Krishnamurti Subtitles home


SD72CES1 - Kebaikan hanya mekar dalam kebebasan
Percakapan 1 dengan Eugene Schallert
San Diego, Amerika Serikat
17 Februari 1972



0:02 Krishnamurti in Dialogue with Father Eugene Schallert. Krishnamurti dalam dialog dengan Pastor Eugene Schallert.
0:07 J. Krishnamurti was born in South India and educated in England. For the past 40 years he has been speaking in the United States, Europe, India, Australia and other parts of the world. From the outset of his life's work he repudiated all connections with organised religions and ideologies and said that his only concern was to set man absolutely, unconditionally free. He is the author of many books, among them The Awakening of Intelligence, The Urgency of Change Freedom From the Known, and The Flight of the Eagle. In dialogue with Krishnamurti is the Rev. Eugene J. Schallert of the Society of Jesuits, the Director of the Center for Sociological Research at the University of San Francisco where Father Schallert is an Associate Professor of Sociology. J. Krishnamurti lahir di India Selatan dan dididik di Inggris. Selama 40 tahun dia telah berbicara di Amerika Serikat, Eropa, India, Australia dan di belahan dunia lainnya. Sejak awal pekerjaan hidupnya, dia menolak semua hubungan dengan agama dan ideologi terorganisir dan berkata bahwa satu-satunya keprihatinannya adalah untuk secara absolut membebaskan manusia dari keterkondisian. Dia penulis banyak buku, di antaranya The Awakening of Intelligence, The Urgency of Change, Freedom from the Known, dan The Flight of the Eagle. Yang berdialog dengan Krishnamurti adalah Pastor Eugene J. Schallert dari Serikat Yesus, Direktur Pusat Riset Sosiologi Universitas San Francisco di mana Pastor Schallert menjadi Profesor Muda Sosiologi.
1:02 S: I think we should perhaps start by exploring with each other the discovery of that which is most real in the world in which we live and how we learn to see that which is most real. S: Saya pikir sebaiknya kita mulai dengan menyelidiki bersama suatu penemuan tentang hal yang amat nyata di dunia yang kita tinggali ini dan bagaimana kita belajar memandang hal yang sangat nyata tersebut.
1:24 K: Sir, would you consider that to see very clearly the whole complex human problem not only politically, religiously, socially but also the inward morality, a sense of otherness – if we can use that word – mustn't one have total freedom? K: Pak, apakah menurut Anda, dalam memandang dengan sangat jelas seluruh kompleksitas persoalan manusia, tidak hanya yang politis, religius, sosial, tapi juga moralitas batin, suatu rasa yang-lain -kalau boleh kita memakai kata itu- tidakkah seseorang harus memiliki kebebasan menyeluruh?
2:06 S: Yes, I don't see how one can possibly explore anything of relevance to the world in which we live in the absence of a recognition or an awareness of his own inner freedom. To feel that we are limited, or constricted in our approach to social, economic, political, moral problems – particularly our religious problems – that we can't explore these from some other base than the real base which is the base of being free. S: Ya, menurut saya, tak mungkin seseorang bisa menyelidiki apa pun yang relevan dengan dunia yang kita tinggali ini tanpa pengakuan atau kesadaran akan kebebasan batinnya sendiri. Merasakan bahwa kita terbatas atau terkungkung dalam pendekatan kita terhadap persoalan-persoalan sosial, ekonomi, politik, moral -khususnya persoalan- persoalan religius kita- bahwa kita tidak dapat menyelidikinya dari basis selain basis yang riil, yaitu basis kebebasan.
2:43 K: But most religions and most cultures whether Asiatic, India or Europe and therefore America, they conditioned the mind a great deal. And you notice it, as one travels around, how, in each country, in each culture, they have taken tremendous pain to shape the mind. K: Tapi, kebanyakan agama dan kebanyakan kebudayaan, entah Asia, India atau Eropa dan dengan demikian Amerika, mereka mengkondisikan batin banyak sekali. Dan Anda memperhatikannya, saat seseorang berkeliling, bagaimana, di tiap negeri, di tiap kebudayaan, mereka telah berupaya sangat keras membentuk batin.
3:16 S: I suppose this is the function of culture, to shape the mind, – not very effective – but it is the function of culture to provide in a sense a buffer between the overwhelming dimensions of human existence, which then would transcend and encompass all existence, and which becomes an overwhelming experience for a person. Cultures do, in a sense, soften, or attempt to make culture manageable, or doable in some way or another. S: Saya kira ini adalah fungsi kebudayaan, membentuk batin, -tidak terlalu efektif- tapi, fungsi kebudayaan adalah menyediakan, dalam arti tertentu, penyangga di antara dimensi-dimensi luar biasa dari eksistensi manusia, yang kemudian melampaui dan mencakup semua eksistensi dan yang menjadi pengalaman luar biasa bagi seseorang. Budaya, dalam arti tertentu, melembutkan atau mencoba membuat dapat dikelola atau dapat dilaksanakan dengan suatu cara atau lainnya.
3:47 K: Yes, but I was thinking really: when one considers how the world is divided politically, religiously, socially, morally, and especially in the religious field which should be the unifying factor of all cultures, there one sees how religions have separated man: the Catholic, the Protestant, the Hindu, the Muslim, and they're all saying, 'We're all seeking one thing.' K: Tapi, sebenarnya menurut saya, saat seseorang merenungkan bagaimana dunia ini dibelah-belah secara politik, religius, sosial, moral, dan khususnya di bidang religius yang seharusnya merupakan faktor pemersatu semua kebudayaan, di situ seseorang melihat bagaimana agama telah memisahkan manusia: Katolik, Protestan, Hindu, Muslim, dan mereka semua mengatakan, "Kita semua mencari satu hal."
4:28 S: Even within the framework of any given religion there is a great tendency for people to divide one subgroup against another subgroup and this seems to be indigenous to... S: Bahkan di dalam kerangka agama apa pun, ada tendensi besar orang untuk membelah-belah satu subkelompok melawan subkelompok lainnya dan tampaknya wajar...
4:40 K: Therefore freedom is the negation of being conditioned by any culture, by any religious division or political division. K: Maka, kebebasan adalah penyangkalan terhadap pengkondisian oleh kebudayaan apa pun, oleh pembelah-belahan religius atau pembelah-belahan politis apa pun.
4:58 S: I would think that ultimate freedom is the negation of such a condition. The struggle for freedom is precisely the attempt to break through or undercut or get at that which underlies these various conditioning processes. The conditioning processes themselves go on in each human being, or in each flower, or in each animal and the task in the pursuit of freedom is precisely to break through to that which is ultimately the real. S: Saya pikir kebebasan tertinggi adalah penyangkalan terhadap kondisi sedemikian. Perjuangan untuk kebebasan, persisnya, adalah usaha menerobos atau melemahkan atau mendapatkan hal yang mendasari proses pengkondisian yang beragam ini. Proses pengkondisian itu sendiri berlangsung dalam tiap manusia atau dalam tiap bunga atau tiap hewan dan tugas dalam mengejar kebebasan ini, persisnya, adalah menerobos ke dalam kebenaran yang pokok.
5:34 K: I'm just wondering what we mean by conditioning. K: Saya hanya ingin tahu, apa yang kita maksud dengan pengkondisian.
5:38 S: Conditioning in cultures, throughout history and across space is quite varied, as you know. Conditioning, for example, in the Western world of today, has been achieved primarily through the process of the enlightenment of rational-logical processes which I suppose are productive. Without rational processes we wouldn't have television cameras to talk on. The same time with television cameras we may not see anything. So I suspect that what we are dealing with, in our world, as a primary conditioning agency, is the whole world of the kinds of thoughts or categories or concepts or constructs – I call them fantasies – that people deal with and somehow they think are real. S: Pengkondisian dalam kebudayaan, sepanjang sejarah dan melintasi ruang, Anda tahu, cukup beragam. Pengkondisian, misalnya, di dunia Barat sekarang ini, telah dicapai terutama melalui suatu proses pencerahan dari proses- proses yang logis-rasional yang saya anggap produktif. Tanpa proses-proses rasional, kita tidak akan menyalakan kamera televisi. Pada saat bersamaan, dengan kamera televisi, mungkin kita tak melihat apa pun. Jadi, saya menduga bahwa apa yang kita hadapi, di dunia ini, sebagai agen utama pengkondisian, adalah keseluruhan dunia dari beragam pikiran atau kategori atau konsep atau konstruk -saya menyebutnya fantasi- yang dihadapi orang dan, entah bagaimana, mereka pikir itu nyata.
6:31 K: Yes, sir, but don't these conditionings separate man? K: Ya, Pak. Tapi, bukankah pengkondisian ini memisahkan manusia?
6:38 S: Unquestionably yes. They separate man both within himself S: Tak diragukan lagi. Ini memisahkan manusia, baik di dalam dirinya
6:41 K: …and outwardly.

S: Yes.
K: ... maupun secara lahiriah.

S: Ya.
6:44 K: So, if we are concerned with peace, with ending war, with living in a world in which this terrible violence, the separation, the brutality etc., is to end, it seems to me that it is the function of any serious religious man because I feel religion is the only factor that unifies man. K: Jadi, kalau kita prihatin akan perdamaian, berakhirnya perang, akan kehidupan di dunia di mana kekerasan mengerikan ini, pemisahan, kebrutalan, dan sebagainya harus berakhir, menurut saya, itu adalah fungsi siapa pun yang religius dan serius karena saya rasa religi adalah satu-satunya faktor pemersatu manusia.
7:20 S: Yes. S: Ya.
7:21 K: Not politics, economics, etc. but the religious factor. And instead of bringing man together, religions have separated man. K: Bukan politik, ekonomi, dan sebagainya, melainkan faktor religius. Dan alih-alih mempersatukan manusia, agama telah memisahkan manusia.
7:37 S: I'm not sure that that's quite right. I think that religion has been defined by cultures as a unifying force between men. There's not an awful lot of evidence in history that it has ever achieved this particular function. This may also be a function of the limiting dimensions of any given religion, or the inability of religious people to transcend their own religious concepts or their own religious legends or myths or dogmas, whatever you want to call them. There is in fact a deeper base for unity. S: Saya tidak yakin itu benar. Saya pikir, agama telah didefinisikan oleh kebudayaan sebagai kekuatan pemersatu manusia. Tak banyak bukti dalam sejarah bahwa hal ini, fungsi ini pernah terwujud. Mungkin ini juga merupakan fungsi dari dimensi yang membatasi dari agama tertentu, atau ketidakmampuan orang-orang beragama untuk mentransendensikan konsep-konsep religius mereka atau legenda religius mereka atau mitos-mitos atau dogma, seperti apa pun Anda menyebutnya. Faktanya, terdapat dasar yang lebih mendalam untuk persatuan.
8:16 K: One can't get to the deeper unless one is free from the outer. My mind won't go very, very deeply unless there is a freedom from belief, from dogma. K: Seseorang tidak bisa lebih mendalam kalau tidak bebas dari yang luar. Batin saya tidak akan menjangkau sangat, sangat dalam kalau tidak ada kebebasan dari kepercayaan, dari dogma.
8:30 S: I think that's true in a sense. There must be within man a sense – consciousness, experience, something – a sense of his inner freedom before he can be appropriately religious, before he can allow religious categories as analytical categories, to have any meaning for him. Somehow he must be human and free before he can ever think of being religious. What has happened is just the opposite. S: Saya pikir itu benar dalam arti tertentu. Haruslah ada dalam diri manusia -kesadaran, pengalaman, sesuatu- suatu rasa kebebasan batin sebelum dia bisa betul-betul religius, sebelum dia bisa mengizinkan kategori agama sebagai kategori analitis yang memiliki arti baginya. Bagaimanapun, dia haruslah manusiawi dan bebas sebelum dia bisa berpikir dirinya adalah religius. Yang telah terjadi justru sebaliknya.
9:02 K: Yes, yes. Therefore we are saying, seeing what the world is now actually, not conceptually, but the actual fact of separation, wars, the terrible violence that is pervading the world right through, I feel it is the religious mind that can bring real unity to human beings. K: Ya, ya. Karena itu, kita berkata, melihat seperti apa dunia ini sekarang secara aktual, bukan konseptual, melainkan fakta aktual dari pemisahan, peperangan, kekerasan mengerikan yang melanda dunia, Saya merasa, batin yang religiuslah yang bisa membawa persatuan sejati bagi umat manusia.
9:31 S: I would say rather it's the human mind, or the seeing mind, that may be susceptible to some exhilaration, if you will, not in the sense of stimulus but some exhilaration relative to the phenomenon of being itself, that can bring people together or achieve an end to the conflicts... S: Menurut saya, lebih tepat batin manusia atau batin-yang-memandang, yang mungkin peka akan kegembiraan besar, jika Anda setuju, tidak dalam arti suatu rangsang, tapi kegembiraan besar yang berhubungan dengan fenomena kodrat dirinya sendiri, yang bisa mengumpulkan orang untuk mencapai pengakhiran konflik...
9:53 K: Could we approach it by asking what separates man ? What divides human beings? K: Bisakah kita dekati itu dengan bertanya, apa yang memisahkan manusia? Apa yang membelah-belah umat manusia?
10:05 S: I think ultimately, man-ness.

K: Meanness?
S: Pada pokoknya saya pikir, ke-orang-an.

K: Kepicikan?
10:08 S: Man-ness. S: Ke-orang-an.
10:09 K: What do you mean by that, man-ness? K: Apa yang Anda maksud dengan ke-orang-an?
10:12 S: What I mean by that is our tendency to think about ourselves as men, or human, rather than as being, separates us from the world in which we live – from the tree, the flower, the sunset, the sea, the lake, the river, the animal, the bird, the fish, and each other, ultimately. S: Yang saya maksud dengan itu adalah kecenderungan kita untuk menganggap kita sebagai orang atau manusia, ketimbang sebagai keberadaan, memisahkan kita dari dunia yang kita huni -dari pohon, bunga, matahari terbenam, laut, danau, sungai, hewan, burung, ikan, dan satu sama lain pada pokoknya.
10:34 K: That is, from each other.

S: Yes, ultimately from each other.
K: Artinya, dari satu sama lain.

S: Ya, pokoknya dari satu sama lain.
10:37 K: From each other. And that is given strength by, or through, these separative religions. I want to get at something, sir, which is, is reality or truth to be approached through any particular religion or is it approachable or perceivable only when the organized religious belief and propaganda, dogma, and all conceptual way of living, completely goes? K: Dari satu sama lain. Dan itu diperkuat oleh, atau melalui, agama-agama yang separatif ini. Saya ingin mendapatkan sesuatu, Pak, yaitu, apakah realitas atau kebenaran untuk didekati melalui agama tertentu atau itu bisa didekati atau bisa dipahami hanya ketika kepercayaan dan propaganda agama yang terorganisir, dogma, dan seluruh cara hidup konseptual, secara lengkap selesai?
11:27 S: I am not so sure it is appropriate to say that it should completely go for a lot of other reasons that are posterior to the phenomenon of being human in the first place, or being, simply, in the first place. If we're going to get at the question of truth, which is the question of understanding or seeing, we have to first of all get at the question of being, and the whole inner dynamics and evolutionary characters of being. If we can't get at that level, in the beginning, we really won't get at whatever value the 'teachings' of the various religions offer men. If those teachings are not relevant to existence, to being, to seeing, to understanding, to loving, or to an end of conflict, in the negative sense, then those teachings are really not relevant for man, they're unimportant. S: Saya tidak yakin apakah cocok menyebut itu harus secara lengkap selesai karena ada banyak alasan lain yang mendahului pertama-tama fenomena menjadi manusia, atau pertama-tama sederhananya, keberadaan. Jika kita hendak memahami pertanyaan tentang kebenaran, yakni pertanyaan tentang pemahaman atau melihat, pertama-tama, kita harus sampai pada pertanyaan tentang keberadaan dan seluruh dinamika batin dan karakter keberadaan yang berevolusi. Jika pada permulaannya, kita tidak bisa mencapai level itu, kita benar-benar tak akan paham nilai apa pun di dalam "ajaran" yang ditawarkan berbagai agama bagi manusia. Jika ajaran-ajaran itu tidak relevan dengan eksistensi, dengan keberadaan, dengan melihat, dengan memahami, dengan mencintai, atau dengan pengakhiran konflik, dalam artian negatif, maka ajaran-ajaran itu betul-betul tak relevan bagi manusia, tidak penting.
12:28 K: I agree. But the fact remains, sir, just look at it, the fact remains, if one is born a Hindu or a Muslim and he is conditioned by that, in that culture in that behavioural pattern, and conditioned by a series of beliefs, imposed, carefully cultivated by the various religious orders, sanctions, books, etc., and another is conditioned by Christianity, there is no meeting point, except conceptually. K: Saya setuju. Tapi faktanya tetap saja, Pak, lihat saja, faktanya tetap saja, jika seseorang terlahir sebagai Hindu atau Muslim dan dia dikondisikan oleh itu, dalam kultur itu dalam pola perilaku itu, dan dikondisikan oleh serangkaian kepercayaan, dipaksa, dibudidayakan dengan cermat oleh berbagai ordo religius, sanksi-sanksi, buku-buku, dan sebagainya, dan yang lainnya dikondisikan oleh Kristianitas, di situ tidak ada titik temu, selain secara konseptual.
13:15 S: Krishnaji, do you mean that in order for a man to be free, simply, he will have to rid himself of whatever religious – and particularly religious – but also political and cultural and social doctrines or dogmas or myths that he has associated with himself as a religious person? S: Krishnaji, apakah maksud Anda, dalam rangka manusia menjadi bebas, dia harus melepaskan dirinya sendiri dari agama apapun- dan terutama agamanya- juga dari doktrin politik dan kultural dan sosial atau dogma atau mitos yang sudah terkait dengannya dengan dirinya sebagai orang yang religius?
13:38 K: That's right. Because you see, after all, what is important in living is unity, harmony between human beings. That can only come about if there is harmony in each one. And that harmony is not possible if there is any form of division inside and outside – externally or internally. Externally, if there is political division geographical division, national division, obviously there must be conflict. And if there is inward division obviously it must breed a great conflict, which expresses itself in violence, brutality, aggressiveness, etc. So, human beings are brought up in this way. A Hindu, a Muslim are at each other all the time, or the Arab and the Jew, or the American, the Russian – you follow? – this outwardly. K: Itu benar. Karena Anda tahu, bagaimanapun juga, apa yang penting dalam hidup adalah kesatuan, keselarasan di antara umat manusia. Itu hanya bisa terjadi apabila ada harmoni di dalam tiap orang. Dan harmoni itu tidak mungkin jika ada bentuk pemecah-mecahan di dalam dan di luar -eksternal atau internal. Eksternal, jika di situ ada pemecah-mecahan secara politik, pembagi-bagian secara geografis, pembelah-belahan kebangsaan, tak pelak lagi, di situ ada konflik. Dan jika di situ ada pemecah-mecahan secara batin, tak pelak lagi, hal itu membiakkan konflik yang dahsyat, yang mengungkapkan diri dalam kekerasan, kekejaman, sifat agresif, dsb. Jadi, umat manusia dibesarkan dalam cara ini. Hindu, Muslim berlawanan satu sama lain sepanjang waktu, atau Arab dan Jahudi, atau orang Amerika, orang Rusia -pahamkah Anda?- ini secara lahiriah.
14:49 S: I think what we are dealing with here is not so much the imposition of harmony on the human being from without or the imposition of disharmony on the human being. My hands are perfectly harmonious with each other, fingers move together and my eyes move with my hands. There may be conflict in my mind, or between my mind and my feelings, as insofar I have internalized certain concepts which then are in conflict. S: Saya pikir, apa yang kita hadapi di sini justru bukanlah pemberlakuan harmoni terhadap umat manusia dari luar ataupun pemberlakuan ketidakselarasan terhadap umat manusia. Tangan saya selaras sempurna satu sama lain, jari-jari bergerak bersama dan mata saya bergerak bersama dengan tangan. Bisa jadi ada konflik dalam batin saya atau antara batin dengan perasaan saya sebab sejauh ini, saya menginternalisasi konsep tertentu yang nantinya berkonflik.
15:19 K: That's right. K: Itu betul.
15:20 S: What I must discover if I am to be free is that there is in fact harmony within me. And If I am to be one with you I must discover from my hand 'Hand, tell me what it's like to be a part of something.' Because my hand is already harmoniously existing with my arm and with my body, and with you. But then my mind sets up these strange dualities. S: Apa yang harus saya temukan agar saya bebas... adalah adanya fakta harmoni di dalam saya. Dan jika ingin menjadi satu dengan Anda saya harus menemukannya dari tangan saya "Tangan, katakan pada saya seperti apa menjadi bagian dari sesuatu." Karena tangan saya sudah eksis secara harmonis dengan lengan saya dan dengan tubuh saya, dan dengan Anda. Tapi kemudian batin saya membentuk dualitas yang asing ini.
15:47 K: So, that's the problem, sir. Are these dualities created artificially, first of all – because you are a Protestant, I am a Catholic, or I am a communist and you are a capitalist – are they created artificially because each society has its own vested interest, each group has its own particular form of security? Or is the division created in oneself by the me and the not me? You understand what I mean?

S: I understand what you mean.
K: Itulah masalahnya, Pak. Apakah dualitas ini terbentuk secara artifisial, pertama-tama- karena Anda seorang Protestan, saya seorang Katolik, atau saya seorang komunis dan Anda seorang kapitalis- apakah mereka terbentuk secara artifisial sebab tiap masyarakat mempunyai kepentingan pribadi, setiap kelompok mempunyai bentuk keamanan tertentu? Atau pemecah-mecahan tercipta dalam diri seseorang oleh si-aku dan si-bukan-aku? Anda paham maksud saya?

S: Saya paham.
16:39 K: The me is my ego, my selfishness, my ambitions, greed, envy and that excludes, separates you from entering into that field. K: Si-aku adalah ego, egoisme saya, ambisi saya, keserakahan, iri dan itu mengecualikan, memisahkan Anda dari memasuki bidang itu.
16:54 S: I think that really the more one is conscious of his selfishness, his greed, his ambition, or, on the other side of the fence, his security, or even his peace, in a superficial sense, the more unconscious he is of the inner self who is in fact already one with you – however much I may be unaware of that. S: Saya pikir itu benar, semakin orang sadar akan egoismenya, keserakahannya, ambisinya, atau di sisi lain, keamanannya, atau bahkan kedamaiannya dalam artian dangkal, semakin dia tidak menyadari batinnya yang, pada faktanya, telah bersatu dengan Anda -biarpun saya amat tidak menyadari hal itu.
17:18 K: Wait, just a minute, sir, that becomes a dangerous thing. Because the Hindus have maintained, as most religions have, that in you there is harmony, there is God, there is reality. In you. And all that you have to do is peel off the layers of corruption, the layers of hypocrisy, the layers of stupidity, and gradually come to that point where you are established in harmony – because you've already got it. K: Tunggu. Sebentar, Pak. Itu menjadi hal yang berbahaya. Sebab umat Hindu telah mempertahankan, seperti halnya kebanyakan agama, bahwa di dalam Anda, ada harmoni, ada Tuhan, ada realitas. Di dalam Anda. Dan semua yang harus Anda lakukan adalah mengelupas lapisan-lapisan korupsi, lapisan-lapisan kemunafikan, lapisan-lapisan kebodohan, dan lambat laun sampai pada titik itu, di mana Anda telah terpancang dengan selaras- karena Anda telah mendapatkannya.
17:56 S: The Hindus don't have a monopoly on that particular way of thinking. We Catholics have the same problem.

K: Same problem, of course.
S: Umat Hindu tidak mempunyai monopoli atas cara berpikir tertentu itu. Kami Katolik punya problem serupa.

K: Problem serupa, tentu saja.
18:05 S: We are confronted with a discovery with the discovery of seeing, of understanding, of loving, of trusting – all these primary sorts of words we're confronted with the discovering of these things. And peeling back layers, I don't think is the way of discovering them. Whether it be layers of corruption, of goodness or evil, whatever, that is not the way of discovering them. One does not abstract from or pretend away his sense of evil within himself in order to find himself. What is required is a penetrating, empathetic, open, free mind. S: Kita dihadapkan pada sebuah penemuan pada penemuan tentang memandang, tentang memahami, tentang mencintai, tentang mempercayai - semua jenis kata-kata utama ini kita diperhadapkan dengan penemuan akan hal-hal ini. Dan mengelupas lapisan itu, saya kira, bukanlah cara menemukannya. Entah itu lapisan-lapisan korupsi, kebaikan atau kejahatan, apapun, itu bukan cara untuk menemukan mereka. Seseorang tak memisahkan diri dari atau berlagak rasa jahat tiada dalam dirinya... agar menemukan dirinya. Yang diperlukan adalah batin yang menembus, berempati, terbuka, bebas.
18:47 K: Yes, sir, but how does one come to it? How does one, with all the mischief that one is brought up in or one lives in, is it possible to put all that aside without effort? Because the moment there is effort there is distortion. K: Ya, Pak. Tapi, bagaimana seseorang mencapai itu? Bagaimana seseorang, dengan seluruh kerusakan di dalam mana, orang itu dibesarkan atau yang dihidupi orang itu, mungkinkah mengesampingkan semua itu tanpa daya-upaya? Karena pada momen adanya daya-upaya, di situ ada distorsi.
19:14 S: I am sure that is true. Without effort, that is, activity, behaviour, too much conversation, but certainly not without the expenditure of enormous amounts of energy. S: Saya yakin itu benar. Tanpa daya-upaya, yaitu, aktivitas, perilaku, terlampau banyak percakapan, tapi tentu saja, bukan tanpa pengeluaran dari sejumlah besar energi.
19:28 K: Ah! That energy can only come if there is no effort. K: Ah! Energi hanya bisa muncul jika di situ tidak ada daya-upaya
19:33 S: Precisely... S: Persis...
19:35 K: If there is no friction then you have abundance of energy! K: Jika di situ tidak ada gesekan, maka Anda mempunyai energi berlimpah!
19:40 S: Precisely. Friction destroys, it dissipates energy. S: Persis. Gesekan merusak, hal itu menghamburkan energi.
19:44 K: Friction exists when there is separation between what is right and what is wrong, between what is called evil and what's called good. If I am trying to be good then I create friction. So the problem is, really, how to have this abundance of energy which will come without any conflict? And one needs that tremendous energy to discover what truth is. K: Gesekan timbul ketika ada pemisah-misahan di antara apa yang benar dan apa yang salah, di antara apa yang disebut jahat dan apa yang disebut baik. Jika saya mencoba menjadi baik, maka saya menciptakan gesekan. Jadi permasalahan sesungguhnya, bagaimana memiliki energi berlimpah ini... yang akan muncul jika tak ada konflik apa pun? Dan orang membutuhkan energi dahsyat itu untuk menemukan apa itu kebenaran.
20:23 S: Or goodness is. If we deal with goodness in the sense that you use it there – one tries to be good – we're dealing with codes, with law… S: Atau apa itu kebaikan. Jika kita bicara tentang kebaikan dalam arti yang Anda gunakan di situ -orang mencoba menjadi baik- kita berurusan dengan undang- undang, dengan hukum...
20:34 K: No, no, I don't mean that!

S: Moral goodness in some sense.
K: Bukan itu maksud saya!

S: Kebaikan moral dalam beberapa hal.
20:37 K: Goodness only flowers in freedom. It doesn't flower within the law of any religious sanctions or any religious beliefs. K: Kebaikan mekar dalam kebebasan. Tidak mekar di dalam hukum dari sanksi religius apa pun atau kepercayaan agama apa pun.
20:46 S: Or political or economic. There's no question about this. Then if we're going to discover the inner meaning of freedom, and of goodness, and of being, we have to say to ourselves the reason we have not discovered this or one of the reasons why we have not discovered this is because we have within ourselves this strange tendency to start with the surface of things and never to end. We stop there, where we started. S: Atau politik atau ekonomi. Hal ini tidak diragukan. Maka, jika kita hendak menemukan makna batin dari kebebasan, dari kebaikan, dan dari keberadaan, kita harus mengatakan pada diri kita alasan kita belum menemukannya atau salah satu alasan kenapa kita belum menemukannya adalah karena di dalam diri kita, kita punya tendensi aneh ini... untuk memulai dari hal-hal permukaan dan tidak pernah sampai ke tujuan. Kita berhenti di situ, di mana kita memulai.
21:19 K: Sir, could we come to this: suppose you and I know nothing, no religion...

S: We have no conception...
K: Pak, bisakah kita sampai pada ini: misalkan Anda dan saya tidak tahu apa-apa, tidak punya agama...

S: Kita tidak punya konsepsi...
21:34 K: …no conceptual idea at all. I have no belief, no dogma, nothing! And I want to find out how to live rightly, how to be good – not how to be good – be good.

S: Be good. Yes, yes, yes.
K: ... sama sekali tak punya gagasan konseptual. Saya tidak punya kepercayaan, tidak dogma, tidak apa pun! Dan saya ingin menemukan bagaimana hidup yang benar, bagaimana menjadi baik- bukan bagaimana menjadi baik -baik.

S: Baik. Ya, ya, ya.
21:57 K: To do that, I have to enquire, I have to observe. Right? I can only observe... observation is only possible when there is no division. K: Untuk melakukannya, saya menyelidiki, harus mengobservasi. Benar? Saya hanya bisa mengobservasi... observasi hanya termungkinkan jika di situ tidak ada pemecah-mecahan.
22:16 S: Observation is that which eliminates the divisions. S: Observasi adalah menyingkirkan pemecah-mecahan.
22:18 K: Yes, when the mind is capable of observing without division then I perceive, then there is perception. K: Ya, ketika batin mampu mengamati tanpa pemecah-mecahan maka saya mencerap, maka di situ ada pencerapan.
22:29 S: In any seeing that is more than conceptual or categorical seeing, or observing mental constructs, in any seeing that takes place, a truth is encountered. And being and truth and goodness are all the same thing. S: Dalam memandang yang melebihi hal memandang secara konseptual, kategorial, atau dalam mengobservasi konstruk mental, dalam memandang hal itu berlangsung, sebuah kebenaran ditemukan. Dan keberadaan dan kebenaran dan kebaikan semuanya adalah hal yang sama.
22:47 K: Of course. K: Tentu.
22:48 S: So the question then is: why do I have to think about truth as though it were associated with the logical consistency of categories? Rather than think about truth as though it were associated with my being itself. If I have to always partialize my world – we spoke of the dualities – like we do or did in the Catholic religion, the duality of body and soul.

K: And devil, good and…
S: Jadi pertanyaan berikut adalah: mengapa saya harus berpikir tentang kebenaran... seolah hal itu berkaitan dengan konsistensi logis dari berbagai kategori? Ketimbang berpikir tentang kebenaran seolah itu berkaitan dengan keberadaan saya sendiri. Jika saya harus selalu membagi-bagi dunia saya -kita berbicara tentang dualitas- seperti yang kami lakukan dalam agama Katolik, dualitas antara tubuh dan jiwa.

K: Dan setan, baik dan...
23:19 S: And good and evil incarnate in one form or another. If we have to always think that way then we shall never find… S: Dan baik dan jahat menjelma dalam satu atau lain bentuk. Jika selalu berpikir seperti itu maka kita takkan pernah menemukan...
23:25 K: Obviously.

S: …what it means to…
K: Tak pelak lagi.

S: ... apa artinya...
23:27 K: …be good.

S: To be good, yes, yes, or to be truthful, or to be at all. I think this is the problem, and, as you suggested, there are so many centuries of cultural conditioning from all perspectives, that it is difficult.
K: ... menjadi baik.

S: Menjadi baik, ya, ya, atau menjadi jujur, atau menjadi apapun. Saya pikir inilah masalahnya, dan seperti Anda katakan, telah berabad-abad lamanya pengkondisian kultural terjadi dari segala perspektif, sehingga itu sulit.
23:44 K: I mean, human beings are brought up in this dualistic way of living, obviously. K: Maksud saya, umat manusia dibesarkan dalam cara hidup yang dualistik ini, tak pelak lagi.
23:50 S: Yes, and maybe we could do this better if we could not consider the obvious dualities of good and evil, of the sacred and the profane, of right and wrong, of truth and falsehood, none of these dualities but somehow come to grips with the duality that bedevils us the most: the duality of you and me, of man and woman. S: Mungkin kita bisa lakukan ini lebih baik jika tak perlu mempertimbangkan dualitas yang mudah dilihat antara baik dan buruk, antara yang kudus dan yang duniawi, antara benar dan salah, antara jujur dan dusta, tak satu pun dari dualitas ini, tapi entah bagaimana, mengatasi dualitas yang paling menyusahkan kita: dualitas antara Anda dan saya, antara laki-laki dan perempuan.
24:22 K: Yes, duality of me and you. Now, what is the root of that? What is the source of this division as me and you, we and they, politically – you follow? K: Ya, dualitas antara saya dan Anda. Sekarang, apa akarnya itu? Apakah sumber dari pemecah-mecahan sebagai saya dan Anda, kita dan mereka, secara politis -pahamkah Anda?
24:37 S: There cannot be any source of this in us because we are one, like the fingers of my hand are one. We aren't aware of it. S: Tak mungkin ada suatu sumber untuk ini dalam diri kita karena kita adalah satu, seperti jari-jari tangan adalah satu. Tak disadari.
24:44 K: Ah, wait. No. When you say 'We are one', that's an assumption. I don't know I am one. Actually, the division exists. Only when the division ceases, then I can say I don't have to say, 'I am one' ! There is a unity. K: Ah, tunggu. Tidak. Saat Anda katakan, "Kita adalah satu," itu adalah asumsi. Saya tidak tahu saya adalah satu. Sebenarnya, pemecah-mecahan itu eksis. Hanya saat pemecah-mecahan berakhir, barulah saya bisa berkata Saya tak perlu berkata, "Saya satu!" Ada suatu kesatuan.
25:06 S: When you say, 'I am,' you are saying, 'I am one.' S: Saat berkata "Saya," Anda maksud, "Saya satu."
25:09 K: Ah, no!

S: Adding 'one' is redundant to 'I am'
K: Ah, tidak!

S: Menambahkan kata "satu" itu mubazir.
25:12 K: No, I want to go a little bit into this because there is only – as human beings live – there is me and you, my god and your god, my country and your country, my doctrine, you follow? This me and you, me and you. Now, the me is the conditioned entity. K: Bukan, saya ingin menukik sedikit ke dalam hal ini karena hanya ada -sebagai manusia yang hidup- ada saya dan Anda, tuhanku dan tuhan Anda, negeriku dan negeri Anda, doktrinku, pahamkah Anda? Saya dan Anda, saya dan Anda. Sekarang, si-aku adalah entitas yang terkondisi.
25:35 S: Yes. The me is the conditioned entity. S: Ya. Si-aku adalah entitas yang terkondisi.
25:38 K: Let's go step by step. The me is the conditioning, the conditioned entity brought about, nurtured, through the culture, through society, through religion, through conceptual, ideological living. The me that is selfish, the me that gets angry, violent, me that says, 'I love you', 'I don't love' – all that is me. That me is the root of separation. K: Mari bergerak selangkah demi selangkah. Si-aku adalah pengkondisian itu, entitas yang terkondisi dihasilkan, diasuh, oleh kebudayaan, masyarakat, agama, penghidupan konseptual, ideologis. Si-aku yang egois, si-aku yang pemarah, kejam, aku yang menyebut, "Saya cinta kamu," "Saya tidak mencintai" -semua itu adalah aku. Aku itu adalah akar dari pemisahan.
26:10 S: Unquestionably. In fact, the very terminology you use betrays the substance of your idea. The word 'me' is an objective pronoun. Once I have made of myself something out there to look at, I shall never see anything which is real because I am not out there to look at. Once I make freedom something out there to pursue, then I shall never achieve freedom. Once I make freedom something out there that someone will give me then I shall never achieve freedom. S: Tidak diragukan. Faktanya, terminologi yang Anda gunakan menyingkap substansi gagasan Anda. Kata "aku" adalah kata ganti objektif. Begitu saya menjadikan diri saya sesuatu di luar sana untuk dilihat, saya tak akan pernah memandang apa pun yang nyata karena saya tidak di luar sana untuk melihat. Begitu saya menjadikan kebebasan sesuatu di luar sana untuk dikejar, maka saya tidak akan pernah mencapai kebebasan. Begitu saya jadikan kebebasan sesuatu yang akan diberi seseorang, maka saya tidak akan pernah mencapai kebebasan.
26:43 K: No, no. All authority, all that can be pushed aside. There is me and you. As long as this division exists there must be conflict between you and me. K: Tidak, tidak. Semua otoritas bisa disingkirkan. Ada saya dan Anda. Sepanjang pengkotak-kotakan ini eksis, di situ pastilah ada konflik antara Anda dengan saya.
26:54 S: Unquestionably. S:Tak diragukan lagi.
26:55 K: And there is not only conflict between you and me but there is conflict within me. K: Dan bukan hanya ada konflik antara Anda dengan saya, namun ada konflik di dalam saya.
27:01 S: Once you have objectified yourself, there must be conflict within you. S: Begitu Anda menentukan diri sendiri, timbul konflik dalam diri Anda.
27:04 K: So, I want to find out whether this me can end, so that Me end! That's good enough to say. Not 'so that'. K: Jadi, saya ingin mengetahui apakah si-aku ini bisa berakhir, maka... Si-aku berakhir! Itu cukup bagus untuk dikatakan. Tak ada "maka".
27:21 S: Yes, because there is obviously no 'so that' if the me ends. S: Ya, karena jelaslah tak ada "maka" jika si-aku berakhir.
27:26 K: Now, the me. Is it possible to completely empty the mind of the me? Not only at the conscious level but deep, at the deep unconscious roots of one's being. K: Sekarang, si-aku. Mungkinkah untuk secara komplet mengosongkan batin dari si-aku? Bukan hanya pada tingkat kesadaran, tapi mendalam, pada kedalaman akar ketidaksadaran dari keberadaan seseorang.
27:47 S: I think it's not only possible but it's the price that we must pay for being, or being good, or being true or being at all, living. To live, the price we must pay is to rid ourselves of me, me-ness. S: Saya pikir, itu tak hanya mungkin, tapi itu harga yang harus kita bayar untuk keberadaan, atau kebaikan, atau kebenaran... atau apapun, hidup. Untuk hidup, harga yang harus kita bayar adalah membebaskan diri dari si-aku, ke-aku-an.
28:03 K: Is there a process, a system, a method, to end the me? K: Adakah suatu proses, sistem, metode, untuk mengakhiri si-aku?
28:10 S: No, I don't think there is a process or a method. S: Tidak, saya pikir tidak ada proses atau metode.
28:13 K: Therefore there is no process, it must be done instantly! Now, this we must be very clear, because all the religions have maintained processes. The whole evolutionary system, psychologically, is a process. If you say – and to me that is a reality – that it cannot possibly be a process, which means a matter of time, degree, gradualness, then there is only one problem, which is to end it instantly. K: Oleh sebab itu, tidak ada proses, harus dilakukan secara instan! Sekarang, tentang ini, kita harus sangat jernih, karena semua agama telah mempertahankan proses. Keseluruhan sistem evolusioner, secara psikologis, adalah proses. Jika Anda katakan -dan bagi saya itu adalah suatu realitas- bahwa itu tidak mungkin merupakan suatu proses, yang berarti persoalan waktu, tingkatan, tahapan, maka hanya ada satu permasalahan, yakni mengakhirinya secara instan.
28:56 S: Yes, to destroy the monster at one step. S: Ya, menghancurkan monster dalam satu langkah.
28:59 K: Instantly!

S: Yes. Unquestionably that must be done. We must destroy me-ness.
K: Secara instan!

S: Ya. Tak diragukan, itu yang harus dilakukan. Kita harus menghancurkan ke-aku-an.
29:07 K: No, destroy... I wouldn't use. The ending of the me, with all the accumulation, with all the experiences, what it has accumulated, consciously and unconsciously, can that whole content be thrown out? Not by effort, by me. If I say: 'By me I'll throw it out' it is still the me. K: Saya tak akan memakai "menghancurkan". Mengakhiri si-aku, dengan semua akumulasinya, dengan semua pengalamannya, apa pun yang sudah diakumulasinya, secara sadar dan tidak-sadar, bisakah seluruh konten tersebut dibuang? Tidak dengan daya-upaya, oleh si-aku. Jika saya bilang, "Oleh si-aku, saya buang," itu masih si-aku.
29:30 S: Yes. S: Ya.
29:31 K: Or if I throw it out by exertion of will, it is still the me. The me remains. K: Atau saya buang dengan tenaga kehendak, itu masih si-aku. Si-aku masih di situ.
29:38 S: It is not – clearly in my mind, it is not an act, or an activity of the mind, nor an activity of the will, nor an activity of the feelings, nor an activity of the body, which will help me to see me – no, pardon me – will help me to see.

K: See, yes.
S: Itu bukan -jelas dlm batin saya, itu bukan suatu tindakan, ataupun aktivitas batin, bukan juga aktivitas kehendak, bukan juga aktivitas perasaan, bukan juga aktivitas tubuh, yang akan membantu saya memandang saya -bukan, maafkan saya- akan membantu saya memandang.

K: Memandang, ya.
29:59 S: And since we, in this world, are so wrapped up with doing, with having, with acting, we really don't understand reflectively and profoundly what takes place before we act or before we possess. And I think that it is incumbent upon us to reflect backwards and see that there is seeing before seeing takes place – in the two senses of the word seeing – just as there is loving before one becomes aware of loving, and certainly just as there is being before one becomes aware of being. S: Dan karena kita, di dunia ini, begitu terbungkus dengan melakukan, dengan memiliki, dengan bertindak, kita benar-benar tidak mengerti secara reflektif dan mendalam, apa yang berlangsung sebelum kita bertindak atau sebelum kita memiliki. Dan saya pikir, kita wajib merenung ke belakang dan melihat bahwa ada tindakan melihat sebelum tindakan memandang berlangsung... -dalam dua pengertian dari kata "seeing" - seperti halnya ada cinta sebelum seseorang menjadi sadar akan cinta, dan tentunya, sama seperti adanya keberadaan sebelum seseorang menjadi sadar tentang keberadaan.
30:37 K: Yes, sir, but I… K: Ya, Pak. Tapi, saya...
30:40 S: Is the question reflecting backwards deep, inwardly, deeply enough? S: Apakah pertanyaan yang merenung ke belakang dalam, batiniah, cukup mendalam?
30:45 K: Now just a minute, sir, that's the difficulty, because the me is at a conscious level and at the deeper levels of consciousness. Can the conscious mind examine the unconscious me and expose it? Or the content of consciousness is the me! K: Sebentar, Pak, itulah kesulitannya karena si-aku ada pada tingkatan sadar dan pada tingkat yang lebih dalam dari kesadaran. Bisakah batin sadar memeriksa ketidaksadaran si-aku dan menyingkapnya? Ataukah konten kesadaran adalah si-aku!
31:18 S: No, the self transcends the content of consciousness. But the me may well be the content of consciousness. But the me is not the I, the me is not the self. S: Bukan, si-diri melampaui konten yang ada dalam kesadaran. Tapi, si-aku mungkin adalah konten yang ada dalam kesadaran. Tapi si-aku bukanlah saya, si-aku bukanlah si-diri.
31:28 K: Wait, wait. I included in the me, the self, the ego, the whole conceptual ideation about myself, the higher self the lower self, the soul: all that is the content of my consciousness which makes the I, which makes the ego, which is the me. K: Sebentar. Saya memasukkan si-diri, si-ego, ke dalam si-aku, keseluruhan ide konseptual tentang diri saya, si-diri yang lebih tinggi si-diri yang lebih rendah, si-jiwa: semuanya itu adalah konten dalam kesadaran saya yang menciptakan si-saya, si-ego yang adalah si-aku.
31:54 S: It certainly makes the me, yes. I unquestionably agree with that, that it makes that objective self that I can examine and analyze and look at, compare, that I can be violent with others about. It's explanatory, if you will, or the summation of the whole thing which you put in the word 'me', is explanatory of a history of a whole multiplicity of present relationships but it's still not getting at the reality. S: Pastinya itulah yang membuat si-aku. Tak diragukan lagi saya setuju hal itu, itulah yang menciptakan diri objektif yang bisa saya periksa dan analisis dan saya lihat, perbandingkan, bahwa saya bisa jadi kejam pada orang lain. Itu sudah jelas, demikianlah, atau penjumlahan dari keseluruhan hal yang Anda masukkan dalam kata "aku", adalah penjelasan dari sejarah seluruh keserbaragaman hubungan -hubungan yang sekarang, akan tetapi masih belum sampai pada kenyataan.
32:23 K: No, the reality cannot be got at, or it cannot flower if the me is there. K: Kenyataan itu tidak bisa didapat, atau tidak bisa mekar apabila si-aku ada di situ.
32:32 S: Whenever, as I said before, whenever I insist upon viewing you as me, then the reality cannot flower and freedom will not be. S: Kapanpun, seperti saya katakan sebelumnya, kapanpun saya bersikeras memandang Anda sebagai saya, maka kenyataan tidak bisa mekar dan kebebasan tidak akan ada.
32:43 K: So, can the content of my consciousness, which is the me, which is my ego, myself, my ideations, my thoughts, my ambitions, my greeds – all that is the me – my nation, my desire for security, my desire for pleasure, my desire for sex, my desire to do this and to do that – all that is the content of my consciousness. As long as that content remains, there must be separation between you and me, between good and bad, and the whole division takes place. Now, we're saying, the emptying of that content is not a process of time. K: Nah, bisakah konten kesadaran saya yang adalah si-aku, yang adalah ego saya, diri saya, gagasan saya, pikiran saya, ambisi saya, keserakahan saya -semua itu adalah si-aku- kebangsaan saya, hasrat akan keamanan, kesenangan, hasrat saya akan seks, hasrat saya melakukan ini dan itu- kesemuanya itu adalah konten dalam kesadaran saya. Selama konten itu tetap ada, pastilah di situ ada pemisah-misahan antara Anda dan saya, antara baik dan buruk, dan keseluruhan pengkotak- kotakan pun berlangsung. Nah, kita mengatakan, pengosongan konten tersebut bukanlah proses waktu.
33:32 S: Nor is it subject to methodology. S: Juga tidak tunduk pada metodologi.
33:34 K: Methodology. Then, what is one to do? Let's look at it a little, take time a little bit over this, because this is quite important because most people say: 'You must practice – you follow? – you must strive, you must make a tremendous effort, live disciplined, control, suppress'. K: Metodologi. Lalu apa yang dilakukan seseorang? Mari kita melihatnya sejenak, luangkan waktu sedikit untuk ini, karena hal ini cukup penting karena kebanyakan orang mengatakan: "Anda harus berlatih -pahamkah Anda?- Anda harus berjuang, Anda harus berdaya-upaya luar biasa, hidup disiplin, mengontrol, mengekang."
33:59 S: I am very familiar with all of that. S: Saya sangat akrab dengan itu semua.
34:01 K: That's all out! K: Semua itu keliru!
34:04 S: That has not been helpful. S: Hal itu tidak membantu.
34:06 K: Not at all.

S: No, no.
K: Tidak sama sekali.

S: Tidak.
34:08 K: So, how is the content to be emptied with one stroke, as it were? K: Jadi, bagaimana konten itu dikosongkan dengan satu pukulan, seperti itu?
34:15 S: I would say – and maybe we could pursue this together – the content cannot be emptied by a negative action of repudiation of the content.

K: No, no. Obviously.
S: Saya akan mengatakan -mungkin kita bisa mendiskusikan ini bersama- konten itu tidak bisa dikosongkan dengan suatu tindakan negatif yang menyangkal konten.

K: Tidak. Jelas tidak.
34:28 S: So that is a blind alley, we must not approach it that way. S: Itu adalah jalan buntu, mestinya kita tak mendekatinya secara demikian.
34:32 K: Obviously. By denying it, you are putting it under the carpet. I mean, it is like locking it up. It is still there. K: Jelas. Dengan menyangkalnya, Anda menyembunyikan persoalan. Maksud saya, itu seperti menguncinya. Itu masih ada di situ.
34:38 S: It's a pretence.

K: That's just it, sir. One has to see this. One has to be tremendously honest in this. Otherwise one plays tricks upon oneself, one deceives oneself. I see clearly, logically, that the me is the mischief in the world.
S: Itu adalah kepura-puraan.

K: Begitulah, Pak. Seseorang harus melihat ini. Seseorang harus sangat jujur dalam hal ini. Jika tidak seseorang akan memainkan trik pada diri sendiri, menipu diri sendiri. Saya melihat dengan jelas dan logis, si-aku adalah si-perusak di dunia ini.
35:03 S: Well, I don't see that so logically as simply intuitively. S: Saya tak melihatnya sedemikian logis hanya secara intuitif.
35:07 K: All right. K: Baiklah.
35:09 S: It's not the result of a discursive act. S: Itu bukan hasil tindakan diskursif.
35:11 K: No, no.

S: It's not a dialectical…
K: Bukan, bukan.

S: Bukan dialektika.
35:12 K: No, of course not. Not analytical, dialectic – you see it. You see a selfish human being, whether it's politically high or low, you see human beings, selfish, and how destructive they are. Now the question is, can this content be emptied, so that the mind is really empty and active and therefore capable of perception? K: Bukan analitik, dialektik, -Anda melihat itu. Anda lihat manusia yang egois, baik tinggi maupun rendah secara politis, Anda melihat manusia, egois, dan betapa merusaknya mereka. Sekarang pertanyaannya adalah, bisakah konten ini dikosongkan, sehingga batin betul-betul kosong dan aktif dan, oleh karena itu, mampu mempersepsi?
35:46 S: Probably the content cannot be simply emptied. I think that the content can be put in a perspective or can be seen for its inadequacy, or its inappropriateness, by a very energetic act of simply seeing. That's what I said in the beginning that so long as I look at the truths of any given religion, I am not finding truth itself. And the way I discover the relative value of the truths of any given religion is precisely by seeing truth itself, in itself, not as an object. S: Kemungkinan konten tersebut tidak bisa dikosongkan begitu saja. Saya pikir konten itu bisa diletakkan ke dalam perspektif atau bisa dilihat kekurangannya atau ketidaksesuaiannya, dengan tindakan memandang yang sangat energik. Itu yang saya katakan di bagian awal, sepanjang saya lihat kebenaran dari agama apa pun, saya tidak bertemu kebenaran itu sendiri. Dan cara saya menemukan nilai kebenaran yang relatif dari agama tertentu adalah memandang secara persis kebenaran di dalamnya, bukan sebagai objek.
36:26 K: No, I cannot, the mind cannot perceive truth if there is division. That I must stick to. K: Tidak, saya tidak bisa, batin tidak bisa mencerap kebenaran jika di situ ada pemecah-mecahan. Itu harus saya pegang.
36:35 S: Once you have division of any kind… S: Begitu ada pemecah- mecahan apa pun...
36:37 K: That's finished. K: Selesailah.
36:39 S: …then you're in the categorical level, and then you will not see. S: Anda di level kategoris, Anda tak bisa melihat.
36:41 K: Therefore my question is whether the mind can empty its content. This is really – you follow? K: Karenanya, pertanyaan saya, bisakah batin mengosongkan kontennya. Ini sungguh-sungguh -pahamkah Anda?
36:51 S: I follow what you are saying and I think you are devising a new methodology. S: Saya paham dan saya pikir Anda sedang merancang metodologi baru.
36:55 K: Ah, no, no! I am not devising a methodology. I don't believe in methods. I think they are the most mechanical, destructive things. K: Ah, tidak! Saya tidak sedang merancang metodologi. Saya tidak mempercayai metode. Menurut saya, itu hal yang paling mekanis, merusak.
37:05 S: But then, after having said that, then you come back and say but if the mind is to… if the self is really to see it must empty itself of content. Isn't this a method? S: Tapi, setelah mengatakan demikian, Anda kembali lagi dan mengatakan tetapi jika batin hendak me-..., jika si-diri betul-betul hendak memandang, ia haruslah mengosongkan kontennya. Bukankah ini metode?
37:18 K: No, no.

S: But why, sir, is it not a method?
K: Tidak, tidak.

S: Tapi mengapa, bukankah itu metode?
37:20 K: I'll show you, sir. It is not a method because we said as long as there is division there must be conflict. That is so, politically, religiously. And we say, division exists because of the me. Me is the content of my consciousness. And that the emptying of the mind brings unity. I see this, not logically but as fact, not conceptually. I see this in the world taking place and I say, 'How absurd, how cruel all this is.' And the perception of that empties the mind. The very perceiving is the act of emptying. K: Saya akan tunjukkan pada Anda, Pak. Bukan suatu metode lantaran kita katakan, sepanjang ada pemecah-mecahan, pastilah di situ ada konflik. Hal itu memang demikian secara politis, secara religius. Dan kita katakan, pemecah- mecahan eksis lantaran si-aku. Si-aku adalah konten dalam kesadaran saya. Dan bahwa suatu pengosongan batin membawa penyatuan. Saya melihat ini, tidak secara logis, tapi sebagai fakta, bukan konseptual. Saya melihat hal ini berlangsung di dunia dan saya mengatakan, "Betapa absurdnya, betapa kejamnya semua ini." Dan wawasan tentang hal itu mengosongkan batin. Pemahaman itu sendiri adalah tindakan pengosongan.
38:14 S: What you're suggesting is that the perception of the inappropriateness of the content of consciousness or of the me, the perception of the inadequacy of this or the truthlessness of the me is in itself the discovery of being. S: Anda mengatakan bahwa suatu wawasan tentang ketidaksesuaian dalam konten kesadaran atau dalam si-aku, suatu wawasan tentang ketidakcukupan di dalamnya atau kepalsuan dalam si-aku merupakan penemuan keberadaan.
38:32 K: That's right. That's right.

S: I think we should pursue that.
K: Itu benar. Itu benar.

S: Kita harus ikuti itu.
38:35 K: We should. K: Kita harus.
38:37 S: Because I wonder if the perception is in fact that negative or might in fact be very positive. That it's rather in the simple seeing of the being of things, – it wouldn't have to be me or you, in the objective sense, it could be this table or my hand – that I discover the inadequacy of the content of consciousness or of these objective sorts of things like me or you. So it may be a rather profound display of intellectual, or rather, personal energy that simply makes itself by reason of the display visible to me. It's dissipating and at the same time it's easy to deal with concepts – we've agreed on that – it's easy to create concepts. It's easier, I maintain, to see simply. S: Karena saya bertanya-tanya apakah persepsi itu sebenarnya negatif atau mungkin sebenarnya sangat positif. Hal ini lebih mudah dipandang dari keberadaan benda-benda, -tidak harus saya atau Anda, dalam artian objektif, bisa meja ini atau tangan saya- saya menemukan ketidakcukupan dalam konten kesadaran atau dalam hal-hal objektif seperti saya atau Anda. Jadi, ini mungkin saja tampilan intelektual yang agak mendalam atau energi pribadi yang membuat dirinya, dengan alasan tampilan, terlihat oleh saya. Itu sia-sia dan pada saat bersamaan, mudah untuk menangani konsep -kita sudah menyetujui hal itu- mudah untuk membuat konsep. Lebih mudah, saya pertahankan, untuk memandang secara sederhana.
39:39 K: Of course.

S: Prior to concepts.
K: Tentu saja.

S: Sebelum konsep.
39:41 K: Seeing.

S: Just simply seeing.
K: Memandang.

S: Hanya sekedar memandang.
39:44 K: Sir, I cannot… There is no perception if that perception is through an image. K: Pak, saya tidak bisa... Tidak ada persepsi jika persepsi itu melalui sebuah citra.
39:54 S: There is no perception if the perception is through an image. I think that is very true. S: Tidak ada persepsi jika persepsi itu melalui sebuah citra. Saya pikir itu sangat benar.
39:59 K: Now, the mind has images. K: Sekarang, batin mempunyai gambar.
40:03 S: The mind is bedevilled with images. S: Batin terganggu oleh gambar-gambar.
40:05 K: That's just it. It has images. I have an image of you and you have an image of me. These images are built through contact, through relationship, through your saying this, your hurting me, you know, it's built, it is there! Which is memory. The brain cells themselves are the residue of memory which is the image formation. Right? Now, the question then is: memory, which is knowledge, is necessary to function – technically, to walk home, or drive home, I need memory. Therefore memory has a place as knowledge. And knowledge as image has no place in relationship between human beings. K: Itulah. Batin memiliki gambar-gambar. Saya memiliki gambaran tentang Anda dan Anda memiliki gambaran tentang saya. Gambaran-gambaran ini dibangun melalui kontak, melalui hubungan, melalui perkataan Anda, Anda melukai saya, Anda tahu, itu dibangun, itu ada di situ! Yang adalah memori. Sel-sel otak itu sendiri merupakan residu memori yang adalah formasi gambar. Benar? Maka, pertanyaannya adalah: memori, yang adalah pengetahuan, diperlukan untuk berfungsi -secara teknis, untuk pulang ke rumah, mengemudi ke rumah, saya perlu memori. Oleh sebab itu, memori diposisikan sebagai pengetahuan. Dan pengetahuan sebagai citra tidak punya tempat dalam hubungan antarmanusia.
41:15 S: I still think that we are avoiding the issue at hand. Because I think what you have said relative to the question of memory is, as you have suggested, terribly important but I don't think that memory, or the repudiation of memory by consciousness, or the repudiation of the content of consciousness is the solution of the problem. I think what we have to do is say how is it, Krishnaji, that you – I'm not talking methodology now – but I know that you have seen. How is it that you saw, or that you see? And don't tell me what you eliminated in order to describe to me how you see. S: Saya masih berpikir bahwa kita menghindari masalah yang ada. Saya pikir apa yang Anda katakan relatif terhadap pertanyaan tentang memori sebagaimana Anda sarankan, sangatlah penting, tapi menurut saya, memori itu, atau penyangkalan memori oleh kesadaran, atau penyangkalan terhadap konten kesadaran bukanlah solusi permasalahan. Saya pikir, yang perlu kita lakukan adalah mengatakan bagaimana Anda, Krishnaji -saya tak bicara metodologi sekarang- tapi saya tahu Anda telah melihat. Bagaimana Anda melihat, atau memandang? Dan jangan katakan apa yang Anda eliminasi untuk menjelaskan bagaimana Anda melihat.
41:57 K: I'll tell you how I saw. You simply see! K: Saya akan katakan bagaimana saya memandang. Anda lihatlah!
42:00 S: Yes, now, suppose you wanted to say to someone who had no such experience, 'You simply see'. Because I say the same thing myself all the time, 'Well, you simply see' and people say, 'You simply see, how?' And we must, if we are to be teachers, deal with this: 'Let me take you by the hand and I will show you how to see.' S: Ya, sekarang, misalkan Anda ingin mengatakan pada seseorang yang tidak memiliki pengalaman, "Anda sekadar memandang." Karena saya mengatakan hal yang sama setiap saat, "Anda sekadar memandang saja," dan orang-orang berkata, "Anda sekadar memandang, bagaimana?" Dan kita harus, jika kita akan menjadi guru, menghadapi ini: "Izinkan saya memegang tangan Anda dan saya perlihatkan bagaimana memandang."
42:23 K: I'll show you. I think that's fairly simple. First of all, one has to see what the world is, see what is around you. See. Don't take sides. K: Akan saya tunjukkan pada Anda. Menurut saya, ini cukup sederhana. Pertama sekali, orang harus memandang apakah dunia ini, memandang sekitar Anda. Memandang. Jangan berpihak.
42:42 S: Yes. I think our terminology may get in the way here. Suppose rather than say, 'One must start by seeing what the world is' we were able to start by saying, 'One must see the world.' Not concerned with natures or categories. S: Ya. Saya pikir terminologi kita agak menghalangi di sini. Daripada mengatakan, "Orang harus mulai dengan memandang apa dunia ini" kita bisa memulai dengan mengatakan, "Orang harus memandang dunia." Tidak merisaukan sifat atau kategori.
42:58 K: No, no. See the world.

S: Yes, no whats.
K: Tidak. Pandang dunia.

S: Tanpa apa.
43:00 K: See the world.

S: See the world.
K: Pandang dunia

S:Pandang dunia
43:02 K: Same thing – see the world.

S: Yes.
K: Hal serupa -pandang dunia.

S: Ya.
43:03 K: See the world as it is. Don't translate it in terms of your concepts. K: Pandang dunia seperti adanya. Jangan menerjemahkannya berkenaan dengan konsep Anda.
43:10 S: Now, again, could I say, 'See the world as it is is-ing?' S: Sekarang, lagi, bisakah saya katakan, "Pandang dunia sebagaimana adanya?"
43:15 K: Yes, put it… K: Ya, katakan...
43:17 S: Does that help? I mean, we are trying to… S: Apa itu membantu? Kita sedang mencoba...
43:19 K: See the world as it is. You cannot see the world as it is if you interpret it in your terminology, in your categories, in your temperament, in your prejudices. See it as it is, violent, brutal, whatever it is.

S: Or good or beautiful.
K: Pandang dunia apa adanya. Anda tak bisa memandang dunia apa adanya jika Anda menafsirkannya dalam terminologi Anda, kategori Anda, temperamen Anda, prasangka Anda. Pandang apa adanya, kejam, brutal, apa pun itu.

S: Atau baik atau indah.
43:40 K: Whatever it is. Can you look at it that way? Which means can you look at a tree without the image of the tree – botanical and all the naming – just look at the tree? K: Apa pun itu. Bisakah Anda melihatnya secara demikian? Yang artinya bisakah Anda melihat pohon tanpa gambaran tentang pohon -secara botanikal dan semua penamaan- sekadar melihat pohon?
43:55 S: And once you have discovered – and it's not easy in our world to discover – the simple experience of seeing the tree without thinking tree-ness, or its nature, or, as you say, its botany and things of that kind, then what would you suggest is the next step in the pursuit of seeing? S: Dan begitu Anda menemukan -dan tidak mudah di dunia kita untuk menemukan- pengalaman sederhana memandang pohon tanpa memikirkan ke-pohon-an, atau sifatnya, atau, seperti Anda katakan, botani dan hal-hal sejenisnya, kemudian apa yang Anda sarankan dalam langkah berikutnya dari memandang?
44:18 K: Then seeing myself as I am. K: Lalu memandang diri saya apa adanya.
44:24 S: Underneath the content of your consciousness. S: Yang ada di bawah konten kesadaran Anda.
44:26 K: Seeing all, not underneath. I haven't begun yet. I see what I am. Therefore self-knowing. There must be an observation of myself as I am, without saying: how terrible, how ugly, how beautiful, how sentimental. Just to be aware, of all the movement of myself conscious as well as unconscious. I begin with the tree. Not a process. I see that. And also I must see, this way, myself. The hypocrisy, the tricks I play – you follow? – the whole of that. Watchfulness, without any choice – just watch. Know myself. Knowing myself all the time. K: Pandang semua, bukan yang tersembunyi. Saya belum mulai. Saya pandang diriku. Artinya, mengenal-diri. Harus ada pengamatan terhadap diri sendiri apa adanya, tanpa mengatakan: betapa buruk, betapa jelek, betapa cantik, betapa sentimental. Sekadar waspada terhadap semua gerak diri sendiri, yang sadar maupun bawah sadar. Saya awali dengan pohon itu. Bukan proses. Saya memandangnya. Dan juga saya harus memandang, dengan cara ini, diri sendiri. Kemunafikan, trik yang saya mainkan -Anda ikuti?- keseluruhannya itu. Penuh perhatian, tanpa memilih -sekadar perhatian. Mengenal diri sendiri. Mengenal diri sendiri sepanjang waktu.
45:24 S: But in a non-analytical fashion. S: Namun, dengan cara non-analitis.
45:27 K: Of course. But the mind is trained to be analytical. So I have to pursue that. Why am I analytical? Watch it. See the futility of it. It takes time, analysis, and you can never really analyze, by a professional or by yourself, so see the futility of it, the absurdity of it, the danger of it. So, what are you doing? You are seeing things as they are, actually what is taking place. K: Tentu. Tapi batin telah dilatih untuk analitis. Jadi, saya harus mengikuti itu. Mengapa saya analitis? Perhatikan itu. Pandang kesia-siaannya. Itu membutuhkan waktu, analisis, Anda tak pernah bisa sungguh menganalisis, oleh profesional atau diri sendiri, jadi pandanglah kesia-siaannya, absurditasnya, bahayanya. Nah, apa yang Anda lakukan? Anda memandang sesuatu apa adanya, sebenar-benarnya yang berlangsung.
46:07 S: My tendency would be to say that when we discuss this we may use these words like, 'Seeing the self in its fullness with all of its negative and positive polarities.' Seeing the self in its fullness and then realizing the futility of… analytically looking at certain dimensions of the self and then saying, 'But I still must see.' S: Saya cenderung mengatakan bahwa ketika kita mendiskusikan ini, kita dapat menggunakan kata-kata ini, "Memandang diri dalam kepenuhannya dengan seluruh polaritas negatif dan positifnya." Memandang diri dalam kepenuhannya lalu menyadari kesia-siaan dari... secara analitis melihat pada dimensi tertentu dari diri lalu mengatakan, "Tetapi, saya masih harus memandang."
46:34 K: Of course. K: Tentu.
46:35 S: Because at this point I have not yet seen. Because all I have seen are the analytical categories I've used to take myself apart somehow or other, in little pieces. S: Di titik ini, saya belum memandang. Semua yang saya lihat adalah kategori analitis yang pernah saya gunakan untuk memisahkan diri, dengan suatu cara atau lainnya, dalam potongan kecil.
46:44 K: That's why I said – can you look at the tree without the knowledge? K: Itu sebab saya katakan -bisakah Anda melihat pohon tanpa pengetahuan?
46:48 S: Without the prior conditioning.

K: Prior conditioning. Can you look? Can you look at a flower, and without any word?
S: Tanpa pengkondisian terdahulu.

K: Pengkondisian terdahulu. Bisa Anda lihat? Bisakah Anda melihat bunga, dan tanpa sepatah katapun?
46:59 S: I can see how one must be able to look at the self. I must be able to look at you, Krishnamurti, and not use the word 'Krishnamurti'. Otherwise I will not see you.

K: That's right.
S: Saya bisa paham bagaimana seseorang harus mampu melihat diri. Saya harus mampu melihat pada Anda, Krishnamurti, dan tidak menggunakan kata "Krishnamurti." Jika tidak, saya tak memandang Anda.

K: Ya.
47:13 S: This is true. Now, after I have learned, through thinking to say, 'I must see you and not even use the word', then... S: Ini benar. Sekarang, setelah saya mempelajari, melalui pemikiran untuk berkata, "Saya harus memandang Anda dan tidak menggunakan kata," kemudian...
47:25 K: The word, the form, the image, the content of that image, and all the rest of it. K: Kata, bentuk, gambaran, konten dari gambaran, dan semuanya itu.
47:32 S: Yes. Whatever the word denotes, I must not use. S: Ya. Apapun yg ditandai oleh kata, tidak boleh saya pakai.
47:34 K: Sir, that requires tremendous watchfulness. K: Pak, itu membutuhkan pengamatan yang besar sekali.
47:38 S: Yes. It requires… S: Ya. Itu butuh...
47:41 K: Watchfulness in the sense, not correction, not saying, 'I must, I must not' – watching. K: Pengamatan dalam artian, bukan koreksi, bukan berkata, "Saya harus, saya tidak harus" -mengamati.
47:51 S: When you use the word 'watching' – and again because we are teaching, we must be careful of our words… S: Ketika Anda gunakan kata 'mengamati' -dan lagi, karena kita mengajar, kita harus hati-hati berkata...
47:57 K: Being aware – doesn't matter what word you use. K: Menyadari -tidak masalah kata apa yang Anda gunakan.
48:01 S: Watching has the connotation of observation, and observation has the connotation of putting something out there to look at under a microscope, as a scientist would do. And I think this is what we don't want to teach. S: Mengamati mempunyai konotasi observasi, dan observasi mempunyai konotasi meletakkan sesuatu di luar untuk dilihat, di bawah mikroskop, seperti yang dilakukan ilmuwan. Saya pikir ini bukan yang ingin kita ajar.
48:13 K: No, of course, of course. K: Bukan, tentu, tentu.
48:15 S: So now, if you could use again, Krishnaji, the word 'watching'… S: Sekarang, jika Anda bisa pakai lagi, Krishnaji, kata 'mengamati'...
48:21 K: Instead of watching, being aware, choicelessly aware. K: Sebagai ganti mengamati, menyadari, sadar-tanpa-memilih.
48:25 S: Choicelessly aware. Fine. All right. S: Sadar-tanpa-memilih. Baik. Baiklah.
48:27 K: That's right.

S: This we must do.
K: Itu baik.

S: Ini harus kita lakukan.
48:29 K: Yes. Choicelessly aware of of this dualistic, analytical, conceptual way of living. Be aware of it. Don't correct it, don't say:'This is right' – be aware of it. And, sir, we are aware of this, so intensely, when there is a crisis. K: Ya. Sadar-tanpa-memilih tentang yang dualistik, analitik, cara hidup konseptual ini. Sadari hal itu. Jangan mengoreksinya, jangan katakan: "Ini benar" -sadari saja hal itu. Dan, Pak, kita menyadari hal ini, dengan sangat intens, ketika ada krisis.
49:04 S: We have another problem that precedes this one by an inch. I think the other problem is: what kinds of questions can I ask myself in order to be aware of you and not use the categories, or to be aware of the fact that, in being aware of you, I am using the categories and the stereotypes and all these other funny images that I use all the time. Is there some way in which I can address myself to you, using certain kinds of words, not ideas, words that don't relate to ideas at all, using certain kinds of words that don't relate to ideas, that somehow they will teach me – or teach you or whomsoever – that there is something more important, of more significance in you than your name, or your nature, or your content, your consciousness, or your good or your evil? What words would you use if you were to teach a young person, or an old person – we all have the problem – what words would you use in order to make it understandable in a non-rational or, better, in a pre-rational way that you are more than your name connotes? S: Kita punya permasalahan lain yang mendahului yg satu ini dekat sekali. Saya pikir permasalahan lain itu adalah: jenis pertanyaan-pertanyaan apa yang bisa saya tanyakan dalam rangka sadar akan Anda dengan tidak menggunakan kategori, atau sadar akan fakta yang, dalam rangka menyadari Anda, saya menggunakan kategori dan stereotipe dan semua gambaran lucu lainnya yang saya gunakan sepanjang waktu. Adakah cara di mana saya bisa membahasakan diri pada Anda, menggunakan semacam kata tertentu, bukan ide, kata yang tidak berhubungan dengan ide sepenuhnya, menggunakan kata-kata tertentu yang tidak berkaitan dengan ide, yang, entah bagaimana, akan mengajari saya -atau mengajari Anda atau siapa pun- bahwasanya ada sesuatu yang lebih penting yang lebih signifikan di dalam Anda ketimbang nama Anda, atau sifat Anda, atau konten Anda, kesadaran Anda, atau kebaikan atau kejahatan Anda? Kata-kata apa yang akan Anda gunakan jika Anda akan mengajar orang muda atau orang dewasa -kita semua mempunyai masalah- kata-kata apa yang akan Anda gunakan dalam rangka membuatnya dapat dimengerti dengan cara non-rasional atau, lebih tepat, dengan cara pra-rasional bahwa Anda lebih dari yang dikonotasikan oleh nama Anda?
50:25 K: I would use that word, I think: be choicelessly aware. K: Saya akan menggunakan kata itu, saya pikir: sadar-tanpa-memilih.
50:30 S: Choiceless. S: Tanpa-memilih.
50:31 K: To be choicelessly aware. Because to choose, as we do, is one of our great conflicts. K: Menjadi sadar-tanpa-memilih. Karena memilih, seperti yang kita lakukan, merupakan salah satu konflik yang dahsyat.
50:42 S: And we, for some strange reason, associate choice with freedom which is the antithesis of freedom. S: Dan kita, dengan beberapa alasan aneh, membaurkan memilih dengan kemerdekaan yang adalah antitesis kemerdekaan.
50:48 K: It's absurd, of course!

S: It's absurd, yes. But now, so then to be freely aware.
K: Itu absurd, tentunya!

S: Itu absurd, ya. Tapi, untuk menjadi sadar secara bebas.
50:55 K: Yes. Freely, choicelessly. K: Secara bebas, tanpa-memilih.
50:57 S: In the sense of choicelessness, freely aware. S: Tanpa-memilih, sadar secara bebas.
51:00 S: Now, suppose that someone would want to say 'But, sir, I don't understand completely what you mean by choicelessly aware, can you show me what you mean?' S: Nah, seandainya seseorang ingin mengatakan "Tapi, Pak, saya tidak mengerti sepenuhnya apa yang Anda maksud dengan sadar-tanpa-memilih, bisakah Anda tunjukkan apa maksud Anda?
51:13 K: I'll show you. First of all, choice implies duality. K: Akan saya tunjukkan. Pertama sekali, memilih menyiratkan dualitas.
51:23 S: Choice implies duality, yes. S: Memilih menyiratkan dualitas, ya.
51:25 K: But there is choice: I choose that carpet better than the other carpet. At that level choice must exist. But when there is an awareness of yourself, choice implies duality, choice implies effort. K: Tapi ada yang namanya memilih: saya memilih karpet yang lebih bagus dari karpet lainnya. Pada tingkatan itu, memilih harus ada. Tapi, apabila di situ ada suatu kesadaran diri, memilih menyiratkan dualitas, memilih menyiratkan daya-upaya.
51:46 S: Choice implies a highly developed consciousness of limitation. S: Memilih menyiratkan kesadaran yang telah jauh berkembang dari keterbatasan.
51:51 K: Yes, yes. Choice implies also conformity. K: Ya, ya. Memilih menyiratkan juga suatu kompromi.
51:57 S: Choice implies conformity – cultural conditioning. S: Memilih menyiratkan kompromi -pengkondisian kultural.
52:01 K: Conformity. Conformity means imitation. K: Kompromi. Kompromi berarti imitasi.
52:03 S: Yes. S: Ya.
52:04 K: Imitation means more conflict, trying to live up to something. So there must be an understanding of that word, not only verbally but inwardly, the meaning of it, the significance of it. That is, I understand the full significance of choice, the entire choice. K: Imitasi artinya lebih berkonflik, mencoba hidup sesuai dengan sesuatu. Jadi, harus ada suatu pemahaman tentang kata itu, tidak hanya secara verbal, tapi juga artinya secara batin, signifikansinya. Yaitu, saya memahami signifikansi sepenuhnya dari memilih, keseluruhan memilih.
52:26 S: May I attempt to translate this now? S: Bolehkah saya coba menerjemahkan ini?
52:28 K: Yes.

S: Would you say that choiceless awareness means that I am somehow or other conscious of your presence to the within of me and I don't need the choice? The choice is irrelevant, the choice is abstract, the choice has to do with the categories when I don't feel, having seen you, that I must choose you, or choose to like you, or choose to love you, that no choice is involved. Then would you say I have choiceless awareness of you?
K: Ya.

S: Bisakah dikatakan bahwa sadar-tanpa-memilih berarti saya, dengan suatu cara atau lainnya, menyadari kehadiran Anda ke dalam batin saya dan saya tidak membutuhkan pilihan? Pilihan tidak relevan, pilihan adalah abstrak, pilihan berhubungan dengan kategori-kategori ketika saya tak merasa, setelah memandang Anda, bahwa saya harus memilih Anda, atau memilih menyukai Anda, atau mengasihi Anda, bahwa tiada pemilihan terlibat. Bisakah Anda katakan saya mempunyai sadar-tanpa-memilih akan Anda?
53:02 K: Yes, but you see, sir, Is there in love, choice? I love. Is there choice? K: Ya, tapi pahamkah Anda, adakah memilih di dalam mengasihi? Saya mengasihi. Adakah memilih di situ?
53:17 S: There is no choice in love. S: Tidak ada memilih di dalam kasih.
53:19 K: No, that's just it. Choice is a process of the intellect. I explain this as much as we can, discuss it, go into it, but I see the significance of it. Now, to be aware. What does that mean, to be aware? To be aware of things about you, outwardly, and also to be aware inwardly, what is happening, your motives. – to be aware, again choicelessly: watch, look, listen, so that you are watching without any movement of thought. The thought is the image, thought is the word. To watch without without thought coming and pushing you in any direction. Just to watch. K: Tidak ada, itulah. Memilih adalah suatu proses intelek. Saya menerangkan ini sebisa kita, mendiskusikannya, mempelajarinya, namun saya melihat signifikansinya. Sekarang, menjadi sadar. Apakah artinya itu, menjadi sadar? Untuk menyadari hal-hal tentang Anda, dari luar, dan juga menyadari yang di dalam, apa yang terjadi, motif Anda. -menjadi sadar, tanpa-memilih: memperhatikan, melihat, mendengar sehingga Anda memperhatikan tanpa gerak pikiran apa pun. Pikiran adalah gambaran, pikiran adalah kata. Memperhatikan tanpa tanpa munculnya pikiran yang mendorong Anda ke segala arah. Sekadar memperhatikan.
54:19 S: I think you used a better word before, when you said… S: Anda memakai kata yang lebih baik sebelumnya, ketika mengatakan...
54:22 K: Aware.

S: To be aware.
K: Sadar.

S: Menyadari.
54:24 K: Yes, sir.

S: Because it is an act of existence rather than an act of the mind or the feeling.

K: Of course, of course.
K: Ya, Pak.

S: Karena itu adalah tindakan eksistensi ketimbang tindakan batin atau perasaan.

K: Tentu, tentu.
54:30 S: So then we have to… I have to somehow or other become eventually, and therefore be aware, in a pre-cognitive sense of your presence.

K: Be aware. That's right.
S: Maka, kita harus... saya harus, dengan suatu cara atau lainnya, menjadi, akhirnya, dan karenanya, menjadi sadar, dalam arti pra-kognitif tentang kehadiran Anda.

K: Sadar. Betul.
54:43 S: And this antecedes choice.

K: Yes.
S: Dan ini mendahului pilihan.

K: Ya.
54:45 S: And it makes choice unnecessary. S: Dan itu membuat memilih tidak perlu.
54:48 K: There is no choice – be aware. There is no choice. K: Tidak ada memilih -sadar. Tidak memilih.
54:50 S: Be aware. Choiceless awareness. S: Menyadari. Sadar-tanpa-memilih.
54:52 K: Now, from there, there is an awareness of the me. Awareness, how hypocritical – you know – the whole of the movement of the me and the you. K: Nah, dari situ, ada suatu kesadaran akan si-aku. Kesadaran, betapa munafiknya -Anda tahu- keseluruhan gerakan si-aku dan si-Anda.
55:11 S: Sir, you're moving backwards now, we've already… S: Pak, Anda bergerak mundur sekarang, kita sudah...
55:14 K: Purposely. I know. I moved so that we relate it to. So that there is this quality of mind that is free from the me and therefore no separation. I don't say, 'We are one' but we discover the unity as a living thing, not a conceptual thing, when there is this sense of choiceless attention. K: Sengaja. Saya tahu. Saya pindah sehingga kita menghubungkannya. Sehingga di situ, ada kualitas batin yang bebas dari si-aku dan karenanya, tidak ada pemisahan. Saya tidak katakan, "Kita adalah satu," tapi kita menemukan kesatuan itu sebagai hal hidup, bukan hal konseptual, ketika di situ ada rasa perhatian-tanpa-memilih.
55:44 S: Yes. S: Ya.