang telah diciptakannya, melalui pengetahuan teknologi dan sebagainya, begitu seterusnya - semua itu adalah realitas.
10:29 WR: Yes. May I add a little to that? That is, reality, – I should say, I am explaining to you the Buddhist attitude about this problem – according to Buddhist thought, Buddha’s teaching, there is relative truth or reality. WR: Ya. Bolehkah saya menambahkan sedikit untuk itu? Itu adalah realitas, - saya harus mengatakan, saya menjelaskan kepada Anda sikap Buddhis tentang masalah ini - menurut pemikiran Buddhis, ajaran Buddha, ada kebenaran relatif atau realitas.
11:05 K: Don’t let’s use the truth and reality, just... K: Jangan kita menggunakan kebenaran dan realitas, cukup...
11:08 WR: Yes, let us say reality, reality is relative... WR:Ya, mari kita katakan realitas, realitas itu relatif...
11:12 K: Of course.

WR:...and absolute. What you say is fully accepted, that is the reality.
K: Tentu saja.

WR:... dan absolut. Apa yang Anda katakan diterima sepenuhnya, itulah kenyataannya,
11:19 K: That is, everything that thought has created is reality. K:yaitu, semua yang diciptakan oleh pikiran adalah realitas.
11:24 WR: Reality. WR: Realitas.
11:29 K: The dreams...

WR: Reality, even the dreams.
K: Mimpi...

WR: Realitas, bahkan mimpi.
11:33 K:...dreams, all the sensory and sensuous responses. K:...mimpi-mimpi, semua respons indra dan sensual.
11:41 WR: Yes. WR: Ya.
11:42 K: All the technological world of knowledge, all the things that thought has put together as literature, poem, painting, illusions, gods, symbols – all that is reality. Would you accept that, sir? K: Semua dunia pengetahuan teknologi, semua hal yang pikiran telah himpun sebagai literatur, puisi, lukisan, ilusi, dewa, simbol... - semua itu adalah realitas. Apakah Anda bisa menerimanya, Tuan?
12:13 Feroz Meta: Yes, but this word ‘reality’ has its denotation; its first meaning as well as its connotation. Feroz Meta: Ya, tetapi kata 'realitas' ini memiliki denotasinya; arti pertamanya maupun konotasinya.
12:29 K: Yes. K: Ya.
12:30 FM: And through the centuries people have tended to talk of reality more in terms of one of its connotations of ultimate reality. FM: Dan selama berabad-abad, orang cenderung berbicara tentang realitas, lebih dalam salah satu konotasinya sebagai realitas tertinggi.
12:44 K: I know, but I would like to separate the two – truth and reality. Otherwise we mix our terms all the time. K: Saya tahu, tetapi saya ingin memisahkan keduanya... - kebenaran dan realitas. Kalau tidak, kami mencampur-adukkan istilah-istilah kami terus-menerus.
12:56 FM: That is true. FM: Itu benar.
13:00 Scott Forbes: Are you also, excuse me, are you also including nature in reality? Scott Forbes: Apakah Anda juga, permisi, apakah Anda juga memasukkan alam dalam realitas?
13:04 K: No.

SF: No. Right.
K: Tidak.

SF: Tidak. Benar.
13:06 K: No. That tree is not created by thought. But out of that tree man can produce chairs and so on. K: Tidak. Pohon tidak diciptakan oleh pikiran. Tetapi dari pohon itu manusia dapat menghasilkan kursi dan sebagainya.
13:16 SF: Yes. Is there then a third category of things which is neither truth nor reality? Or are you calling nature... SF: Ya. Apakah kemudian ada kategori ketiga... yang bukan kebenaran ataupun realitas? Atau apakah Anda menyebut alam...
13:25 K: Nature is not created by thought.

SF: No.
K:Alam tidak diciptakan oleh pikiran.

SF: Tidak.
13:29 K: The tiger, the elephant, the deer. The gazelle that flies – that obviously is not created by thought. K: Harimau, gajah, rusa. Gazelle yang melayang - jelas itu tidak diciptakan oleh pikiran.
13:40 WR: That means, you don’t take the tree as a reality. WR: Itu artinya, Anda tidak meng- anggap pohon sebagai realitas.
13:46 K: I take it as a reality, of course it’s a reality, but it’s not created by thought.

WR: That’s true. Then do you mean to say, only things created by thought you include in reality.

K: Yes.
K: Saya menganggapnya sebagai realitas, tentu saja itu realitas, tapi itu tidak diciptakan oleh pikiran.

WR:Itu benar. Lalu apakah Anda bermaksud mengatakan, hanya hal-hal yang diciptakan oleh pikiran... Anda masukkan dalam realitas.

K: Ya.
14:01 WR: Of course that is your own definition. WR: Tentu saja itu definisi Anda sendiri.
14:04 K: No, I’m trying to be clear that we understand, so as not to get involved in these two terms – truth and reality.

WR: Yes, I can understand, leave the word truth for another purpose and let us...
K:Tidak, saya berusaha menjelaskan untuk kita mengerti, agar tidak terlibat dalam dua istilah ini... - kebenaran dan realitas.

WR: Ya, saya bisa mengerti, tinggalkan kata kebenaran untuk tujuan lain dan biarkan kita...
14:22 K: Not another purpose, let us look at reality – what is reality? The wall is reality.

WR: Yes.
K: Bukan tujuan lain, mari kita lihat realitas - apakah realitas itu? Dinding itu adalah realitas.

WR: Ya.
14:36 K: These lamps are reality. You sitting there, this person sitting there, are realities. The illusions that one has are an actual reality. K: Lampu-lampu ini adalah realitas. Anda duduk di sana, orang ini duduk di sana, adalah realitas. Ilusi yang dimiliki seseorang adalah realitas aktual.
14:51 MZ: But, sir, the people sitting there are not created by thought. MZ: Tapi, Tuan, orang-orang yang duduk di sana tidak... diciptakan oleh pikiran.
14:54 K: No. K: Tidak.
14:55 MZ: So could we more or less define another category for living creatures, nature, trees, animals, people? MZ: Jadi bisakah kita kurang lebih mendefinisikan... kategori lain untuk makhluk hidup, alam, pohon, hewan, manusia?
15:04 K: A human being is not created by thought. K: Manusia tidak diciptakan oleh pikiran.
15:07 MZ: No. MZ: Tidak.
15:08 K: But what he creates.

MZ: Yes. So the reality category of which you are speaking is man-made, in a sense.

K: Man-made. Like war is a reality. You’re a bit hesitant about this.
K: Tapi yang dia ciptakan.

MZ: Ya. Jadi kategori realitas yang Anda bicarakan... adalah buatan manusia, dalam arti tertentu.

K: Buatan manusia. Seperti perang adalah realitas. Anda agak ragu tentang ini.
15:30 FM: Could we regard all that is apprehended through the senses and then interpreted by the brain as reality. FM: Bisakah kita menganggap semua yang ditangkap melalui indera... dan kemudian ditafsirkan oleh otak sebagai realitas.
15:41 K: That’s right, sir. K: Itu benar, Tuan.
15:44 SF: At one time we made a distinction, in talking, between reality which was anything that was created by the mind, and actuality which is anything that could be captured by the mind, anything which existed in time and space. SF: Pada waktu kita membuat perbedaan, dalam berbicara, antara realitas... yang merupakan apa pun yang diciptakan oleh pikiran, dan aktualitas, yang merupakan sesuatu yang dapat ditangkap oleh batin, apapun yang ada dalam ruang dan waktu.
16:00 K: Yes. K: Ya.
16:01 SF: And then there was truth. Now, reality was part of actuality. In other words, the tree was an actuality not a reality. SF:Dan kemudian ada kebenaran. Sekarang, realitas adalah bagian dari aktualitas. Dengan kata lain, pohon itu adalah aktualitas, bukan realitas.
16:14 K: Why do you want to separate... K: Mengapa Anda ingin memisahkan ...
16:16 SF: Otherwise it becomes very confusing because if we say, look, you and I, as people, we are not created by thought, so we’re not reality. SF: Kalau tidak, itu akan sangat membingungkan, karena jika kita berkata, lihat, Anda dan saya, sebagai manusia, kita tidak diciptakan oleh pikiran, jadi kita bukan realitas.
16:25 K: You want to separate actuality, reality and truth? Is that it? K: Anda ingin memisahkan aktualitas, realitas, dan kebenaran? Apakah itu?
16:31 SF: Well, I just offer it as a convenient definition of words that we used before. SF: Ya, saya hanya menawarkannya se- bagai definisi kata-kata yang tepat, yang kita gunakan sebelumnya.
16:39 K: Would we say the actual is what is happening now? K:Akankah kita mengatakan yang aktual adalah apa yang terjadi sekarang?
16:49 FM: Yes, that’s a good way of putting it. The point which arises there is that – are we capable of apprehending the totality of what is happening now? We apprehend only a portion of it. FM: Ya, itu cara yang baik untuk menggambarkannya. Poin yang muncul di sana adalah... - apakah kita mampu menangkap... totalitas dari apa yang terjadi sekarang? Kita hanya menangkap sebagian saja.
17:10 K: Yes, but that’s a different point, we can go into that. But what is actually happening, what is happening is actual. That’s all. Not whether we understand, comprehend the whole of it or part of it and so on. What is happening is the actual. FM: Yes. That is the fact.

K: That is a fact.
K: Ya, tapi itu poin yang berbeda, kita bisa mendalaminya. Tapi apa yang sebenarnya terjadi, apa yang terjadi adalah yang sebenarnya, aktual. Itu saja. Bukan apakah kita mengerti, memahami keseluruhan nya atau sebagian dari itu dan seterusnya. Apa yang terjadi adalah yang aktual. FM: Ya. Itu kenyataan.

K: Itu fakta.
17:36 FM: Yes. FM: Ya.
17:37 K: So, what do you say to all this, sirs? K: Jadi, apa yang Anda katakan untuk semua ini, Tuan-Tuan?
17:43 WR: I am still hesitating, I’m waiting to see more. WR: Saya masih ragu-ragu, saya menunggu untuk melihat lebih banyak.
17:52 K: So can a mind see the actual, incompletely or completely – that’s not the point for the moment. And whether the mind can apprehend, or perceive, or observe, or see, that from reality you cannot go to truth. K: Jadi dapatkah batin melihat yang sebenarnya, yang aktual, tidak lengkap atau sepenuhnya... - bukan itu intinya untuk saat ini. Dan apakah batin dapat menangkap, atau persepsikan, atau mengamati, atau melihat, bahwa dari realitas Anda tidak bisa pergi ke kebenaran.
18:29 Stephen Smith: That’s quite a big jump, probably. Stephen Smith: Itu lompatan yang sangat besar, mungkin.
18:39 K: Sir, could we put it this way, too? As you pointed out, sir, that all the sensory responses are the beginning of thought. FM: Yes. K: Tuan, bisakah kita mengatakannya, juga dengan cara begini? Seperti yang Anda tunjukkan, Tuan, bahwa semua tanggapan indera... adalah awal dari pikiran. FM: Ya.
18:59 K: And thought, with all its complex movements, is what is happening now when we’re talking. K: Dan pikiran, dengan semua gerakannya yang kompleks, adalah apa yang terjadi sekarang ketika kita sedang berbicara.
19:12 FM: Yes. FM: Ya.
19:18 K: And what is happening is the actual, and the interpretation or the understanding of what is happening depends on thought. All that, including illusions and the whole business of it, is reality. K: Dan apa yang terjadi adalah yang aktual, sebenarnya, dan interpretasi atau pemahaman tentang apa yang terjadi... tergantung pada pikiran. Semua itu, termasuk ilusi dan seluruh keterkaitannya, adalah realitas, kenyataan.
19:35 FM: Yes, yes, that is so. FM: Ya, ya, demikian adanya.
19:45 K: Then, if we agree or accept that for the moment, then the question arises: can the mind, which is the network of all the senses, actualities and so on, can that apprehend, see, observe what is truth? K: Lalu, jika kita setuju atau menerima itu untuk saat ini, kemudian muncul pertanyaan: dapatkah batin, yang merupakan jaringan dari semua indera, aktualitas dan sebagainya, dapatkah itu menangkap, melihat, mengamati kebenaran itu apa?
20:14 FM: Provided the mind can be free of all its conditioning. FM: Asalkan batin bisa bebas dari segala pengondisiannya.
20:19 K: I’ll come to that a little later. But that’s the problem. To find out what absolute truth is, thought must be understood, the whole movement and the nature of thought must have been gone into, observed. And has its relative place, and so the mind then becomes absolutely still, and perhaps out of that, in that stillness, truth is perceived, which is not to be measured by words. K: Saya akan membahas itu nanti. Tapi itu masalahnya. Untuk mencari tahu apakah kebenaran absolut itu, pikiran harus dipahami, seluruh gerak dan sifat pikiran... sudah harus didalami, diamati. Dan memiliki tempat relatifnya, dan kemudian batin menjadi benar-benar hening, dan mungkin dari itu, dalam keheningan itu, kebenaran terpersepsikan, yang tidak dapat diukur dengan kata-kata.
21:11 FM: Yes, there I’d agree, completely, fully. FM: Ya, di situ saya setuju, selengkapnya, sepenuhnya.
21:14 WR: Yes, I agree with that. WR: Ya, saya setuju dengan itu.
21:15 K: Now, this are the two – isn’t it? A human being is caught in the movement of thought. And this movement projects what is truth. K: Sekarang, ini adalah yang dua itu - bukan? Manusia terperangkap dalam gerak pikiran. Dan gerak ini memproyeksikan kebenaran.
21:37 FM: This is the mistake that man makes. FM: Ini adalah kesalahan yang dilakukan manusia.
21:39 K: Of course. He projects from this to that, hoping to find what is truth. Or projects what he thinks is truth. And the truth can be put in different words – God. Brahman it is called in India, or Nirvana, or moksha – you know, all that business. So our question is then, sir, can the mind cease to measure? K: Tentu saja. Dia memproyeksikan dari sini ke itu, berharap menemukan apa yang benar. Atau memproyeksikan apa yang menurutnya kebenaran. Dan kebenaran dapat disebutkan dalam kata-kata yang berbeda - Tuhan. Brahman seperti dinamakan di India, atau Nirvana, atau moksha - Anda tahu, semua urusan itu. Jadi pertanyaan kita adalah, Tuan, dapatkah batin berhenti mengukur?
22:27 FM: That is to say, the mind as it functions at present in each one of us as an individual. FM: Artinya, batin seperti saat ini berfungsi... dalam diri kita masing-masing sebagai individu.
22:34 K: As human beings. FM: As human beings. K: Sebagai manusia. FM: Sebagai manusia.
22:37 K: Measurement is our whole educational environmental, social conditioning. FM: Yes. K: Pengukuran adalah seluruh lingkungan pendidikan kita, keterkondisian sosial. FM: Ya.
22:48 K: Would you agree?

WR: Yes.
K: Apakah Anda setuju?

WR: Ya.
22:56 K: Then what is measurement? FM: Limitation. K: Lalu apa pengukuran itu? FM: Batasan.
23:01 K: No. What is measurement, to measure? I measure a piece of cloth, or measure the height of the house, measure the distance from here to a certain place and so on. Measurement means comparison. Right, sir? I’m going on talking, I don’t know why you all don’t join in. K: Tidak. Apakah pengukuran itu, untuk mengukur? Saya mengukur selembar kain, atau mengukur ketinggian rumah, mengukur jarak dari sini ke tempat tertentu dan seterusnya. Pengukuran berarti perbandingan. Benar, Tuan? Saya berbicara terus, saya tidak tahu mengapa Anda semua tidak bergabung.
23:32 SS: Well, there’s also psychological measurement in all this. SS:Ya, ada juga pengukuran psikologis dalam semua ini.
23:35 K: Yes, there is physical measurement and psychological measurement. One measures oneself, psychologically against somebody. K: Ya, ada pengukuran fisik... dan pengukuran psikologis. Seseorang mengukur diri sendiri, secara psikologis terhadap seseorang.
23:49 FM: Yes. FM: Ya.
23:51 K: And so there is this constant measurement of comparison, both externally and inwardly. Right? I’m giving a lecture – what’s the idea? K:Dan dengan demikian, ada pengukuran terus-menerus dari pembandingan ini, baik secara eksternal maupun batiniah. Betul? Saya memberi kuliah - apa idenya?
24:11 WR: Well, I put the question to you.

K: Yes, sir.
WR:Saya ajukan pertanyaannya ke Anda.

K: Ya, Tuan.
24:15 WR: As they put the question to Vimalakirti, I put the question to you. WR:Seperti mereka ajukan pertanyaan kepada Vimalakirti, saya mengajukan pertanyaan kepada Anda.
24:20 K: What is the question?

WR: What is non-duality? What is truth?

K: No.
K: Apa pertanyaannya?

WR: Apakah non-dualitas? Apakah kebenaran?

K: Tidak.
24:26 WR: You are explaining. WR: Anda menjelaskan.
24:27 K: As long as thought is measuring there must be duality. K: Selama pikiran mengukur, harus ada dualitas.
24:34 WR: Absolutely, that is a fact. That is so. WR: Tentu saja, itu fakta. Itu demikian adanya.
24:39 K: Now, how has this conditioning come about? You understand, sir? Otherwise we can’t move away from this to that. How has this constant measurement, comparison, imitation – you know, the whole movement of measurement, why is man caught in it? K: Sekarang, bagaimana pengondisian ini terjadi? Anda paham, Tuan? Kalau tidak, kita tidak bisa beralih dari ini ke itu. Bagaimana pengukuran, perbandingan, imitasi terus-menerus ini... - Anda tahu, seluruh gerak pengukuran, mengapa manusia terperangkap di dalamnya?
25:11 WR: The whole measurement is based on self – the use of measuring is done... WR: Seluruh pengukuran didasarkan pada diri... - penerapan pengukuran dilakukan...
25:24 K: Yes, but how has it come? Why have human beings, wherever they live, why are they conditioned through this measurement? I want, one wants to find out what is the source of this measurement. You follow, sir? FM: Yes, yes. K: Ya, tapi bagaimana itu terjadi? Mengapa manusia, di mana pun mereka tinggal, mengapa mereka terkondisikan melalui pengukuran ini? Saya ingin, seseorang ingin mencari tahu apa sumber pengukuran ini. Anda mengikuti, Tuan? FM: Ya, ya.
25:47 SS: Part of it seems to be the fruit of observation because you observe the duality of life in terms of night and day, man, woman, the change of seasons and this kind of thing which is a certain kind of contrast, there’s a certain contrast apparent. SS: Sebagian sepertinya merupakan buah pengamatan, karena Anda mengamati dualitas kehi- dupan terkait dengan siang dan malam, pria, wanita, perubahan musim dan hal-hal semacam ini yang merupakan suatu jenis kontras tertentu, ada kontras tertentu yang jelas.
26:07 K: You’re saying...

SS: So it may seem a natural step, to say that there’s therefore a kind of contrast or comparison which is applicable in man’s own life.
K:Anda mengatakan...

SS:Jadi itu mungkin adalah langkah alami, untuk mengatakan bahwa ada semacam kontras atau perbandingan, yang berlaku dalam kehidupan manusia sendiri.
26:15 K: There’s darkness, light, thunder and silence. K: Ada kegelapan, terang, guntur, dan kesunyian.
26:22 T.K. Prachur: It seems the thought needs a static point to measure and itself is moving constantly, and in a state of continuous flux or movement, it can’t measure, so it creates a static point which is immovable, which is taken as the centre of the self. From there only you can measure.

K: Yes, sir. I mean, the very word ‘better’, ‘greater’ in the English language, is measurement.
T.K. Prachur: Tampaknya pikiran... memerlukan suatu titik statis untuk mengukur... dan itu sendiri terus bergerak, dan di keadaan mengalir atau gerak yang kontinu, ia tidak bisa mengukur, sehingga ia menciptakan titik statis yang tidak bergerak, yang dianggap sebagai pusat dari si diri. Hanya dari sana Anda bisa mengukur.

K: Ya, Tuan. Maksud saya, kata 'lebih baik', 'lebih besar' dalam bahasa Inggris, adalah pengukuran.
26:59 FM: Measurement, yes, certainly, measurement. FM: Pengukuran, ya, tentu saja, pengukuran.
27:04 K: So the language itself is involved in measurement. Now, one has to find out – shouldn’t one? – I’m just asking, what is the source of this measurement, why has man employed this, or as a means of living? You follow my question, sir? FM: Yes. Yes. K: Jadi bahasa sendiri terlibat dalam pengukuran. Sekarang, orang harus mencari tahu - bukankah seharusnya? - saya hanya bertanya, apakah sumber dari pengukuran ini, mengapa manusia menggunakan ini, atau sebagai sarana hidup? Anda ikuti pertanyaan saya, Tuan? FM: Ya. Ya.
27:36 K: One sees night and day, high mountain, low valleys, the tall man, short man, woman, man, child, old age – physically there are all these states of measurement. There is also psychological measurement, that’s what I’m talking about much more than the mere physical movement of distance and so on. Why has man been held in this measurement? K:Orang melihat siang dan malam, gu- nung yang tinggi, lembah yang rendah, pria jangkung, pria pendek, wanita, pria, anak, usia tua... - secara fisik ada semua kondisi pengukuran ini. Ada juga pengukuran psikologis, itulah yang saya bicarakan lebih banyak... daripada sekedar gerakan fisik dalam jarak dan sebagainya. Mengapa manusia ditahan dalam pengukuran ini?
28:18 SS: Probably he thinks it’s the way forward, to some extent, because if you’re a farmer and you plant to crop in a certain way, and you get this kind of result, the next year you plant in a different way, and you get that better result. SS: Mungkin dia pikir itu adalah ja- lan ke depan, sampai batas tertentu, karena jika Anda... seorang petani dan Anda menanam untuk memanen dengan cara tertentu, dan Anda mendapatkan hasil seperti ini, tahun berikutnya Anda menanam dengan cara yang berbeda, dan Anda mendapatkan hasil yang lebih baik.
28:32 K: Yes, so it is time.

SS: It’s time.
K: Ya, jadi adalah waktu.

SS: Adalah waktu.
28:35 K: Go on, sir, a bit more. Time. K: Teruskan, Tuan, sedikit lagi. Waktu.
28:45 SS: It includes the ability to reflect, to have experience to reflect on experience to produce something better out of that experience in terms of probably an established notion of what is, you know, what is the good, what is the better thing to have or what is the right situation of things. SS: Ini termasuk kemampuan untuk merefleksikan, untuk memiliki pengalaman untuk merefleksikan pengalaman... agar menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari pengalaman itu, berkenaan dengan... kemungkinan adanya suatu gagasan yang mapan tentang apa adanya, Anda tahu, apa yang baik, apa yang lebih baik untuk dimiliki, atau situasi apa yang tepat.
29:04 K: That is, of course, but I want to go a little further than that. Which is, why has man used time as a means of progress? I’m talking psychologically, not time which is necessary to learn a language, time is necessary to develop a certain technology and so on. TP: Perhaps the need of security of thought for itself. K:Itu, tentu saja, tapi saya mau me- langkah sedikit lebih jauh dari itu, yaitu, mengapa manusia menggunakan waktu sebagai sarana kemajuan? Saya berbicara secara psikologis, bukan waktu yang diperlukan untuk belajar bahasa, waktu diperlukan untuk mengembangkan teknologi tertentu dan sebagainya. TP: Mungkin kebutuhan akan keamanan dari pikiran untuk dirinya sendiri.
29:38 K: No, time, which is measurement. K:Bukan, waktu, yang merupakan pengukuran.
29:43 FM: Do you think that our tendency is, that starting with the facts, the physical facts of difference, in size, in quantity and so forth... FM: Apakah menurut Anda, bahwa kecenderungan kami adalah, bahwa dimulai dengan fakta, fakta fisik dari perbedaan, dalam ukuran, jumlah dan sebagainya...
29:59 K: That’s what I want to get at. K:Itulah yang ingin saya capai.
30:00 FM: We apply that analogically to the psychological process also. FM:Secara analogis, kita menerapkan itu juga ke proses psikologis.
30:05 K: Yes. Or, without measurement there would have been no technology. K: Ya. Atau, tanpa pengukuran tidak akan ada teknologi.
30:16 FM: That’s true. FM: Itu benar.
30:19 K: Sir, I don’t know if you... K: Tuan, saya tidak tahu apakah Anda...
30:22 GN: As in science and mathematics, as it progresses, measurement becomes more and more refined, and each refinement in measurement leads to a further step of progress, computers. GN:Seperti dalam sains dan matematika, seiring perkembangannya, pengukuran menjadi makin lebih halus, dan setiap penyempurnaan dalam pengukuran... mengarah ke langkah kemajuan lebih lanjut, komputer.
30:34 K: We’re not saying that, we’re not denying that. K: Kami tidak mengatakan itu, kami tidak menyangkal itu.
30:40 GN: In one sense, measurement and refinement of measurement do lead to a certain kind of progress, in science and technology.

K: Of course, we said that.
GN: Di satu sisi, pengukuran dan penyempurnaan pengukuran... memang menuju ke semacam kemajuan tertentu, dalam sains dan teknologi.

K:Tentu saja, kita telah katakan itu.
30:49 WR: But we’re not talking of physical measurement so much as psychological measurement. WR: Tapi kita tidak bicarakan tentang pengukuran fisik... sebanyak pengukuran psikologis.
30:54 K: Yes. Why has man used psychological time as a means of self-growth, self-aggrandisement, he calls it ‘getting better’, getting more noble, achieving enlightenment? All that implies time. K: Ya. Mengapa manusia menggunakan waktu psikologis... sebagai sarana pertumbuhan diri, pengembangan diri, dia menyebutnya 'menjadi semakin baik', menjadi lebih mulia, mencapai pencerahan? Semua itu menyiratkan waktu.
31:19 GN: Is it, as Meta says, carried over from the day-to-day living of measurement signs, to the psychological field? Is it carried over or does it exist in the psychological field without reference to this? GN: Apakah, seperti kata Meta, terbawa... dari kehidupan sehari-hari dari tanda-tanda pengukuran, ke bidang psikologis? Apakah itu dibawa atau ada di bidang psikologis, tanpa referensi ke ini?
31:37 K: That’s what we’re discussing. Whether there is any psychological evolution at all. K: Itulah yang sedang kita diskusikan. Apakah memang ada evolusi psikologis.
31:49 SF: Could we say that we began to apply measurement to the psychological field one out of habit, because that’s what we have been using for the physical field, but also could we have made that transfer because it’s very comfortable to think that... SF: Bisakah kita mengatakan bahwa kita mulai menerapkan... pengukuran ke bidang psikologis dari kebiasaan, karena itulah yang kita gunakan untuk bidang fisik, tetapi juga, bisakah kita melakukan transfer itu, karena adalah sangat nyaman untuk berpikir bahwa...
32:03 K: Of course, sir. K: Tentu saja, Tuan.
32:04 SF:...I might be in a mess now but later I’ll be fine. SF:...kini saya mungkin berantakan tapi nanti saya akan baik-baik saja.
32:08 K: Let’s be clear on this. At the technological, physical level, we need time. We need time to acquire a language, time to build a house, time to go from here to there, or time as a developing technology, science, we need time there. So let’s be clear on that. So I’m asking something else. We’re asking something else, which is, do we need time at all psychologically? K: Mari kita perjelas tentang ini. Pada tingkat teknologi, fisik, kita membutuhkan waktu. Kita perlu waktu untuk menguasai bahasa, waktu untuk membangun rumah, waktu untuk pergi dari sini ke sana, atau waktu sebagai teknologi ber- kembang, sains, perlu waktu di situ. Jadi mari kita jelas mengenai itu. Jadi saya bertanya sesuatu yang lain. Kita bertanya tentang sesuatu yang lain, yaitu, apakah kita betul memerlukan waktu secara psikologis?
32:49 Shakuntala Narayan: What is it that creates time? Shakuntala Narayan: Apa yang menciptakan waktu?
32:52 K: Thought, thought is time. K:Pikiran, pikiran adalah waktu.
32:56 SN: Doesn’t thought have something to do with it? SN: Apakah pikiran tidak ada hubungannya dengan itu?
32:58 K: Which is what we’re saying: time is movement, isn’t it? So thought is movement, thought is movement, time is movement, from here to there; one is greedy, envious, I need time to be free of it. Physical distance and psychological distance. One is questioning whether that is not an illusion, not the physical distance, but the psychological distance. Is there, sir, to put it very succinctly, is there psychologically, tomorrow? K:Itulah apa yang kami katakan: waktu adalah gerak, bukan? Jadi pikiran adalah gerak, pikiran adalah gerak, waktu adalah gerak, dari sini ke sana; seseorang serakah, iri hati, saya perlu waktu untuk bebas dari itu. Jarak fisik dan jarak psikologis. Seseorang mempertanyakan apakah itu bukan ilusi, bukan yang jarak fisik, tapi jarak psikologisnya. Apakah ada, Tuan, untuk menjelaskannya dengan ringkas, apakah ada secara psikologis, besok?
33:56 FM: Only in terms of anticipation. FM: Hanya ada dalam hal antisipasi.
33:58 K: Ah, in terms, because thought says, ‘I hope to’. K: Ah, bersyarat, karena pikiran mengatakan, 'Saya harap'.
34:04 FM: And in addition to thought, there is the fact of our physical experience of day and night, and therefore the words ‘tomorrow’, ‘today’. FM: Dan selain pikiran, ada fakta pengalaman fisik kita dari siang dan malam, dan karena itu kata-kata 'besok', 'hari ini'.
34:12 K: We said that very clearly. There’s yesterday, today and tomorrow; that’s a reality, that’s a measurement also. But we are asking, is there psychological time at all, or thought has invented time, psychological time, in order to feel that it can achieve or live in some kind of security? K: Kami telah mengatakan itu dengan sangat jelas. Ada kemarin, hari ini dan besok; itu realitas, itu juga suatu pengukuran. Tapi kita sedang bertanya, apakah memang ada waktu psikologis, atau pikiran telah menemukan waktu, waktu psikologis, untuk merasa bahwa itu dapat dicapai... atau hidup dalam semacam keamanan?
34:52 WR: What is time? WR: Apakah waktu?
34:54 K: Time, sir, time is movement.

WR: Yes. Time is nothing but the unbroken continuity of cause and effect, that is movement.

K: Movement, we said. Cause, effect, effect becomes the cause, and so on, and so on.
K:Waktu, Tuan, waktu adalah gerak.

WR: Ya. Waktu tidak lain adalah kesinambungan sebab dan akibat yang tak terputus, yang adalah gerak.

K: Gerak, telah kita katakan. Sebab, akibat, akibat menjadi sebab, dan seterusnya, dan seterusnya.
35:14 WR: That is time. We give a word called time for that movement. WR: Itu adalah waktu. Kita memberi kata waktu untuk gerak itu.
35:21 K: Yes, which is movement. It’s now five minutes past twelve, it’s a movement till it reaches one o’clock. K: Ya, yang merupakan gerak. Sekarang jam dua lewat lima menit, itu suatu gerak hingga mencapai pukul satu.
35:28 WR: Yes, it is a movement.

K: It’s a movement.
WR: Ya, itu suatu gerak.

K: Ini adalah suatu gerak.
35:30 WR: Movement of cause and effect, continuous. WR: Gerak dari sebab dan akibat, terus menerus.
35:33 K: Yes, that’s one aspect of time. And also the aspect of time which is from here, physical distance. I have to go to London, and it takes time to get there. K: Ya, itu adalah salah satu aspek waktu. Dan juga aspek waktu yang adalah dari sini, jarak fisik. Saya harus pergi ke London, dan butuh waktu untuk sampai di sana.
35:48 WR: Yes, that is another conception of time. WR: Ya, itu konsepsi waktu yang lain.
35:52 K: Another time. We are looking at the various facets of time. K:Waktu yang lain. Kita sedang melihat ke berbagai segi dari waktu.
35:56 WR: Yes, another time. WR: Ya, waktu yang lain.
35:57 MZ: Sir, would you say that thought in itself implies time, because the action of the mind consulting thought, going through the thought process takes, even if it’s a very quick, short amount of time, it is still time. MZ: Tuan, apakah Anda akan mengatakan... bahwa pikiran itu sendiri menyiratkan waktu, karena tindakan dari batin yang berkonsultasi dengan pikiran, melalui proses pemikiran... membutuhkan, bahkan jika itu adalah waktu yang sangat cepat, singkat, itu adalah tetap waktu adanya.
36:13 K: Surely, because thought is response of memory, memory is time. K: Tentu, sebab pikiran... adalah respons dari memori, memori adalah waktu.
36:21 MZ: Then one has to...

K: Yes, memory is time. Right, sir? FM: Yes.
MZ: Maka orang harus...

K: Ya, memori adalah waktu. Benar, Tuan? FM: Ya.
36:30 K: So, please, don’t go back and forth. Let’s stick to one thing, which is, there is physical time – yesterday, today and tomorrow. Time as movement. K: Jadi, tolong, jangan bolak-balik. Mari kita berpegang pada satu hal, yaitu, ada waktu fisik - kemarin, hari ini dan besok. Waktu sebagai gerak.
36:44 FM: What we call chronological time.

K: Chronological time. Let’s call that chronological time. Time also as from distance. Time also to put for the cause, effect – acorn, tree. To climb a mountain – time. So we are saying, time, physically, exists.
FM: Apa yang kita sebut waktu kronologis.

K: Waktu kronologis. Mari kita sebut itu waktu kronologis. Waktu juga sebagai dari jarak. Waktu juga untuk menghubungkan penyebab, efek - biji, pohon. Untuk mendaki gunung - waktu. Jadi kita katakan, waktu, secara fisik, ada.
37:15 FM: Yes.

K: Right, sir? Physically. The baby grows into man and so on. So time is necessary, time exists. That’s an actuality, that is a reality. We are questioning whether psychologically there is time at all. Or thought has invented time as a means of either achieving security or it is lazy to completely transform itself.
FM: Ya.

K: Benar, Tuan? Secara fisik. Bayi tumbuh menjadi dewasa dan seterusnya. Jadi waktu diperlukan, waktu ada. Itu adalah aktualitas, itu realitas. Kami mempertanyakan, apakah benar secara psikologis, waktu ada. Atau pikiran telah menciptakan waktu... sebagai sarana untuk mencapai entah keamanan... atau ia malas untuk sepenuhnya mengubah dirinya.
37:59 FM: Immediately.

K: Immediately. So it says, ‘Give me time’. Give me time to be strong psychologically.
FM: Seketika.

K: Seketika. Jadi ia berkata, 'Beri saya waktu'. Beri saya waktu untuk menjadi kuat secara psikologis.
38:11 FM: Strong in mind.

K: Strong, psychologically strong. Psychologically give me time, so that I get rid of my anger, my jealousy or whatever it is, and I’ll be free of it. So he’s using time as a means of achieving something psychologically.
FM: Kuat dalam batin.

K: Kuat, kuat secara psikologis. Secara psikologis beri saya waktu, sehingga saya buang amarah saya, kecemburuan saya atau apa pun itu, dan saya akan bebas darinya. Jadi dia menggunakan waktu sebagai sarana untuk... mencapai sesuatu secara psikologis.
38:36 MZ: But then one must ask you about the use of the word ‘psychological’ in this instance because if a thought process is involved, and we just said time is implicit in thought, how can you be without thought psychologically? MZ: Tapi kemudian orang harus bertanya kepada Anda... tentang penggunaan kata 'psikologis' dalam hal ini, karena jika proses pemikiran terlibat, dan kita baru saja mengatakan, waktu tersirat dalam pikiran, bagaimana Anda bisa tanpa pikiran secara psikologis?
38:55 K: We are coming to that. K: Kita sedang menuju ke situ.
38:56 MZ: Or is the psychological realm in this discussion, outside of thought, part of thought, or could be either one? MZ: Atau apakah ranah psikologis ada dalam diskusi ini, di luar pikiran, bagian dari pikiran, atau bisa jadi salah satunya?
39:06 K: Isn’t the whole psyche put together by thought? K: Bukankah seluruh jiwa disatukan oleh pikiran?
39:16 SS: There seems to be a question here, whether it is or not. SS:Sepertinya ada pertanyaan di sini, apakah demikian adanya atau tidak.
39:19 K: I’m asking, sir, go slow. Isn’t the whole psyche the ‘me’? K: Saya sedang bertanya, Tuan, lakukanlah dengan perlahan-lahan. Bukankah seluruh jiwa adalah si 'aku'?
39:25 SS: Is that the psyche?

K: Isn’t it, part of that, the ‘me’, what I think, what I want, what I don’t want, what I wish, I wish, and so on, the whole movement, self-centred movement of the ‘me’ is put together by thought.
SS: Apakah itu jiwanya?

K:Bukankah itu, sebagian dari itu, si 'aku', yang saya pikirkan, saya inginkan, tidak saya inginkan, saya harapkan, saya berharap, dan seterusnya, seluruh gerak, gerak terpusat-diri dari si 'aku', disatukan oleh pikiran.
39:43 MZ: If that is so, then how would it be possible for there not to be time involved in any psychological movement? MZ: Kalau begitu, lalu bagaimana mungkin... untuk tidak ada unsur waktu yang terlibat dalam gerak psikologis?
39:50 K: We’re going to go into that. I want first to be clear that our questions are understood. K: Kita akan mendalami hal itu. Saya pertama-tama ingin menjadi jelas bahwa pertanyaan kita dipahami.
39:59 GN: Would you make a distinction, sir, between hope and aspiration, because many people say to aspire is something noble, but hoping is... GN: Apakah Anda akan membedakan, Tuan, antara harapan dan cita-cita, karena banyak orang mengatakan, ber- cita-cita adalah sesuatu yang mulia, tapi berharap adalah...
40:11 K: Aspiring is time. K: Bercita-cita adalah waktu.
40:13 GN: Yes, there is time, but...

K: Hoping is also, yes.
GN: Ya, ada waktu, tapi...

K: Berharap juga, ya.
40:17 GN: But in aspiration there seems to be the idea of something very right. GN: Tetapi dalam cita-cita tampaknya ada... ide tentang sesuatu yang sangat benar.
40:24 K: I aspire to become god – it’s so silly. K: Saya bercita-cita untuk menjadi dewa - ini sangat bodoh.
40:29 GN: In the whole religious world there is aspiration. Would you say that? GN: Dalam seluruh dunia religius ada cita-cita. Apakah Anda akan mengatakan itu?
40:35 WR: Of course, religious traditions, there is aspiration, always. What we discuss is, I think, the point is whether you can see truth without thinking or time, whether seeing truth is now, this moment, or whether you postpone it till you become better. WR: Tentu saja, tradisi agama-agama, selalu ada cita-cita. Apa yang kita diskusikan adalah, Saya pikir, intinya adalah... apakah Anda dapat melihat kebenaran tanpa berpikir atau waktu, apakah melihat kebenaran adalah sekarang, saat ini, atau apakah Anda menunda sampai Anda menjadi lebih baik.
40:57 K: Ah, no.

WR: That is the question.
K: Ah, tidak.

WR: Itu pertanyaannya.
41:00 K: That is, the moment you introduce the word ‘better’... K: Lalu, saat Anda mengajukan kata 'lebih baik'...
41:05 WR: That is what I say.

K: Yes, of course.
WR: Itulah yang saya katakan.

K: Ya tentu saja.
41:08 WR: That is, the other question arises. Now the question is, it is true, you see it now. WR: Lalu, pertanyaan lain muncul. Sekarang pertanyaannya adalah, benar adanya, Anda melihatnya sekarang.
41:20 K: No, we haven't come to truth yet. I am very careful, sir, I don’t want to enter the world of truth yet. One wants to be clear that one’s thinking either is logical, sane, rational, or it comes to a conclusion which is illusory. And so one wants to examine this whole nature of time, psychologically. That’s all I’m talking about. If there is no tomorrow psychologically, our whole action is different. But psychologically, we say, tomorrow is important, tomorrow I will do this, tomorrow I hope to change, psychologically. I’m questioning that, because all our aspirations, hope, everything is based on the future, which is time. K: Tidak, kita belum sampai pada kebenaran. Saya sangat berhati-hati, Tuan, saya belum ingin memasuki dunia kebenaran. Seseorang ingin menjadi jelas, bahwa pikiran seseorang itu entah logis, waras, rasional, atau pikiran itu sampai pada suatu kesimpulan yang adalah ilusi. Dan dengan demikian, seseorang ingin menyelidiki... seluruh sifat waktu ini, secara psikologis. Itu saja yang saya bicarakan. Jika tidak ada hari esok secara psikologis, seluruh tindakan kita berbeda. Tapi secara psikologis, kita katakan, besok itu penting, besok saya akan melakukan ini, besok saya berharap untuk berubah, secara psikologis. Saya mempertanyakan itu, karena semua cita-cita, harapan kita, semuanya didasarkan pada masa depan, yaitu waktu.
42:51 FM: Yes. FM: Ya.
42:54 GN: You would say then, any aspiration, however noble it is, is in the field of reality.

K: In the field of thought, yes.
GN: Kalau begitu, cita-cita apa pun, betapapun mulianya, ada di dalam bidang realitas.

K: Dalam bidang pikiran, ya.
43:05 FM: Yes, because it is a formulation. FM: Ya, karena itu adalah rumusan.
43:07 K: Formulation, by thought. FM: Exactly. So would I be right in saying you are concerned with being free of the time factor totally, in psychological terms. K: Rumusan, oleh pikiran. FM: Tepat. Jadi apakah saya benar dengan mengatakan bahwa Anda prihatin... dengan kebebasan dari faktor waktu secara total, secara psikologis.
43:25 K: Yes, sir. Otherwise I am caught, our mind is living always in a circle. K: Ya, Tuan. Kalau tidak, saya terperangkap, batin kita selalu hidup dalam lingkaran.
43:32 FM: Yes, that is true. We are tied to the past, to that which has become fossilised. FM: Ya, itu benar. Kita terikat pada masa lalu, pada apa yang telah menjadi fosil.
43:40 K: Yes, so the past modifying the present and going off. This past modifying itself into the future is time. So when one says, ‘I will be better’, ‘I will understand’ or ‘I will try’, all these are involved in time. So I question that, whether it’s merely an invention of thought for its own... whatever reason we can go into, and so it is illusory, and so there is no tomorrow. K: Ya, jadi masa lalu memodifikasi masa sekarang dan bergerak. Masa lalu ini mengubah dirinya ke dalam masa depan adalah waktu. Jadi ketika seseorang berkata, 'Saya akan menjadi lebih baik', ‘Saya akan mengerti’ atau ‘Saya akan mencoba’, semua ini terlibat dalam waktu. Jadi saya mempertanyakan itu, apakah itu hanya rekaan pikiran... untuk dirinya sendiri... alasan apa pun yang bisa kita dalami, dan dengan demikian, itu bersifat ilusi, jadi tidak ada hari esok.
44:41 FM: In psychological terms. FM: Secara psikologis.
44:43 K: Of course, we said that very clearly. So if one is envious, which is a sensory response, and therefore thought has created this envy. Now we say, generally we say, give me time to be free of that envy. K: Tentu saja, kami telah mengata- kannya dengan sangat jelas. Jadi jika seseorang iri, yang merupakan respons inderawi, dan karena itu pikiran yang telah menciptakan kecemburuan ini. Sekarang kita katakan, secara umum kita katakan, beri saya waktu untuk bebas dari rasa iri itu.
45:13 FM: Yes, provided we perceive that this is envy. FM: Ya, asalkan kita mempersepsikan bahwa ini iri.
45:17 K: Oh, yes, I’m envious, you’ve a bigger house, better dressed, you’ve more money, all the rest of it. Everybody perceived this envy, this jealousy, this antagonism. So is it possible, being envious, to be free of it instantly, and not allow time to intervene? That is the whole point. K:Oh, ya, saya iri, Anda memiliki... rumah lebih besar, berpakaian lebih baik, Anda punya lebih banyak uang, dan seterusnya.. Semua orang mempersepsikan rasa iri ini, cemburu ini, permusuhan ini. Jadi mungkinkah, dalam keirian, terbebas darinya secara instan, dan tidak memperkenankan waktu untuk campur tangan? Itulah intinya.
45:55 FM: Isn’t the envy, the psychical reaction to what is perceived through the senses? FM: Bukankah rasa iri... merupakan reaksi psikis terhadap apa yang dipersepsikan melalui indera?
46:05 K: Yes, that’s right. K: Ya, itu benar.
46:06 FM: And are not the sense functionings... FM:Dan bukankah fungsi-fungsi indra...
46:11 K:...actual. FM:...yes, they are – determined by actual physical conditions? K:....aktual. FM:...ya, mereka - ditentukan oleh kondisi fisik aktual?
46:31 K: Yes, obviously. K: Ya, tentu saja.
46:33 FM: So psychical reaction follows the sensuous activity. And that involves the pleasure/pain drive within us. FM: Jadi reaksi psikis mengikuti aktivitas sensual. Dan itu melibatkan dorongan kese- nangan/rasa sakit dalam diri kita.
46:45 K: Obviously. One sees you driving in a big lovely car. And I’m driving a small car – so there is comparison. K: Jelas sekali. Seseorang melihat Anda mengendarai mobil besar yang indah. Dan saya mengendarai mobil kecil - jadi ada perbandingan.
46:57 FM: Yes. The comparison arises surely, partially through what others have put before us, that this is better than that.

K: Than that.
FM: Ya. Perbandingan muncul, tentu saja, sebagian melalui apa yang orang lain letakkan di hadapan kita, bahwa ini lebih baik dari itu.

K: Dari pada itu.
47:17 FM: This is more pleasant or this is less pleasant. FM: Ini lebih menyenangkan atau ini kurang menyenangkan.
47:20 K: That begins from childhood. K: Itu dimulai sejak kecil.
47:23 FM: So we get into the psychological habit. FM: Jadi kita masuk ke dalam kebiasaan psikologis.
47:26 K: That begins in childhood. FM: Yes. K: Itu dimulai sejak kecil. FM: Ya.
47:28 K: You are not as good as your brother in examinations, and the whole education system is based on this comparative evaluation of one’s capacities. Now we’re going, you see, we’re moving away from... K:Anda tidak sebagus saudara Anda... dalam ujian, dan seluruh sistem pendidikan... didasarkan pada evaluasi pemban- dingan ini dari kapasitas seseorang. Sekarang kita sedang melenceng, Anda tahu, kita menjauh dari...
47:48 WR: Yes, the main thing. WR: Ya, hal utama.
47:51 SF: Yes, sir, didn’t we just come to the fact that anything that is involved in measurement and thought cannot get rid of measurement and thought. SF: Ya, Tuan, bukankah kita baru saja sampai pada fakta... bahwa apa pun yang terlibat dalam pengukuran dan pikiran tidak bisa menyingkirkan pengukuran dan pikiran.
48:06 K: First, it must realize the actuality of it. Not say, ‘Yes, I’ve understood it, intellectually’. K: Pertama, ia harus mewaspadai aktualitas itu. Tidak mengatakan, "Ya, saya sudah memahaminya, secara intelektual".
48:15 SF: Does it realize that with thought? SF: Apakah itu disadari dengan pikiran?
48:19 K: No. K: Tidak.
48:20 SF: So then what is the... SF: Jadi apa...
48:21 K: Wait, we’re coming to that, slowly, wait. Do we see that we’ve used time psychologically and so that psychological usage of time is an illusion. That's first I want to see. We must be clear on that point. I will reach heaven. I will become enlightened. I will eventually, through various series of lives, or one life, achieve Nirvana, Moksha, all this. All that is psychological time. We are questioning whether that thing is an illusion. If it is an illusion, it is part of thought. K: Tunggu, kita sedang menuju ke itu, perlahan, tunggu. Apakah kita melihat bahwa kita telah menggunakan waktu secara psikologis, dan karenanya, penggunaan waktu secara psikologis adalah suatu ilusi. Itu pertama-tama ingin saya lihat. Kita harus jelas tentang hal itu. Saya akan mencapai surga. Saya akan menjadi tercerahkan. Saya akhirnya akan, melalui berbagai seri kehidupan, atau satu kehidupan, mencapai Nirvana, Moksha, semua ini. Semua itu adalah waktu psikologis. Kita pertanyakan apakah hal itu adalah ilusi. Jika itu adalah ilusi, itu adalah bagian dari pikiran.
49:18 SF: Right. Now we can’t, we don’t use thought in order to see all this. SF: Benar. Sekarang kita tidak bisa, kami tidak menggunakan pikiran agar melihat semua ini.
49:23 K: No. Wait. Do we understand even verbally? K: Tidak. Tunggu. Apakah kita paham meski secara verbal?
49:27 SF: Even with thought?

K: With thought. Communication now is, between us, through words. Those words have been accumulated and so on, and we both of us speak, apparently for the moment we speak, both of us, in English, we understand the meaning. Now, do we see – see, not through argument, through explanation, through rationalization, that thought has created this psychological time as a means of achieving something.
SF: Bahkan dengan pikiran?

K: Dengan pikiran. Komunikasi sekarang adalah, di antara kita, melalui kata-kata. Kata-kata itu telah terakumulasi dan seterusnya, dan kita berdua berbicara, tampaknya untuk saat kita berbicara, kita berdua, dalam bahasa Inggris, kita mengerti artinya. Sekarang, apakah kita melihat, - melihat, bukan melalui argumen, melalui penjelasan, melalui rasionalisasi, bahwa pikiran telah menciptakan waktu psikologis ini... sebagai sarana mencapai sesuatu.
50:12 MZ: So we can see that still within the thought process, still within the realm of thought.

K: Now, wait.
MZ: Jadi kita bisa melihat itu masih dalam proses pemikiran, masih dalam ranah pikiran.

K: Sekarang, tunggu.
50:20 MZ: Is that the seeing you’re talking about? MZ: Apakah itu arti melihat yang Anda bicarakan?
50:22 K: No, I’m coming to that. I’m coming to that slowly, I want to lead up to it, otherwise it won’t be clear. Am I all right, we are following each other, sir, or not? K:Tidak, saya sedang datang ke situ. Saya datang ke situ dengan lambat, saya ingin mengarah ke situ, jika tidak maka tidak akan menjadi jelas. Apakah saya benar, kita saling mengikuti, Tuan, atau tidak?
50:33 WR: I am following. WR: Saya mengikuti.
50:34 K: Is this accurate, sir? K: Apakah ini akurat, Tuan?
50:37 WR: That I can’t say still. Still I can’t tell you. Because I don’t know where we are going. WR: Itu saya masih tidak bisa bilang. Masih saya tidak bisa memberi tahu Anda. Karena saya tidak tahu ke mana kita akan pergi.
50:45 K: I don’t know where I’m going either, but this is a fact. K: Saya juga tidak tahu ke mana saya akan pergi, tetapi ini adalah fakta.
50:49 WR: Yes, yes. That’s right. That is, I am watching. WR: Ya, ya. Betul, yaitu, saya sedang mengamati.
50:53 GN: I think, there’s also some difficulty in apprehending what you’re saying because there is maturity and growth in nature, through time. GN: Saya pikir, ada juga beberapa kesulitan... dalam memahami apa yang Anda katakan, karena ada pendewasaan dan pertumbuhan di alam, melalui waktu.
51:04 K: We’ve been through that, Narayan. Don’t go back to it.

GN: I’m not going back to it, but unconsciously you’re identified with it. Is there maturity and growth in human beings, through time? There is some kind of maturity through time.
K: Kita sudah membahas itu, Narayan. Jangan kembali ke sana.

GN: Saya tidak kembali ke sana, tetapi secara tidak sadar Anda diidentifikasikan dengannya. Apakah ada kedewasaan dan pertumbuhan dalam diri manusia, melalui waktu? Ada semacam kedewasaan melalui waktu.
51:18 K: We said that. K: Kami mengatakan itu.
51:19 GN: Yes, so one gets stuck to it. GN: Ya, jadi orang terjebak padanya.
51:22 K: One holds on, is attached to this idea of time as self-improvement, not only physically but psychologically. K: Seseorang bertahan, melekat pada gagasan dari waktu ini, sebagai perbaikan-diri, tidak hanya secara fisik tetapi secara psikologis.
51:37 GN: I don’t even say ‘self-improvement’ – maturity. GN: Saya bahkan tidak mengatakan 'perbaikan-diri' - kedewasaan.
51:40 K: No. K: Tidak.
51:41 GN: A kind of natural growth, natural – comparing yourself with nature, as you see all over. GN: Semacam pertumbuhan alami, alami, membandingkan diri Anda dengan alam, seperti yang Anda lihat di mana-mana.
51:48 K: Yes, but therefore, wait, what do you mean by maturity? We may have different meanings to that word, to mature. A tree is mature at a certain age, a human being physically is mature at a certain age. And mature cheese! K: Ya, tapi karena itu, tunggu, apa yang Anda maksud dengan kedewasaan? Kita mungkin memiliki arti berbeda dengan kata itu, menjadi dewasa. Sebuah pohon dewasa pada usia tertentu, seorang manusia secara fisik sudah dewasa pada usia tertentu. Dan keju tua (mature cheese)!
52:15 GN: Yes, the whole, the fruit from the bud. GN: Ya, keseluruhan, buah dari kuncup.
52:19 K: Yes, the fruit is matured to be picked. And so on. But is there psychological maturity at all? That’s my whole point. TP: Perhaps there is a factor of life, intellectual maturity which is mental level and... K: Ya, buah sudah matang untuk dipetik. Dan seterusnya. Tetapi benar adakah kematangan psikologis? Itulah seluruh poin saya. TP: Mungkin ada suatu unsur kehidupan, kematangan intelektual yang merupakan tingkat mental dan...
52:40 K: Yes, sir, I agreed, you’re going... K: Ya, Tuan, saya setuju, Anda akan...
52:43 MZ: Within the illusory world, psychologically, there is a certain maturity, but it’s still founded on thought and time. MZ: Dalam dunia ilusi, secara psikologis, ada kedewasaan tertentu, tetapi masih didasarkan pada pikiran dan waktu.
52:53 K: Yes, but I’m just asking, Maria, do we understand clearly, even verbally and so intellectually, that we have used time as a psychological catalyst to bring about change? Right? K: Ya, tapi saya hanya bertanya, Maria, apakah kita paham... dengan jelas, bahkan secara verbal, dengan demikian secara intelektual, bahwa kita telah menggunakan waktu sebagai katalis psikologis... untuk membawa perubahan? Benar?
53:17 WR: That is... WR: Itu...
53:18 K: And I’m questioning that catalyst. K: Dan saya mempertanyakan katalis itu.
53:22 FM: May I enquire, sir: what precisely do you mean when you say, ‘Do we see that psychological time is an illusion?’ – what do you mean by the word ‘see’? FM: Boleh saya bertanya, Tuan:... apa yang sebenarnya Anda maksudkan saat berkata, 'Apakah kita melihat bahwa waktu psikologis adalah ilusi?' - apa yang Anda maksud dengan kata 'lihat'?
53:35 K: See, I mean by that word ‘see’, observe without the interference of thought. K: Lihat, maksud saya dengan kata 'lihat', mengamati tanpa campur tangan pikiran.
53:45 FM: That means, to be completely conscious, to be completely aware of psychological time being an illusion as a fact. FM: Itu artinya, untuk sepenuhnya sadar, untuk sepenuhnya sadar... akan waktu psikologis sebagai suatu ilusi adalah fakta.
53:53 K: Yes, to see this is like I see a snake, and I don’t mistake it for a rope. K: Ya, melihat ini adalah seperti saya melihat seekor ular, dan saya tidak salah mengiranya sebagai seutas tali.
54:01 FM: No. So you would agree that that involves, – would you agree? – that that involves a complete transformation of your mode of awareness, your consciousness? When you’re really conscious of something, you don’t have to... FM: Tidak. Jadi, Anda setuju bahwa itu melibatkan, - apakah Anda setuju? - bahwa itu melibatkan suatu transformasi lengkap... dari modus kewaspadaan Anda, kesadaran Anda? Saat Anda benar-benar menyadari sesuatu, Anda tidak perlu...
54:17 K: Now, wait a minute. Again, sir, the word ‘consciousness’ and ‘conscious’... K: Sekarang, tunggu sebentar. Sekali lagi, Tuan, kata 'kesadaran' dan 'sadar'...
54:22 FM: Those are difficult words.

K: Those are difficult words. I see this, can I see this and not call it a microphone?
FM: Itu kata-kata yang sulit.

K: Itu kata-kata yang sulit. Saya melihat ini, dapatkah saya melihat ini dan tidak menyebutnya mikrofon?
54:40 FM: Yes.

K: Not call it, but see the shape, just to observe without any reflection.
FM: Ya.

K:Bukan menyebutnya, tapi melihat bentuknya, hanya mengamati tanpa refleksi.
54:48 FM: Quite, without naming it.

K: Naming it, all the rest of it.
FM:Tepat, tanpa menamainya.

K: Memberi nama, semua itu.
54:51 FM: Analysing.

K: Analysing it.
FM: Menganalisis.

K: Menganalisisnya.
54:53 FM: In other words, to see is a whole seeing... FM: Dengan kata lain, melihat adalah melihat seutuhnya...
54:56 K: Seeing. K: Melihat.
54:57 FM:...almost in the sense of your being what you see. FM:...hampir dalam arti keberadaan Anda yang Anda lihat.
55:01 K: No, no. That becomes then a duality, you become that. No. K: Tidak, tidak. Itu kemudian menjadi dualitas, Anda menjadi itu. Tidak.
55:07 FM: You don’t become that in the sense that you are merged into it. But you are awake in terms of a unitary whole. FM: Anda tidak menjadi itu... dalam arti bahwa Anda melebur ke dalamnya. Tetapi Anda bangun dalam suatu kesatuan yang utuh.
55:19 K: Just a minute, sir. These again are rather difficult words. K:Tunggu sebentar, Tuan. Sekali lagi ini adalah kata-kata yang agak sulit.
55:22 WR: I don’t think that is what he means. No. WR: Saya tidak berpikir bahwa itu yang dia maksud. Tidak.
55:28 K: Sir, to observe implies – first, let’s look at it as it is generally understood – to observe a tree, I name it. FM: Yes. K: Tuan, untuk mengamati menyiratkan... - terlbih dulu, mari kita lihatnya seperti yang dipahami secara umum - untuk mengamati pohon, saya memberi nama. FM: Ya.
55:40 K: I like it or don’t like it. And so on, so on. But we mean by observation, seeing; is it to listen first, and not make an abstraction of it into an idea and then the idea sees. FM: Quite. I wonder if you see?

WR: Yes, yes.
K: Saya menyukainya atau tidak menyukainya. Demikian seterusnya. Tetapi yang kita maksudkan dengan observasi, melihat, apakah mendengarkan terlebih dahulu, dan tidak membuat abstraksi darinya menjadi sebuah ide... dan kemudian ide itu melihat. FM: Tepat.

K:Saya berpikir apakah Anda melihat?

WR: Ya, ya.
56:12 K: Say, for instance, I said a little earlier that psychologically there is no time, psychological time is the invention of thought, and may be an illusion. Now, to listen to that without interpreting it, what do you mean by rationalizing it, or saying, ‘I don’t understand’, ‘I do understand’, just to listen to that statement, not make an idea of it, but just to listen. As one listens that way, in the same way observe, see. What do you say, sir? K: Katakan, misalnya, sedikit lebih awal tadi, saya katakan, bahwa secara psikologis, waktu tidak ada, waktu psikologis adalah penemuan dari pikiran, dan mungkin merupakan ilusi. Sekarang, mendengarkan itu tanpa menafsirkannya, apa yang Anda maksud dengan merasionalisasikannya, atau mengatakan, 'Saya tidak mengerti', 'Saya mengerti', hanya sekedar mendengarkan pernyataan itu, tidak membuat ide dari itu, tetapi hanya mendengarkan. Saat orang mendengar seperti itu, dengan cara sama, mengamati, melihat. Bagaimana menurut Anda, Tuan?
57:23 WR: I want to ask you what are you trying to tell us? WR: Saya ingin bertanya kepada Anda, apa... yang Anda ingin sampaikan kepada kami?
57:26 K: I’m trying to say, sir, that truth cannot possibly be perceived, seen, through time. K: Saya mencoba mengatakan, Tuan, bahwa kebenaran tidak mungkin di- persepsikan, dilihat, melalui waktu.
57:44 WR: Right. WR: Benar.
57:46 K: Wait a minute, you can’t agree. K: Tunggu sebentar, Anda tidak bisa setuju.
57:48 WR: Not agree, I see it. That is why I was waiting to ask you what are you trying to say. WR: Tidak setuju, saya melihatnya. Itu sebabnya saya menunggu untuk bertanya kepada Anda, apa yang Anda ingin sampaikan.
57:56 K: I’m trying to say that – I’m not trying, I’m saying. K: Saya mencoba mengatakan bahwa... - saya tidak berusaha, saya mengatakan.
58:02 WR: Yes, of course. What you want to say. WR: Ya tentu saja. Apa yang ingin Anda katakan.
58:07 K: Sorry. I’m saying that man through comparison with the outer world, has created a psychological time as a means of achieving a desired rewarding end. K: Maaf. Saya mengatakan bahwa orang melalui pembandingan dengan dunia luar, telah menciptakan waktu psikologis... sebagai sarana guna pencapaian tujuan bermanfaat yang diinginkan.
58:34 WR: I agree. WR: Saya setuju.
58:35 K: No, do you see that as a fact – fact in the sense it’s so? K: Tidak, apakah Anda melihatnya sebagai fakta... - fakta dalam arti demikian adanya?
58:50 SF: Is the facility of the mind that sees that, the same facility that sees truth? SF: Apakah fasilitas batin yang melihat itu, fasilitas yang sama yang melihat kebenaran?
58:58 K: Look, Scott, first you listen, don’t you, to that statement? K:Begini, Scott, mulanya Anda men- dengar, bukan, pada pernyataan itu?
59:04 SF: Yes. SF: Ya.
59:05 K: How do you listen to that statement? K: Bagaimana Anda mendengar pernyataan itu?
59:12 SF: Well, at first I just listen.

K: You listen. Do you make an idea of it?

SF: Often, later, yes.
SF: Ya, pada awalnya saya hanya mendengar.

K:Anda mendengar. Apakah Anda membuat ide tentang itu?

SF: Seringkali, kemudian, ya.
59:20 K: No. It’s a simultaneous process going on. You listen and you get an idea of it, and the idea is not the actual observation. That’s all I’m saying. K: Tidak. Ini proses simultan yang sedang berlangsung. Anda mendengar dan Anda mendapatkan ide tentang itu, dan ide itu bukanlah pengamatan yang sebenarnya. Itu saja yang saya katakan.
59:41 SF: But if there is that... SF: Tetapi jika itu ada...
59:43 K: No, this is, sir, from Greeks and the Hindus, all our whole structure is based on ideas. And we are saying, idea is not actual happening, which is the actual listening. K: Tidak, ini adalah, Tuan, dari orang Yunani dan Hindu, semua struktur kita didasarkan pada ide. Dan kami katakan, ide bukan yang sebenarnya terjadi, yang mana adalah mendengar yang sebenarnya, aktual.
1:00:11 FM: The idea is just a picture of the actual listening. FM: Ide hanyalah gambaran dari mendengar yang sebenarnya.
1:00:14 K: Yes. Which is an evasion, an avoidance of actual observation. K: Ya. Yang merupakan pengelakan, pengelakan dari observasi aktual.
1:00:21 FM: Of the immediate fact.

K: Yes, looking or listening.
FM: Dari fakta langsung.

K: Ya, melihat atau mendengar.
1:00:27 SS: Then there may be something which we are evading constantly. SS: Lalu mungkin ada sesuatu yang kita hindari terus-menerus.
1:00:32 WR: Yes. WR: Ya.
1:00:35 SS: I would like to suggest that, as we’ve been talking about thought and the various things which it has devised in order to create some kind of freedom or liberation or salvation or redemption, that there may be some driving factor which is part of thought or there may be a driving factor which accounts for this, which may be sorrow. SS:Saya ingin menyarankan, sebab kita telah berbicara tentang pikiran... dan berbagai hal yang telah dirancangnya... untuk menciptakan semacam kebebasan... atau pembebasan atau keselamatan atau penebusan, bahwa mungkin ada faktor pendorong tertentu... yang merupakan bagian dari pikiran... atau mungkin ada faktor pendorong... yang menyebabkan ini, yang mungkin merupakan kesedihan.
1:01:03 K: Yes, sir, escape from pain through reward. K: Ya, Tuan, melarikan diri dari rasa sakit melalui imbalan.
1:01:11 SS: It seems to apply to the most sophisticated and the more primitive civilizations, all of them.

K: Obviously. Because all our thinking is based on these two principles – reward and punishment. Our reward is enlightenment, God, Nirvana or whatever you like to call it, away from anxiety, guilt, all the pain of existence, you know, all the misery of it all.
SS: Sepertinya itu berlaku... pada peradaban paling canggih dan yang lebih primitif, mereka semua.

K: Jelas sekali. Karena semua pemikiran kita... didasarkan pada dua prinsip ini, - penghargaan dan hukuman. Imbalan kita adalah pencerahan, Tuhan, Nirvana atau apa pun yang Anda suka menyebutnya, menjauh dari kecemasan, rasa bersalah, semua rasa sakit dari keberadaan, Anda tahu, semua kesengsaraan dari semua itu.
1:01:43 FM: Is it not possible to be free from the idea of reward or punishment? FM: Apakah tidak mungkin untuk bebas... dari ide penghargaan atau hukuman?
1:01:47 K: That’s what I’m saying. As long as our minds are thinking in terms of reward and punishment, that is time. K: Itulah yang saya katakan. Selama batin kita berpikir dalam kaitan penghargaan dan hukuman, itu adalah waktu.
1:02:01 FM: How is it that our minds think that way? FM: Bagaimana mungkin batin kita berpikir seperti itu?
1:02:05 K: Because we’re educated that way. FM: Yes, true. K: Karena kita dididik seperti itu. FM: Ya, benar.
1:02:08 K: We are conditioned from childhood, from the time of the Greeks in the West, because there measurement was important, otherwise you couldn’t have got all this technological knowledge. K: Kita dikondisikan sejak kecil, dari zaman Yunani di Barat, karena di sana, pengukuran itu penting, jika tidak, Anda tidak akan mendapat- kan semua pengetahuan teknologi ini.
1:02:24 FM: And would you say that this is due to the fact that we are tied to the idea of a separate ‘me’, a separate ‘I’? Supposing one sees, hears, touches, etc., all in terms of a wholeness, an awareness of wholeness. FM: Dan apakah Anda akan mengatakan bahwa ini disebabkan oleh fakta... bahwa kita terikat pada ide 'saya' yang terpisah, 'aku' yang terpisah? Andaikata seseorang melihat, mendengar, menyentuh, dll., semua dalam keterkaitan suatu keutuhan, kewaspadaan akan keutuhan.
1:02:48 K: You can’t be aware of the wholeness, unless you have understood – not you, sir – unless one has understood the movement of thought. K: Anda tidak bisa waspada akan keutuhan, kecuali jika Anda mengerti... - bukan Anda, Tuan - kecuali orang telah memahami gerak pikiran.
1:03:02 FM: The movement of thought. FM: Gerak pikiran.
1:03:03 K: Because thought is in itself limited. K: Karena pikiran itu sendiri terbatas.
1:03:07 FM: Yes, of course, which means the intrusion of the self-consciousness as a separate something. FM:Ya, tentu saja, itu artinya... ikut turut campurnya, intrusi, kesadaran diri... sebagai sesuatu yang terpisah.
1:03:16 K: Yes. FM: Otherwise it won’t be there. K: Ya. FM:Kalau tidak, ia tidak akan ada di sana.
1:03:20 K: Sir, how did this self-separative consciousness come into being? K: Tuan, bagaimana kesadaran pemisahan-diri ini muncul?
1:03:27 FM: Conditioning in the first instance. FM: Pengondisian dalam contoh pertama.
1:03:29 K: It’s so obvious. K: Sangat jelasnya.
1:03:31 FM: I, you, me.

K: Of course, measurement.
FM: Saya, Anda.

K: Tentu saja, pengukuran.
1:03:33 FM: Measurement, exactly. And that analogically, inevitably gets transferred to the realm of the psyche, the realm of the mind...

K: Of course.
FM: Pengukuran, tepat sekali. Dan analogi itu, mau tidak mau ditransfer ke dunia jiwa, ranah batin...

K: Tentu saja.
1:03:47 FM:...or whatever it is. FM:...atau apa pun itu.
1:03:48 K: So we come to this point, you make a statement that psychological time has been used by man as a means of achieving his reward. It’s so obvious. And that reward is away from the pain which he’s had. So we are saying, this search for reward or the achievement of the reward is a movement of time. And is there such a thing at all? We have invented it, it may be illusion. And from this illusion I can’t go to reality – I mean to truth. So the mind must be totally, completely free of this movement of measurement. Is that possible? K: Jadi kita sampai pada titik ini, Anda membuat pernyataan, bahwa waktu psikologis telah digunakan oleh manusia... sebagai sarana untuk mencapai imbalannya. Sangat jelas. Dan imbalan itu menjauh dari rasa sakit yang dia miliki. Jadi kita katakan, pencarian ini untuk imbalan atau pencapaian imbalan... adalah suatu pergerakan waktu. Dan benar adakah hal semacam itu? Kita telah menemukannya, itu mungkin ilusi. Dan dari ilusi ini saya tidak bisa pergi ke realitas, maksud saya ke kebenaran. Jadi batin harus benar-benar bebas sepenuhnya... dari gerak pengukuran ini. Apakah itu mungkin?
1:05:21 FM: As a short answer, I would simply say yes. FM: Sebagai jawaban singkat, saya hanya akan mengatakan, ya.
1:05:26 K: Yes. Either you say yes as a logical conclusion, or a speculative assertion, or a desired concept, or it is so. K: Ya. Entah Anda mengatakan ya sebagai kesimpulan logis, atau pernyataan spekulatif, atau konsep yang diinginkan, atau memang begitu.
1:05:53 FM: Yes, an ‘of-courseness’ is there. If there is a sense of ‘of-courseness’ – ‘of course, it is so’ – then there is...

K: Then I assume it is so, but I go on the rest of my life moving in the other direction.
FM: Ya, ada 'tentu-saja' di sana. Jika ada rasa 'tentu-saja'... - ‘tentu-saja, memang begitu’ - lalu ada...

K:Lalu saya berasumsi memang begitu, tapi saya melanjutkan, selama sisa hidup saya, bergerak ke arah lain.
1:06:10 FM: If one really sees...

K: Ah, that’s what we are saying.
FM:Jika orang benar-benar melihat...

K: Ah, itu yang kami katakan.
1:06:14 FM:...then one doesn’t go in the other direction. FM:...lalu seseorang tidak pergi ke arah lain.
1:06:17 K: So that’s what we’re saying, do we see it, or is it, we think we see it? K:Jadi itulah yang kami katakan, apakah kita melihatnya, ataukah, kita pikir kita melihatnya?
1:06:26 FM: Quite. FM: Benar.
1:06:29 MZ: Can we go back for a moment? You said you observe, you hear the statement, you observe it. Actually what does the mind do in that observation? MZ: Bisakah kita kembali sebentar? Anda mengatakan Anda mengamati, Anda mendengar pernyataan itu, Anda mengamatinya. Sebenarnya, apa yang dilakukan batin dalam pengamatan itu?
1:06:47 K: Please, if I can put it this way: please don’t accept what one is saying but let’s find out. Observation in the sense implies a seeing without naming, without measuring, without a motive, without an end. Obviously. That is actually seeing. The word ‘idea’ from the Greek, the word itself means to observe. K: Tolong, jika saya bisa mengutarakannya begini:... tolong jangan terima apa yang dikatakan seseorang, tapi mari kita cari tahu. Pengamatan dalam arti itu menyiratkan penglihatan tanpa penamaan, tanpa mengukur, tanpa motif, tanpa akhir. Jelas sekali. Itu benar-benar melihat. Kata 'idea', ide, dari bahasa Yunani, kata itu sendiri berarti mengamati.
1:07:31 MZ: But, sir, we would probably all agree with that. And what is acting at that moment? It is a kind of logic, I think, in most people. MZ: Tapi, Tuan, kita semua mungkin setuju dengan itu. Dan apa arti bertindak pada saat itu? Ini semacam logika, menurut saya, pada kebanyakan orang.
1:07:40 K: No. K: Tidak.
1:07:41 MZ: It seems very evident what you’ve said. MZ: Tampaknya sangat jelas apa yang Anda katakan.
1:07:42 K: Observation implies silence and not forming any conclusion, just to observe silently, without any psychological or sensory response, except either visual or inward, insight without the responses of memory. K:Pengamatan menyiratkan keheningan, dan... tidak membentuk kesimpulan apa pun, hanya mengamati secara hening, tanpa respons psikologis atau sensorik, kecuali salah satu, visual atau batiniah, wawasan tanpa tanggapan dari memori.
1:08:13 WR: Without any value judgement.

K: Yes.
WR:Tanpa pertimbangan nilai apa pun.

K: Ya.
1:08:20 FM: Would you say, sir, that implies without any reaction from the brain or the senses or...

K: Yes, sir, that. In a way, that’s dangerous thing to bring in the brain. Because then we have to go into the whole question of – you know, I don’t want to go into the question of ‘brain’ for the moment. It implies that, that means, thought is absolutely quiet in observation.
FM: Apakah Anda mengatakan, Tuan, bahwa itu menyiratkan tanpa... reaksi apa pun dari otak... atau indera atau...

K: Ya, Tuan, itu. Di satu sisi, adalah berbahaya untuk menyertakan otak ke dalam ini. Karena dengan begitu, kita harus membahas seluruh persoalan... - Anda tahu, saya tidak ingin masuk... ke dalam persoalan dari 'otak' untuk saat ini. Ini menyiratkan bahwa, itu berarti, pikiran benar-benar diam dalam pengamatan.
1:09:00 FM: Scientists, for example, who have really new remarkable inspirations, or, again, great artists, when they create wonderful things, this happens when everything is quiet inside, which allows this new to emerge, the new, the truly new, the pulse of creation. FM: Para ilmuwan, misalnya, yang memiliki inspirasi luar biasa yang benar-benar baru, atau, sekali lagi, seniman-seniman hebat, ketika mereka menciptakan hal-hal indah, ini terjadi ketika semuanya tenang di dalam, yang memungkinkan hal-hal yang baru ini untuk muncul, yang baru, yang benar-benar baru, denyut penciptaan.
1:09:32 K: Yes, sir, but that insight is partial. The scientist’s insight or perception is partial. K: Ya, Tuan, tetapi wawasan itu parsial. Wawasan atau persepsi para ilmuwan adalah parsial.
1:09:45 FM: Partial, yes. That is to say, the formulation of that insight. FM: Parsial, ya. Artinya, perumusan dari wawasan itu.
1:09:52 K: Ah, his insight is not only formulation, but the very fact of his insight, because insight implies a whole transformation of his daily life, it isn’t just, I’m a scientist and I have an insight into mathematics, into matter, into the atom. Insight implies the way the man lives as a whole. K: Ah, wawasannya bukan hanya formulasi, tetapi fakta yang sebenarnya dari wawasannya, karena wawasan menyiratkan... suatu transformasi lengkap dari kehidupan sehari-harinya, bukan hanya, saya seorang ilmuwan dan saya memiliki wawasan... ke dalam matematika, ke dalam materi, ke dalam atom. Wawasan menyiratkan cara manusia hidup secara suatu keutuhan.
1:10:24 WR: That is perfectly so. WR: Benar sekali.
1:10:25 FM: And any insight is a particular manifestation rooted in the background of the whole. FM: Dan wawasan apa pun adalah manifestasi khusus, berakar pada latar belakang dari keutuhan.
1:10:36 K: Ah, no, we go off into something. I won’t accept, sorry, not ‘I wouldn’t accept’, it’s rather confusing, that. Sir, let us talk a little bit about insight, or seeing. Insight implies an observation in which there is no remembrance of things past, therefore the mind is alert, free from all the elements and so on, just to observe. Only then you have an insight. But that insight of which we are talking about, implies his whole life, not as a scientist, as an artist. They have partial insight. K: Ah, tidak, kita melenceng ke sesuatu. Saya tidak akan menerima, maaf, bukan ‘Saya tidak akan menerima’, itu agak membingungkan. Pak, mari kita bicara sedikit tentang wawasan, atau melihat. Wawasan menyiratkan... suatu pengamatan di mana tidak ada ingatan akan hal-hal masa lalu, oleh karena itu batin siaga, bebas dari semua elemen dan sebagainya, hanya untuk mengamati. Hanya dengan begitu Anda memiliki suatu wawasan. Tapi wawasan yang sedang kita bicarakan, menyiratkan seluruh kehidupannya, bu- kan sebagai ilmuwan, sebagai seniman. Mereka memiliki wawasan yang parsial..
1:11:38 WR: That is only a small fragment. WR: Itu hanya fragmen kecil.
1:11:40 K: Fragment of insight, but that’s not what we’re talking. So it comes to this. K: Fragmen dari wawasan, tapi bukan itu yang sedang kita bicarakan. Jadi, itu tiba ke titik ini..
1:11:47 WR: And what we talk of is whole existence. WR: Dan apa yang kita bicarakan adalah keberadaan utuh.
1:11:51 K: Of course, man’s existence.

WR: Existence, yes.
K: Tentu saja, keberadaan manusia.

WR: Keberadaan, ya.
1:11:59 FM: So in that state of observation which you’re talking of, there is no reaction whatsoever.

K: Of course, obviously. It isn’t cause/effect reaction. FM: Quite. It’s free of causality.

K: Of course, obviously, otherwise we are back in the old cause being a motive and so on.
FM: Jadi dalam kondisi pengamatan yang sedang Anda bicarakan, di situ sama sekali tidak ada reaksi.

K: Tentu saja, jelas. Ini bukan reaksi sebab/akibat. FM: Benar. Ini bebas dari hubungan sebab-akibat.

K: Tentu saja, jelas, kalau tidak kita kembali pada masalah lama dengan motif dan sebagainya.
1:12:27 WR: And that seeing is beyond time. It is beyond time, that seeing is not limited or caught in time. WR: Dan melihat itu adalah di luar waktu. Itu adalah di luar waktu, bahwa melihat tidak terbatasi atau terperangkap dalam waktu.
1:12:41 K: And that insight is not involved in time. K: Dan wawasan itu tidak terlibat dalam waktu.
1:12:45 WR: That’s right. And naturally, it is neither cause or effect. WR: Benar. Dan tentu saja, itu bukan sebab atau akibat.
1:12:52 K: Yes. But, wait a minute. Have you – not you, sir – have we got this insight into – wait, just a minute, let me finish – into this psychological invention of time by thought, as achieving some result? Have got insight, do you see it, or it is just at a verbal, ideological level? K: Ya. Tapi tunggu sebentar. Sudahkah Anda - bukan Anda, Tuan - sudahkah kita memiliki wawasan... - tunggu, tunggu sebentar, biarkan saya selesaikan - dalam rekaan psikologis mengenai waktu oleh pikiran, sebagai pencapaian hasil tertentu? Sudah mendapat wawasan, apakah Anda melihatnya, atau hanya pada tingkat verbal, ideologis?
1:13:22 WR: Or whether it is a fact.

K: No.
WR: Atau apakah itu fakta.

K: Tidak.
1:13:25 WR: That psychological time necessary for seeing. WR: Bahwa waktu psikologis adalah perlu untuk melihat.
1:13:30 K: No, sir. We went into this question. Man has invented time, psychologically, to achieve a desired end, purpose, reward. Does one see this as an idea, or it is so? It’s so obvious it is so. Then how is man – this is the point – how is man, a human being, to totally move away from that, totally transform this whole concept of time? I say it’s only possible when you have an insight into this whole thing, which doesn’t involve effort, which doesn’t involve concentration – all that. This is real meditation. K: Tidak, Tuan. Kita telah mendalami pertanyaan ini. Manusia telah menciptakan waktu, secara psikologis, untuk mencapai suatu tujuan, maksud, imbalan yang diinginkan. Apakah orang melihat ini sebagai sua- tu ide, atau memang demikian adanya? Adalah sangat jelas begitu adanya. Lalu bagaimana manusia - ini intinya - bagaimana manusia, seorang umat manusia, untuk benar-benar menjauh dari itu, benar-benar metransformasikan seluruh konsep waktu ini? Saya katakan itu hanya mungkin, ketika Anda memiliki wawasan dalam semua ini, yang tidak melibatkan usaha, yang tidak melibatkan konsentrasi - semua itu. Ini adalah meditasi yang sebenarnya.
1:14:47 FM: In fact, it just happens. FM: Sebenarnya, itu terjadi begitu saja.
1:14:49 K: It’s real meditation.

WR: Indeed.
K: Ini meditasi yang sebenarnya.

WR: Memang.
1:14:52 SF: Sir, there is a dilemma which I think many people find themselves in when they listen to that, which is that in order to have this insight... SF: Tuan, ada dilema yang, saya pikir, banyak orang menemukan dirinya terbenam di dalamnya, ketika mereka mendengar itu, yaitu bahwa untuk memiliki wawasan ini...
1:15:07 K: Ah, you can’t have it. K: Ah, Anda tidak bisa memilikinya.
1:15:09 SF: Well, in order for this insight to occur, there must be an insight into thought. And it seems like it’s...

K: No.
SF: Ya, agar wawasan ini terjadi, harus ada wawasan ke dalam pikiran. Dan sepertinya...

K: Tidak.
1:15:21 SF:...somewhat of a closed circle.

K: No. We went into this, sir. Thought, as we said, is response of memory, memory is knowledge, experience, and so from the past, thought is moving.
SF:...itu agaknya suatu lingkaran tertutup.

K:Tidak. Kita telah membahas ini, Tuan. Pikiran, seperti yang kami katakan, adalah tanggapan dari memori, memori adalah pengetahuan, pengalaman, dan dari masa lalu, pikiran bergerak.
1:15:39 SF: Yes. SF: Ya.
1:15:40 K: But always from the past, it is not free from the past, ever. K: Tapi selalu dari masa lalu, tidak pernah bebas dari masa lalu.
1:15:45 SF: And we said that there must be a seeing, an observing... SF: Dan kita mengatakan bahwa harus ada... suatu unsur melihat, suatu pengamatan...
1:15:49 K: Seeing, seeing that. K: Melihat, melihat itu.
1:15:52 SF: Right. Now, we can’t see that with thought, we must see... SF: Benar. Sekarang, kita tidak bisa melihat itu... dengan pikiran, kita harus melihat...
1:15:56 K: Wait, no, don’t say that. I said just now – I’ve forgotten, sorry. K: Tunggu, tidak, jangan katakan itu. Saya baru saja katakan - saya sudah lupa, maaf.
1:16:04 SF: We were saying that there must be a seeing, an observing, which is an insight... SF: Kita mengatakan bahwa... harus ada unsur melihat, pengamatan, yang merupakan wawasan...
1:16:09 K:...into thought.

SF:...into thought.
K:...ke dalam pikiran.

SF:...ke dalam pikiran.
1:16:11 K: Wait, just hold it. Now, thought is the response of memory. Memory, stored up in the brain, through experience, and that has become knowledge.

SF: Yes.
K: Tunggu, tahan dulu.. Sekarang, pikiran adalah respons dari memori. Memori, disimpan di otak, melalui pengalaman, dan itu sudah menjadi pengetahuan.

SF: Ya.
1:16:29 K: So knowledge is always the past. And from that, thought arises. This is irrefutable, I mean, this is so. K: Jadi pengetahuan selalu adalah masa lalu. Dan dari situ, pikiran muncul. Ini tak terbantahkan, maksud saya, ini demikian adanya.
1:16:41 SF: Yes. SF: Ya.
1:16:46 K: Now, is this an idea or an actuality which you yourself have perceived: that you yourself see that ascent of man through knowledge is not so? Man can only ascend perhaps technologically, but psychologically, if he continues with the accumulation of knowledge, he’s caught in the trap. Do you see that? Or do you make it into an idea and say, ‘What do you mean by it?’, and so on. K: Sekarang, apakah ini sebuah ide... atau suatu aktualitas yang Anda sendiri telah persepsikan:... yang Anda lihat sendiri, bahwa penanjakan manusia melalui pengetahuan tidak demikian? Manusia hanya dapat naik barangkali secara teknologi, tapi secara psikologis, jika dia lanjutkan dengan akumulasi pengetahuan, dia terjebak dalam perangkap. Apakah Anda melihat itu? Atau apakah Anda membuatnya menjadi sebuah ide... dan berkata, 'Apa maksud Anda dengan itu?', dan seterusnya.
1:17:40 SF: But, sir, just to see that, I must be free. SF: Tapi, Tuan, untuk hanya melihat itu, saya harus bebas.
1:17:44 K: No, observe, you first listened.

SF: Yes.
K:Tidak, amati, Anda dengarkan dahulu.

SF: Ya.
1:17:48 K: Listening without analysis, without interpretation, without like or dislike, just listen. And if you so listen, you have absorbed it, absorbed the fact that thought is the response of memory. Then you can proceed. Then can thought ever free itself from its mother, from its roots, from its source? Obviously not. K: Mendengar tanpa analisis, tanpa interpretasi, tanpa suka atau tidak suka, dengar saja. Dan jika Anda mendengar seperti itu, Anda telah menyerapnya, menyerap fakta, bahwa pikiran adalah respons dari memori. Maka Anda bisa melanjutkan. Lalu, akankah pikiran pernah dapat membebaskan dirinya dari induknya, dari akarnya, dari sumbernya? Tentu saja tidak.
1:18:32 SS: But thought can be aware of its own activity. SS: Tapi pikiran bisa sadar akan aktivitasnya sendiri.
1:18:35 K: Of course, we went through all that. K: Tentu saja, kita telah melalui semua itu.
1:18:38 MZ: Sir, would you say that if insight comes into being at that moment, that then that insight doesn’t fall back into the thought mechanism. MZ: Tuan, apakah Anda mau mengatakan, bahwa jika wawasan muncul pada saat itu, kemudian wawasan itu tidak kembali ke mekanisme pikiran.
1:18:49 K: Oh no, of course not. Say, for instance, you have an insight and you act. Now let’s be clear. Insight means action, instantly, not have an insight and later act. That very insight implies action. And you act. And that action is always right, right being accurate, precise, without any regret, without any effort, without any reward or punishment – it is so. K: Oh tidak, tentu saja tidak. Katakanlah, misalnya, Anda memiliki suatu wawasan dan Anda bertindak. Sekarang mari kita perjelas. Wawasan berarti tindakan, secara instan, bukannya mempunyai wawasan dan bertindak belakangan. Wawasan itu sendiri menyiratkan tindakan. Dan Anda bertindak. Dan tindakan itu selalu benar, benar dalam arti akurat, tepat adanya, tanpa penyesalan apa pun, tanpa usaha apa pun, tanpa penghargaan atau hukuman apa pun - itu demikian adanya.
1:19:29 SS: That action is not necessarily doing anything, though. It may be non-action in terms of doing things externally. SS: Tindakan itu belum tentu melakukan sesuatu apa pun. Itu mungkin suatu bukan-tindakan dalam kaitan... dengan melakukan hal-hal secara eksternal.
1:19:35 K: You may have to, both externally and inwardly. If I have an insight into attachment, attachment to ideas, attachment to conclusions, attachment to persons, attachment to my – you follow? – knowledge, experience. If I have an insight into that, the whole thing is abandoned. K: Anda mungkin harus, baik secara eksternal maupun batiniah. Jika saya memiliki wawasan tentang kemelekatan, kemelekatan pada ide-ide, keme- lekatan pada kesimpulan-kesimpulan, kemelekatan pada orang-orang, kemelekatan pada - Anda ikuti? - pengetahuan, pengalaman saya. Jika saya memiliki wawasan ke dalam itu, semuanya ditinggalkan.
1:19:59 WR: And may I put it, sir, in another way – I don’t know whether you agree – to see this illusion. WR: Dan bolehkah saya katakan, Tuan, dengan cara lain... - saya tidak tahu apakah Anda setuju - untuk melihat ilusi ini.
1:20:11 K: Yes. But one must be sure that it is an illusion. K: Ya. Tetapi seseorang harus yakin bahwa itu adalah suatu ilusi.
1:20:20 WR: Whether you call it illusion or whatever name you give to it, to see... WR: Apakah Anda menyebutnya ilusi... atau nama apa pun yang Anda berikan padanya, untuk melihat...
1:20:26 K: ‘What is’.

WR: ‘What is’.
K: ‘Apa adanya’.

WR: ‘Apa adanya’.
1:20:28 K: That’s all.

WR: Yes, see ‘what is’. Don’t give a term.

K: No, to see ‘what is’.
K: Itu saja.

WR: Ya, lihat ‘apa adanya’. Jangan beri istilah.

K: Tidak, melihat 'apa adanya'.
1:20:35 WR: To see ‘what is’ is to see the truth. WR: Melihat 'apa adanya' adalah melihat kebenaran.
1:20:39 K: No, no, you see. You’re bringing in truth – I’m not yet ready for that. K: Tidak, tidak, Anda lihat. Anda membawa masuk kebenaran, saya belum siap untuk itu.
1:20:44 WR: I want to get it, before one o’clock! I don’t want to postpone it, but your main thesis is, don’t put in time. WR: Saya ingin mendapatkannya, sebelum pukul satu! Saya tidak ingin menunda, tetapi tesis utama Anda adalah, jangan membawa waktu masuk.
1:20:59 K: Yes, I’ve said, just now, at one o’clock. K: Ya, saya katakan, baru saja, pada pukul satu.
1:21:02 WR: No, no, it’s not yet one, yes. To see ‘what is’ as it is, is to see the truth. That’s what I would like to put, to cut it short. WR: Tidak, tidak, ini belum pukul satu, ya. Melihat 'apa adanya', adalah melihat kebenaran. Itulah yang ingin saya katakan, untuk mempersingkatnya.
1:21:23 K: Sir... K: Tuan...
1:21:29 WR: And truth is not away from... WR: Dan kebenaran tidak terpisah dari...
1:21:33 K: I don’t know what it is. K: Saya tidak tahu itu apa.
1:21:36 WR: That is what I tell you, to see. WR: Itulah yang saya katakan, melihat.
1:21:39 K: I don’t know what it means to see. You have told me what it means to see, but I may not see. I may think I see. K: Saya tidak tahu apa artinya melihat. Anda telah memberi tahu saya apa artinya melihat, tetapi saya mungkin tidak melihat. Saya mungkin berpikir saya melihat.
1:21:53 WR: Yes, then you are not seeing. WR:Ya, maka Anda tidak melihat.
1:21:56 K: I must be very clear that I am not thinking I’m seeing. K: Saya harus sangat jelas, bahwa saya tidak berpikir saya melihat.
1:22:00 WR: No. WR: Tidak.
1:22:02 K: Sir, my whole life is that – I think I see. K: Tuan, seluruh hidup saya adalah begitu- saya pikir saya mengerti.
1:22:09 WR: It is different from seeing. WR: Itu berbeda dari melihat.
1:22:12 K: You say so, but ordinary persons say, I see, yes. Which is, I think I see what you’re saying. But I may not see actually ‘what is’. I think I see ‘what is’. K: Anda bilang begitu, tapi orang biasa berkata, saya mengerti, ya. Yaitu, saya pikir saya mengerti apa yang Anda katakan. Tapi saya mungkin tidak melihat 'apa adanya' sebenarnya. Saya rasa saya melihat 'apa adanya'.
1:22:29 SF: Krishnaji, could I, this might be a simple question, but you say that the ordinary person says, ‘I see, I see what you’re saying’, but in fact he doesn’t. SF: Krishnaji, bisakah saya, ini mungkin pertanyaan sederhana, tetapi Anda mengatakan bahwa orang biasa berkata, 'saya paham, saya paham apa yang Anda katakan', tapi sebenarnya dia tidak.
1:22:40 K: Yes. K: Ya.
1:22:40 SF: It’s just mentally that he see something, or intellectually. Could we say, what is going to bring about for the ordinary person this correct seeing, this seeing without thought? SF: Hanya secara mental dia melihat sesuatu, atau secara intelektual. Bisakah kita katakan, apa yang harus terjadi bagi orang biasa agar bisa terwujud... pemahaman yang benar ini, pemahaman tanpa pikiran ini?
1:22:57 K: I explained, sir, I explained it. First I must listen. K: Saya jelaskan, Tuan, saya jelaskannya. Pertama-tama, saya harus mendengarkan.
1:23:03 SF: Yes. SF: Ya.
1:23:04 K: Ah, do we listen or we’ve all kinds of conclusions, so filled, full of our minds, that it isn’t capable of listening. You see me, you say, ‘He’s an Indian, what the heck, get rid of him, he knows nothing’. Or you say, ‘Well, he’s a considerate person’, this or that. You don’t actually listen. K: Ah, apakah kita mendengar atau kita memiliki semua macam kesimpulan, begitu terisi, penuh dengan batin kita, sehingga ia tidak mampu mendengar. Anda melihat saya, Anda berkata, 'Dia orang India, masa bodoh, sing- kirkan dia, dia tidak tahu apa-apa'. Atau Anda berkata, 'Ya, dia orang yang perhatian', ini atau itu. Anda tidak benar-benar mendengar.
1:23:33 SF: Well, then the question is, I would just change the terminology, what could bring about that correct listening? SF: Nah, maka pertanyaannya adalah, saya hanya akan mengubah terminologi, apa yang bisa menghasilkan pemahaman yang benar itu?
1:23:43 K: It has been said through suffering. It is nonsense. It has been said, make effort. Which is nonsense. You listen when somebody says, ‘I love you’. Don’t you? So can you – the same thing – listen to what you think is unpleasant? So, sir, now come back to this question of truth. Do we have a discussion this afternoon? K:Pernah dikatakan melalui penderitaan. Itu omong kosong. Pernah dikatakan, berusahalah. Yang adalah omong kosong. Anda mendengar ketika seseorang berkata, 'saya mencintai Anda'. Bukan? Jadi dapatkah Anda - hal yang sama - mendengar apa yang menurut Anda tidak menyenangkan? Jadi, Tuan, sekarang kembali ke pertanyaan tentang kebenaran ini. Apakah kita berdiskusi siang ini?
1:24:27 MZ: I believe it was said, at 3:30 we’d meet. MZ: Saya kira, telah dikatakan pada jam 3:30 kita akan bertemu.
1:24:30 K: 3.30. Can we then pursue truth? No. I don’t want to wait for truth. K: 3.30. Bisakah kita teruskan dengan kebenaran?

WR: Tidak. Saya tidak ingin menunggu kebenaran.
1:24:45 K: You want it all in five minutes, sir? K: Anda ingin semuanya dalam lima menit, Tuan?
1:24:49 WR: Not even five minutes. WR: Bahkan tidak sampai lima menit.
1:24:50 K: One minute?

WR: One minute. If you can’t do it in one minute, you can’t do it in five hours.
K: Satu menit?

WR: Satu menit. Jika Anda tidak bisa melakukannya dalam satu menit, Anda tidak bisa melakukannya dalam lima jam.
1:24:57 K: I quite agree. All right, sir, in one second. Truth is not perceivable through time. Truth doesn’t exist when the self is there. Truth doesn’t come into existence if thought in any direction is moving. Thought, truth, is something that cannot be measured – measured. K: Saya sangat setuju. Baiklah, Tuan, dalam satu detik. Kebenaran tidak dapat dipahami melalui waktu. Kebenaran tidak ada ketika diri ada di sana. Kebenaran tidak berwujud, jika pikiran bergerak ke segala arah. Pikiran, kebenaran, adalah sesuatu yang tidak bisa diukur - diukur.
1:25:46 WR: Truth.

K: I said truth. And without love, without compassion, with its own intelligence, truth cannot be.
WR: Kebenaran.

K: Saya mengatakan kebenaran. Dan tanpa cinta, tanpa belas kasihan, dengan kecerdasannya sendiri, kebenaran tidak bisa ada.
1:26:09 WR: Yes. Now, again, you have given it in negative terms, in the real tradition of the Buddha. Yes. WR: Ya. Sekarang, sekali lagi, Anda telah memberikannya secara negatif, dalam tradisi sejati dari Buddha. Iya.
1:26:20 K: You see, you know, what you have done, sir, look. You have translated into terms of tradition, therefore – forgive me for pointing out, I’m not being impudent – you’ve moved away from the actual listening of this. K: Anda lihat, Anda tahu, apa yang telah Anda lakukan, Tuan, lihat. Anda telah menerjemahkannya ke dalam kaitan tradisi, karena itu - maafkan saya karena menunjukkan, saya tidak sedang kurang hormat - Anda telah menjauh dari mendengar secara aktual pada ini.
1:26:41 WR: I listened, I listened very well. WR: Saya mendengar, saya mendengar dengan sangat baik.
1:26:44 K: Then you’ve captured the perfume of it. K: Lalu Anda sudah menangkap wanginya dari ini.
1:26:49 WR: Yes, and I captured the perfume of what you said. And that is why I wanted to have it in one minute. WR:Ya, dan saya menangkap kewangian dari apa yang Anda katakan. Dan itu sebabnya saya ingin memilikinya dalam satu menit.
1:27:01 K: Sir, sir... What then is the relationship of truth to reality? Be careful, sir, be careful. I mean, are these two everlastingly divided? K: Tuan, Tuan... Lalu bagaimana hubungan kebenaran dengan realitas? Hati-hati, Tuan, hati-hati. Maksud saya, apakah keduanya ini terbagi selamanya?
1:27:18 WR: No.

K: No, no.
WR: Tidak.

K: Tidak, tidak.
1:27:22 WR: No, I don’t hesitate, I am not hesitating like that. They are not divided. WR: Tidak, saya tidak ragu, saya tidak sedang ragu seperti itu. Mereka tidak terbagi.
1:27:28 K: How do you know?

WR: I know it.
K: Bagaimana Anda tahu?

WR: Saya tahu itu.
1:27:31 K: No, sir. Huh? They are not divided? Now what do you mean by that, sir? K: Tidak, Tuan. Hah? Mereka tidak terbagi? Sekarang apa yang Anda maksud dengan itu, Tuan?
1:27:45 WR: That is what I said, to see.

K: No, just a minute, sir. Truth and reality, they are not divided. That means, thought and truth, are always together. No? If they are not divided, if something is not divorced, separated, they are together, a unitary movement. Thought...

WR: Not thought.
WR:Itulah yang saya katakan, melihat.

K: Tidak, sebentar, Tuan. Kebenaran dan realitas, mereka tidak terpecah. Itu berarti, pikiran dan kebenaran, selalu bersama. Tidak? Jika mereka tidak terbagi, jika sesuatu tidak bercerai, terpisahkan, mereka bersama, suatu gerak kesatuan. Pikiran...

WR: Bukan pikiran.
1:28:19 K: Wait, reality, that’s why I went into it, sir. Reality is everything that thought has put together. We are all agreed that is so. We may use the word, terminology, the word ‘reality’ as something else – I don’t care, but for the present we are saying reality is all the things that thought has put together including illusion, and truth is nothing whatsoever to do with this, it can’t. And therefore the two cannot be together. K: Tunggu, realitas, itu sebabnya saya membahasnya, Tuan. Realitas adalah segala sesuatu yang dihimpun oleh pikiran. Kita semua telah sepakat begitu halnya. Kita dapat menggunakan kata itu, terminologi, kata 'realitas' sebagai sesuatu yang lain - saya tidak peduli, tetapi untuk saat ini kita katakan, realitas adalah semua hal yang dihimpun oleh pikiran termasuk ilusi, dan kebenaran tidak ada hubungannya dengan ini, itu tidak bisa. Dan karena itu keduanya tidak bisa bersama.
1:29:01 WR: To see that illusion, or whatever it may be, to see ‘what is’ is to see the truth. ‘What is’ is the truth. ‘What is’ is the truth. There is no truth apart from that. ‘What is’ is the truth.

K: No, sir.
WR: Untuk melihat ilusi itu, atau apa pun itu, untuk melihat 'apa adanya' adalah melihat kebenaran. 'Apa adanya' adalah kebenaran. 'Apa adanya' adalah kebenaran. Tidak ada kebenaran selain itu. 'Apa adanya' adalah kebenaran.

K: Tidak, Tuan.
1:29:26 WR: That is, ‘what is’ is the truth.

K: Sir...
WR: Yaitu, 'apa adanya' adalah kebenaran.

K: Tuan...
1:29:31 WR: What is not is untrue. WR: Apa yang bukan adanya adalah tidak benar.
1:29:34 K: No, we said reality is the movement of thought. Right, sir? And truth is timeless. Truth is timeless, it’s not your truth, my truth, his truth, it is something beyond time. Thought is of time, the two cannot run together, that’s what I’m... K: Tidak, kami katakan realitas adalah gerak pikiran. Benar, Tuan? Dan kebenaran itu tanpa-waktu. Kebenaran itu tanpa-waktu, itu bukan... kebenaran Anda, kebenaran saya, kebenaran dia, itu adalah sesuatu yang di luar waktu. Pikiran adalah dari waktu, keduanya tidak bisa berjalan bersama, itulah yang saya...
1:30:08 WR: What I said is, there are no two. WR: Yang saya katakan adalah, tidak ada dua.
1:30:13 K: Sir... K: Tuan...
1:30:15 WR: That is again duality, again you are dividing. WR: Itu lagi-lagi dualitas, lagi-lagi Anda membagi.
1:30:20 K: No, I’m not. I’m pointing out, sir – I may be mistaken, but I’m just pointing out – that thought has created such illusion, and so many deceptions it has brought about, and it may deceive itself by saying, ‘Yes, I’ve seen the truth’. Therefore I must be very clear, there must be clarity that there is no deception whatsoever. And I’m saying that deception exists, will inevitably exist, if I don’t understand the nature of reality. We can continue this, sir, after lunch. K: Tidak, saya tidak. Saya tunjukkan, Tuan - saya mungkin salah, tapi saya hanya menunjukkan - bahwa pikiran telah menciptakan ilusi seperti itu, dan begitu banyak penipuan yang ditimbulkannya, dan pikiran bisa menipu dirinya sendiri dengan mengatakan, ''Ya, saya telah melihat kebenaran'. Karena itu saya harus sangat jelas, harus ada kejelasan bahwa tidak ada penipuan sama sekali. dan saya katakan bahwa penipuan itu ada, tidak bisa dihindarkan akan ada, jika saya tidak paham sifat realitas. Kita bisa melanjutkan ini, Tuan, setelah makan siang.
1:31:13 WR: I would like to take this afternoon another question. Because there will be no end to this question. WR: Saya ingin sore ini membawa pertanyaan lain. Karena tidak akan ada akhir untuk pertanyaan ini.
1:31:20 K: Yes, sir, what is the question? K: Ya, Tuan, apa pertanyaannya?
1:31:22 WR: The other question we wanted to talk about whether there is pre-existence, continuity, what people call generally rebirth. WR: Pertanyaan lain yang ingin kita bicarakan, apakah ada pra-keberadaan, kontinuitas, apa yang orang sebut, umumnya, kelahiran kembali.
1:31:33 K: Rebirth?

WR: Yes.
K: Kelahiran kembali?

WR: Ya.
1:31:34 K: Yes. Shall we do that after lunch, sir? K: Ya. Akan kita lakukan itu setelah makan siang, Tuan?
1:31:38 WR: I think so.

K: Right.
WR: Saya kira begitu.

K: Benar.
1:31:40 WR: I think here we have come to truth. I don’t know whether you... WR: Saya pikir di sini kita telah sampai pada kebenaran. Saya tidak tahu apakah Anda...
1:31:49 K: I haven’t come to truth, I can’t go to truth. K: Saya belum datang ke kebenaran, saya tidak bisa pergi ke kebenaran.
1:31:54 WR: No, you see the truth.

K: I don’t see the truth. There’s a tremendous difference: I can’t go to truth, I can’t see truth. Truth can only exist, can be, or is only when the self is not.
WR: Tidak, Anda melihat kebenaran.

K: Saya tidak melihat kebenaran. Ada perbedaan yang luar biasa:... Saya tidak bisa pergi kebenaran, saya tidak bisa melihat kebenaran. Kebenaran hanya bisa ada, bisa, atau hanya ketika diri tiada.
1:32:15 WR: That’s right. WR: Benar.
1:32:20 K: Let’s go and eat, shall we? K: Mari kita pergi dan makan, ya?